Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Kediaman Damar ....
Quin tercengang memandangi rumah bergaya khas timur tengah milik Damar. Ia melirik Adrian yang sedang berdiri di sampingnya.
“Non ..."
"Quin saja," sela Quin cepat karena tak menyukai dipanggil nona. "Kita sama-sama karyawan di sini. Lagian aku nggak suka dipanggil nona."
"Tapi ..."
"No protes," sela Quin lagi kemudian tertawa menatap ekspresi wajah Adrian.
Baru saja Adrian ingin menekan password pintu, benda itu sudah dibuka dari dalam. Bik Yuni memandang keduanya bergantian.
Akan tetapi, tatapan wanita paruh baya itu sangat tak bersahabat kepada Quin.
'Idih, dia kenapa? Dari tatapannya saja, sepertinya dia nggak menyukaiku. Dia ini cocok berteman dengan si Fitrot pelakor itu,' batin Quin.
"Mari, silakan masuk," ajak Bik Yuni.
Tak lama berselang, Damar menghampiri sembari tersenyum.
"Welcome to my simple house Quin," ucap Damar. "Adrian, tolong bawakan koper Quin ke kamarnya. Tepatnya di sebelah kamarku."
Dengan patuh Adrian mengangguk takjim sekaligus mengikuti perintah dari Damar.
"Buset! Ini bukan lagi simple house but kelewat mewah," sahut Quin kemudian tertawa.
Damar melirik Bik Yuni kemudian meminta ART-nya itu menyiapkan makan siang. Wanita paruh baya itu mengangguk kemudian menatap Quin sekilas dengan wajah judes.
'Ish, wanita tua ini kenapa sih? Gelagatnya sungguh mencurigakan,' batin Quin sambil geleng-geleng kepala.
"Tuan, Quin," panggil Adrian yang baru saja turun dari lantai dua. "Saya pamit karena ingin kembali ke kantor."
"Kamu nggak makan dulu?" tanya Damar.
"Terima kasih Tuan, lain kali saja. Lagian saya sudah makan siang sebelum menjemput Quin tadi," jelas Adrian.
"Baiklah kalau begitu. Hati-hati di jalan," kata Damar dan dijawab dengan anggukan oleh Adrian.
Sepeninggal sang asisten, Damar mengajak Quin ke rooftop yang berada di lantai tiga. Begitu keduanya berada di tempat itu, senyum Quin seketika terukir manis.
"Oh My God," gumam Quin. "Bagus banget view-nya dari atas sini. Dijadikan tempat reunian atau party kecil-kecilan juga seperti cocok banget."
Mendengar ucapan Quin, Damar mengangguk disertai senyum tipis. Memandangi sang designer yang sedang bersandar di pagar kaca penyekat.
Gadis itu kembali menghampiri kemudian berjongkok. "Damar, apa kedua kakimu bisa digerakkan?" tanya Quin.
"Hmm, sebenarnya kedua kakiku bisa digerakkan. Aku juga bisa berdiri, hanya saja aku nggak tahan jika harus berdiri terlalu lama," jelas Damar dengan hela nafas.
"Kalau begitu bagaimana jika mulai besok kamu menggunakan kruk saja. Setidaknya bisa melatih kedua kakimu agak nggak berlarut kaku," saran Quin.
Damar bergeming sekaligus tampak berpikir. Sebelumnya dokter yang menangani dirinya juga menyarankan seperti itu.
"Aku nggak akan memaksa. Tapi, coba pikirkan lagi. Semakin sering kamu menggerakkan kedua kakimu maka semakin cepat proses kesembuhanmu," lanjut Quin. "Mau mencoba untuk berdiri nggak?"
"Boleh," sahut Damar.
"Ayo, berpeganglah yang kuat di pundakku," bisik Quin. Dengan patuh Damar menurut sekaligus mengikuti intruksi gadis itu.
Begitu Damar berhasil berdiri. Quin menahan dengan kuat pinggang pria itu sembari menatapnya.
"Aku ingin merekomendasikan seorang dokter spesialis neurologi terbaik untukmu. Namanya dokter Fahry," celetuk Quin. "
"Dokter Fahry? Maksudmu dokter spesialis saraf itu, ya?" tanya Damar dan Quin mengiyakan. "Boleh deh, kebetulan kami memang berteman."
"Mulai hari ini, besok dan seterusnya, kamu harus semangat supaya bisa berjalan lagi," ucap Quin kemudian kembali mendudukan Damar ke kursi rodanya. "By the way, aku bisa kan menggunakan tempat ini untuk bekerja?"
"As you wish," sahut Damar dengan seulas senyum.
Interaksi keduanya yang cukup dekat, sejak tadi menjadi sorotan dari Bik Yuni. Wanita paruh baya itu semakin tak menyukai kehadiran Quin.
"Aku nggak akan membiarkan, Den Damar jatuh cinta kepada gadis itu. Sebaiknya aku mengusulkan supaya Naira saja yang menjadi terapis untuk Den Damar. Nyonya dan Tuan pasti akan setuju," gumam Bik Yuni kemudian meninggalkan tempat itu
.
.
.
Kantor Angga ....
Seusai menyelesaikan pekerjaannya, Angga menyandarkan punggung di kursi kerja. Pandangannya seketika tertuju ke arah pintu.
"Mau apa kamu kemari?!" tanya Angga ketus. "Apa kamu nggak bekerja?"
"Kerja dong, aku baru saja selesai pemotretan. Nggak ada salahnya kan aku kemari. Lagian tempat kerja bekerja hanya berjarak tiga lantai saja," jawab Kinara santai.
Angga mendengus kesal seraya mengambil rokok di atas meja. "Kinara, tolong jaga sikapmu di kantor ini. Aku nggak mau ada gosip tentang kita!"
Kinara tak menjawab melainkan semakin menghampiri Angga kemudian duduk di pangkuan pria itu.
"Kenapa? Apa kamu takut jika Quin mengetahui hubungan kita? Kita sudah terlanjur jauh Angga," bisik Kinara seraya mengalungkan kedua tangan ke leher Angga.
"Kinar, stop it!" bentak Angga Kesal. Ia mematikan api rokok lalu melepas kedua tangan Kinara. Meminta sang model segera beranjak dari pangkuannya.
Kinara langsung beranjak dengan perasaan dongkol.
"Keluar dari ruanganku sekarang! Lagian aku juga ingin ke butiknya Quin!" tegas Angga. Ia pun beranjak dari kursi kerja kemudian meninggalkan ruangan itu tanpa memperdulikan Kinara.
Sepeninggal Angga Kinara mengepalkan telapak tangan lalu mengumpat, "Damn! Selalunya Quin, aku benci anak itu!"
Sementara, Angga yang kini sudah berada di dalam mobil langsung menghubungi Quin.
"Ada apa?!" jawab Quin dengan ketus.
"Sayang, aku jemput ya ke butik," cetus Angga.
"Aku nggak lagi di butik. Memangnya kenapa kamu ingin menjemputku?" tanya Quin.
"Aku ingin mengajakmu makan siang," balas Angga.
"Maaf, aku sudah makan siang tadi," jawab Quin apa adanya kemudian memutuskan panggilan telefon.
Angga bergeming begitu Quin memutuskan panggilan telefon.
"Kenapa aku merasa Quin benar-benar ingin mengakhiri pertunangan kami. Sikapnya juga berubah dingin kepadaku," gumam Angga dengan perasaan gusar.
...----------------...