"Jatuhkan mobilnya ke jurang sekarang juga!" Dalian mendorong pundak Ayah.
Jalanan licin membuat mobil tergelincir.
"Kyaaa!!!"
Semua orang menjerit saat mobil melaju liar menuju tepi jurang hingga ke dalam.
"Jedderr!! Jedderr!!" Petir menyambar.
Seakan meramalkan malapetaka yang akan datang.
Dan dalam kekacauan itu, terdengar suara di tengah hujan dan petir, suara yang hanya Dalian yang bisa dengar.
"Selamat datang, gadis berambut hitam."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ah,
Ketika pelajaran Bahasa Inggris berlangsung, Dalian menyandarkan punggungnya ke kursi sambil melipat tangan di dada.
Pandangannya terus mengarah ke Chelsey yang sedang sibuk memutar-mutar pulpen di jemarinya.
"Gue serius, Chelsey. Gimana cara gue menghadapi Pak Pandita?" tanya Dalian, nada suaranya penuh frustrasi.
Chelsey menatap Dalian dengan ekspresi bingung. "Lo ngomong seolah-olah Pak Pandita itu monster yang mau makan lo hidup-hidup."
"DIA kayak monster!" balas Dalian setengah berbisik, khawatir didengar oleh teman-temannya yang lain. "Cara dia ngeliatin gue, terus kalimat-kalimatnya yang nyindir, gue nggak tahan!"
Chelsey berhenti memutar pulpennya, lalu mengangkat bahu. "Ya... mungkin lo harus ngomong baik-baik sama dia? Tunjukin kalau lo serius belajar, siapa tahu dia berubah sikap."
Dalian memutar bola matanya. "Gue nggak yakin itu bakal berhasil. Gue malah takut dia bakal makin sinis."
Chelsey menepuk bahu Dalian. "Ya udah, kalau gitu lo lakuin cara elo itu. Bolos aja, biar nggak usah ketemu dia."
Dalian mengerutkan alis, terkejut mendengar saran itu. "Serius? Tapi kalau ketahuan, gue bisa kena masalah."
Chelsey mengedikkan bahu. "Tadi minta kabur trus dapat solusi bolos, eh malah nggak yakin. Jangan buat gue ikut pusing ya?!" Nafasnya terlihat berat, merasa geram.
"Hehe, Please, Chelsey. Soalnya gue juga takut resiko." Dalian bicara dengan ekspresi kucingnya yang memelas.
Chelsey menghela nafas, "Haah... Kadang hidup butuh risiko. Tapi, keputusan ada di tangan lo. Gue cuma ngasih ide."
Setelah merenung beberapa saat, Dalian akhirnya mengangguk pelan. "Oke. Gue bolos hari ini. Tapi lo yang bantuin gue kasih alasan kalau dia nanya, ya?"
Chelsey tersenyum berat. "Santai aja. Gue bisa bilang lo sakit perut, alergi, atau apalah."
Dalian berdiri dari kursinya dan melirik jam dinding. "Jadi gak sabar buat bolos nanti habis jam istirahat."
"DALIAN, Ada apa?!" Tanya guru bahasa inggris dengan nada tegasnya. Kacamatanya menyala terang. Seketika membuat Dalian kikuk.
"E e e e enggak bu," jawab Dalian latah. Chelsey hanya bisa menepuk keningnya melihat Dalian begitu bersemangat.
Di UKS, Dalian merebahkan tubuhnya di salah satu ranjang kecil, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya masih dipenuhi kecemasan.
Ia menghela napas panjang, lalu menatap langit-langit. "Apa gue harus terus menghindar gini ya? Haah... rumit amat," gumamnya.
Namun, tatapan Dalian teralihkan oleh gerakan di luar kaca jendela UKS. Ia menggeser posisi dan mengintip keluar. Di lapangan, terlihat Karel sedang bermain sepak bola bersama beberapa siswa lain.
Awalnya, Dalian hanya berniat mengabaikan, tapi matanya tetap terpaku.
Entah kenapa, saat Karel berlari di tengah lapangan, dia terlihat berbeda. Meski ciri keculunannya masih ada, ada sesuatu dalam caranya bergerak yang tampak alami dan penuh energi.
Tubuhnya yang tegap, cara dia melompat untuk mengejar bola, serta semangat yang terpancar dari dirinya membuat beberapa temannya terlihat kagum.
Dan, tanpa sadar, Dalian pun ikut merasa takjub. “Apa-apaan, sih? Gue ini kenapa?” gumam Dalian sambil memegangi dahi, mencoba mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba muncul.
"Kenapa dia selalu ada di mana-mana? Untung dia bukan murid baru di kelas gue," Dalian melamun. Tapi matanya tetap tidak bisa lepas dari Karel.
Gaya bermainnya memang jauh dari sempurna, tapi posturnya terlihat mempesona ketika ia berlari di bawah sinar matahari yang menyapu lapangan.
Bahkan saat gagal mencetak gol, dia hanya tertawa tanpa rasa malu. Itu membuatnya terlihat... nyaman dengan dirinya sendiri.
“Kenapa gue mikir dia keren?” bisik Dalian, merasa semakin bingung. Ia menepuk pipinya pelan, berusaha mengalihkan perhatian.
Namun, tiba-tiba Karel berhenti berlari, seperti menyadari sesuatu. Ia menoleh ke arah UKS. Tatapan mereka bertemu melalui kaca jendela, membuat Dalian langsung panik.
"Astaga, dia pasti ngeliat gue!" pikir Dalian. Ia buru-buru menjauh dari jendela, wajahnya memerah karena malu.
Di luar sana, Karel hanya tersenyum kecil sebelum kembali bermain. Sementara itu, Dalian duduk di tepi ranjang UKS, berusaha menenangkan debar jantungnya yang tiba-tiba terasa tak terkendali.
“Kenapa gue harus merasa aneh banget karena dia?” Dalian bergumam, bingung pada dirinya sendiri.
Karel, dengan gaya mainnya yang sedikit canggung tapi penuh semangat, berhasil membuat beberapa temannya tertawa. Ia terlihat ceria, tanpa beban, seperti dunia ini hanyalah permainan yang menyenangkan baginya.
Dalian kembali memperhatikan Karel lebih lama dari yang ia mau akui. Cara dia berlari, mengoper bola, hingga bereaksi mencetak gol, membuat Dalian merasa sedikit terhibur meskipun ia enggan mengakuinya.
Dalian masih duduk di tepi ranjang UKS, mencoba melupakan kejadian aneh saat matanya bertemu dengan Karel melalui kaca jendela.
Namun, pikirannya terusik lagi saat dia melihat dari kaca jendela lapangan bahwa Karel terkena lemparan bola tepat di wajahnya.
Bola itu melayang keras, mengenai bagian hidung dan kacamatanya hingga Karel terdorong ke belakang.
Seketika, Dalian merasa khawatir. “Astaga, itu sakit banget, pasti!” gumamnya. Tapi dia segera menggelengkan kepala, mencoba menepis rasa khawatirnya. “Kenapa gue peduli, sih? Dia itu cuma nyebelin!”
Namun, perhatian Dalian tetap terpaku pada Karel. Cowok itu memegangi hidungnya dengan ekspresi meringis, sementara teman-temannya di lapangan tampak panik dan berkerumun di sekitarnya.
"Karel, elo gakpapa?" Tanya salah satu temannya mencoba membantu.
"Nggakpapa-nggakpapa, gue ke UKS dulu ya," jawab Karel santai meski suaranya sengau.
Setelah beberapa saat, Karel melambaikan tangan kepada mereka, memberi tanda bahwa dia baik-baik saja, meski jelas-jelas rasa sakit masih terlihat di wajahnya.
Karel akhirnya memutuskan untuk keluar dari permainan. Ia berjalan menuju UKS sambil terus memegang hidungnya dan memeriksa kacamatanya yang miring.
Sementara itu, di dalam UKS, Dalian mulai panik. “Astaga, dia mau ke sini? Harus gimana, dong? Gue nggak mau ketemu dia sekarang!” pikirnya.
Tapi sebelum dia sempat memutuskan untuk kabur, pintu UKS terbuka, dan Karel muncul.
“Oh, ternyata ada orang di sini,” kata Karel dengan senyum kecil, meski ekspresinya sedikit meringis.
Ia menutup pintu dan langsung menuju cermin di sudut ruangan, memeriksa hidungnya yang kemerahan. “Wah, gue kena banget tadi. Kacamatanya sih masih utuh, tapi hidung gue kayaknya bakal lebam.”
Dalian memandangnya dengan bingung sekaligus cemas. “Hidung lo sakit banget, nggak?” tanyanya, mencoba terdengar biasa saja meskipun nada khawatirnya jelas terdengar.
Karel menoleh, tampak terkejut mendengar nada suara Dalian. Ia tersenyum, meski agak lemah. “Ya, lumayan sih, tapi nggak sampai patah. Untungnya bola itu cuma karet.”
Dalian menghela napas lega, meski masih berusaha menyembunyikan rasa khawatirnya. “Ya udah, kalau nggak parah, jangan lebay, deh,” katanya, mencoba kembali ke sikap biasanya yang sinis.
Tapi Karel hanya tertawa kecil, suaranya serak karena hidungnya masih terasa nyeri. “Duh, Dalian, lo ini peduli tapi sok jutek. Khas banget, ya.”
“Siapa juga yang peduli?!” sahut Dalian cepat, wajahnya mulai memerah. Ia membuang muka, pura-pura sibuk mengatur ulang selimut di ranjang UKS.
Karel tertawa lagi, meskipun langsung berhenti karena rasa sakit di hidungnya. “Ah, lo lucu banget kalau lagi malu gitu.”
Ucapan Karel membuat Dalian semakin kesal, tapi dia hanya mendengus, memilih tidak menjawab. Dalam hati, dia merasa aneh karena—untuk pertama kalinya—Karel tidak terlihat terlalu menyebalkan.