Squel Flight Attendant.
Denisa, dokter berusia dua puluh lima tahun itu telah menjadi janda diusianya yang bahkan belum genap dua puluh tahun akibat obsesinya pada laki-laki yang sangat mencintai kakaknya. Susah payah pergi jauh dan berusaha move on, Denisa dipertemukan lagi dengan mantan suaminya yang sangat ia hindari setelah lima tahun berpisah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Wati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Doa Denisa
"Wahyu, gimana? apa armada kita sudah siap berlayar besok?" tanya Daniel melalui sambungan telepon.
"Sudah ready 90%. Siap berlayar."
"Aku sedang menemani Amanda di Singapur, papanya kritis, sepertinya aku nggak bisa ikut meeting dan mempersiapkan untuk besok, aku harap kamu bisa menghendle semuanya, termasuk meeting bersama para awak kapal, dan Captain."
"Siap, kamu tenang aja, semua aman," jawab Wahyu dengan yakin.
Daniel berdehem. "Aku dan Amanda tidak akan ikut berlayar, kami sedang mempersiapkan pernikahan. Aku akan menikahi Amanda dalam waktu dekat."
"APAAA?" Wahyu membekap mulutnya yang keceplosan, dia menoleh kebelakang, para timnya dan awak kapal yang akan meeting sedang menatapnya, Wahyu membungkukkan kepala meminta maaf.
"Daniel, katanya lo nggak bakal nikahin dia. Kenapa sekarang berubah pikiran? terus gimana nasib mantan?" tanya Wahyu memelankan suaranya, lebih ke berbisik sih, takut didengar orang lain.
"Nggak usah banyak nanya, itu bukan urusan lo. Tugas lo sekarang, buat semua berjalan lancar sebagaimana semestinya. Dan sesuai dengan keinginan Amanda, ingat, jangan ada kesalahan sedikitpun."
Wahyu menggaruk pelipisnya, setelah Denisa dan Amanda, kini Wahyu yang ia buat terkejut dan bingung dengan keputusannya yang terkesan mendadak.
"Wahyu, lo denger?" teriak Daniel karena tak mendengar sahutan dari Wahyu.
"I-iya, denger. Ini lo ..."
Tut ... Tut ... Tut ...
Belum selesai Wahyu bertanya tentang pilihan Daniel, Daniel sudah mematikan panggilannya.
"Nih anak nggak salah makan kan? Kok tiba-tiba aja mau nikahin Amanda," monolog Wahyu pada diri sendiri, seperti ada yang ganjil. Wahyu menggelengkan kepalanya, benar kata Daniel, ini bukan urusannya, tugasnya sebagai b4bu hanyalah menuruti perintah, jangan sampai melakukan kesalahan. Ini misi kemanusiaan, pekerjaannya harus sempurna.
* * *
"Kamu yakin dengan keputusan kamu saat ini, Daniel?" kini Dina yang dibuat terheran, pasalnya kemarin Daniel menolak keras permintaanya untuk menikahi Amanda, tiba-tiba dia berubah, memutuskan ingin menikahi Amanda sekarang juga. Bahkan Dina diminta untuk membelikan cincin pernikahan mereka.
"Yakin, sangat yakin," jawabnya tanpa keraguan, "mana cincin yang Daniel minta Ma, dapet 'kan?"
Dina membuka tas handbacknya, mengambil kotak beludru berwarna merah, meletakkan di menyerahkannya pada Daniel.
Daniel menerima pemberian Dina, membuka isi dalamnya.
"Perfect, ini cincin impian Amanda." ucapnya, menutup kembali kotak cincin itu.
"Apa yang membuat kamu berubah?" Dina masih bertanya dengan penasaran. Saat ini mereka berada di koridor rumah sakit, Amanda sedang didalam ruangan papanya bersama dokter yang memeriksa papanya.
Daniel hanya mengendikkan bahu. Dina mendesah melihat kelakuan Daniel. "Daniel, pernikahan bukan untuk main-main, kamu lihat, Mama juga perempuan, jangan sampai kamu menyakiti Amanda."
"Mama ini bagaimana sih? Kemarin bukannya Mama minta aku buat nikahi Amanda, kenapa sekarang malah nggak percaya dengan keputusan aku? Udahlah Ma, apapun keputusan aku sekarang, ini yang terbaik, Mama nggak usah khawatir."
"Tentu Mama khawatir Daniel!" ucap Dina sudah begitu geram, "kamu pernah gagal bersama Denisa, itu karena pernikahan terpaksa. Apa hal itu akan terulang lagi? Kamu nggak mau belajar dari kesalahan yang sudah-sudah. Cukup Mama yang menjadi korban papa kamu, jangan ada wanita lain."
"Terus, kalau aku milih Denisa, apa Mama akan setuju?"
Dina diam, kini dia yang dibuat bingung, saat Daniel memilih Denisa, dia kasihan pada Amanda, dan setelah kini Daniel memilih Amanda, dia takut Daniel malah akan menyakiti Amanda.
"Mama bingung 'kan? Udahlah Ma, nggak usah bingung, pokoknya Mama percaya sama Daniel, apa yang Daniel lakukan, terbaik untuk semuanya."
* * *
Esok harinya.
"Dokter Nisa." Sisi melambaikan tangannya, memanggil Denisa yang baru saja tiba di pelabuhan Ferry Batam Centre. Denisa datang bersama Ricko yang diantar papa Ricko.
Denisa tersenyum lebar, menyeret satu koper yang atasnya terdapat satu travel bag berukuran sedang, dibahunya juga terlampir satu tas berisi keperluan pribadinya. Rambut panjang Denisa yang tergerai tertiup angin laut melambai, semakin memancarkan kecantikanya.
Denisa menghampiri Sisi yang sudah berada di atas kapal yang akan menyeret rumah sakit apung ketempat tujuan mereka nanti.
Denisa berbalik, dia melupakan sesuatu. "Dok, saya masuk duluan ya," pamitnya pada Ricko yang sedang berbicara pada papanya.
Ricko mengangguk dengan senyum terus megembang dibibirnya.
"Papa menunggu kabar baik saat pulang nanti."
"Kabar baik apa, Pa?"
"Jangan pura-pura, Papa tahu tujuan kamu mendekati Denisa."
Ricko menggaruk tengkuknya, tersenyum canggung, dia ketahuan. Sebenarnya Ricko ingin jujur pada papanya, tapi dia masih ragu, takut papa tidak merestui, mengingat status Denisa yang merupakan seorang single mom.
"Papa merestuinya?"
"Kenapa tidak? Denisa wanita yang baik. Kamu pikir Papa tidak setuju karena statusnya?" Ricko mengangguk mengulum senyum malu.
"Manusia itu tidak bisa diukur oleh masa lalu atau statusnya, yang terpenting kepribadiannya saat ini, dan yang kita tahu, Denisa wanita yang hebat. Dia mampu mengorbankan segala yang dia punya, meninggalkan anaknya demi misi kemanusiaan ini, mengabdikan diri menjadi relawan kesehatan, itu sudah cukup menjelaskan Denisa wanita yang seperti apa?"
"Sejujurnya, Ricko sudah pernah menyatakan perasaan pada Denisa, Pa. Tapi Denisa belum menjawabnya."
"Tidak masalah, kasih dia kejutan, wanita itu suka kejutan. Tak perlu pacaran, langsung lamar saat pulang nanti," ujarnya memberi saran, menepuk pundak Ricko.
"Doakan ya Pa, semoga kami berjodoh."
"Papa selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu, Nak. Mengabdilah untuk negara terlebih dahulu, kalian butuh pengalaman yang banyak, setelah ini, rencanakan masa depan." Ricko memeluk papanya haru.
"Makasih Pa, atas dukungannya selalu, jaga kesehatan Papa." Papa Ricko tak menjawab, bibirnya berkedut, matanya sudah berkaca-kaca, tak kuasa tiga bulan harus berpisah dengan putra semata wayangnya yang selalu bersamanya.
* * *
Ruangan bertuliskan UGD menjadi tujuan utama Denisa dan Sisi lihat, ini merupakan ruangan yang akan selalu mereka tempati nanti.
Terdapat tulisan 'Dilarang Merokok' dan 'Berobat apapun GRATIS' disebelah kiri daun pintu, dan tulisan 'Dorong Sebelah Sini' di sebelah kanan daun pintu.
"Peralatannya lengkap ya Dok, dokter Amanda hebat. Dia menyiapkan semuanya dengan sangat sempurna." Sisi tak bisa berhenti mengagumi desain ruang UGD mereka, bersih, rapi dan peralatannya tak kalah canggih dari rumah sakit pada umumnya, dan semua peralatannya baru.
Denisa mengagguk, mengakui kehebatan dan kebaikan hati Amanda. "Aku mah, nggak ada apa-apanya dibanding dokter Amanda." lirih Denisa dalam hati.
Di ruang UGD terdapat satu meja dan kursi untuk dokter membuat laporan, satu Monitor, Defibilator (stimulator detak jantung listrik tegangan tinggi), EKG, satu lemari loker untuk meletakkan dokumen riwayat pasien, dan dua tempat tidur untuk pasien berobat.
Setelah melihat ruangan apa saja yang disana, para ABK dan petugas kesehatan berkumpul di dermaga untuk melakukan brefeing. Disana juga dihadiri pejabat pemerintah setempat yang akan mengantar kepergian para pahlawan kesehatan menuju tempat mereka bertugas.
Denisa dan kawan-kawan sejawatnya, kembali masuk ke kapal, usai kata sambutan disampaikan, dan berdoa bersama meminta kelancaran, kesehatan dan keselamatan yang di pimpin ketua adat, tak lupa, mereka juga memanjatkan doa untuk kesehatan papa Amanda.
Amanda selaku pendiri rumah sakit apung, juga sempat ikut bergabung melalui sambungan video, walau hanya beberapa menit.
Mereka akan melakukan perjalanan panjang, tujuan pertama mereka yaitu pulau Nusa TenggaraTimur, tepatnya di Kabupaten Sabu Raijua, sebuah pulau yang tak bisa diakses melalui darat, hanya bisa dilalui udara dan laut.
"Sayang banget kita nggak sekamar Dok." Eluh Sisi, sedih dia tak sekamar dengan Denisa.
"Nggak papa, kamu ke kamar aku nggak harus naik motor kok Sil, nggak harus beli BBM yang harganya udah naik." ujarnya terkekeh kecil. Sisi memajukan bibirnya.
Oh ya, rumah sakit apung mereka ini terdiri dari tiga lantai, lantai dasar terdapat, tempat pendaftaran, ruang UGD, ruang radiologi, ruang operasi, ruang persalinan, poli KIA, poli gigi, laboratorium, dan ruang apotek.
Dilantai dua terdapat ruang rawat inap yang terdiri dari 20 bed, masing-masing bed, terdiri dari bed laki-laki dan perempuan secara terpisah. Dan juga terdapat empat ruang istirahat dokter dan perawat.
Dilantai tiga, terdapat ruang aula yang difungsikan sebagai tempat brefeing, tempat aktivitas bermain, makan dan sebagainya, disana juga disediakan satu unit televisi.
Selain itu, juga terdapat sepuluh ruang tempat tidur, dimana satu tempat tidur diakomodir rata-rata tiga orang.
Namun berbeda dengan kamar Denisa, dia mendapat kamar paling belakang, dan hanya sendiri.
"Nggak papa deh," Denisa meletakkan tas selempangnya diatas tempat tidur, merebahkan tubuhnya terlentang, memejam sebentar, namun bayangan Dara melintas dibayangan hitamnya.
Denisa merindu, baru beberapa hari terpisah, rasa rindunya kepada Dara sudah sangat menggunung. Denisa mengambil ponselnya didalam tas, ingin menghubungi nomor Dara, namun ia urungkan saat kiriman foto dari nomor Amanda menyita perhatiannya.
Amanda mengirimkan foto jari tengahnya yang sudah terpasang satu cincin, ada keterangan dibawah fotonya.
"Mas Daniel besok ngajak aku nikah, Nis. Aku seneng banget, makasih ya kamu sudah merelakan mas Daniel buat aku. Doakan pernikahan kami langgeng sampai maut memisahkan."
Dada Denisa terasa sesak membaca itu, ada rasa aneh, seperti tidak suka. Astaga, rasanya begitu sakit, lima tahun mencoba melupakan, setelah rasa itu mulai memudar, tanpa diundang dia kembali datang menghancurkan dinding kokoh yang sudah di bangunnya sekuat mungkin. Kini, setelah dinding itu hampir roboh, dia pergi meninggalkan banyak luka disana.
Deringan kuat ponselnya mengagetkan Denisa, nama Amanda memenuhi layarnya. Denisa menghitung jari, antara menjawab atau tidak.
Akhirnya Denisa memilih menggeser tombol hijau keatas.
"Ya Dok." jawab Denisa setelah mengucap salam.
"Nis, selamat bertugas ya, maaf aku nggak bisa hadir, sebenarnya aku belum mau rumah sakit kita beroperasi dulu, tapi Daniel yang sudah menyiapkan semuanya, dia melakukan semua untuk aku. Aku titip rumah sakit ya Nis. Dan terima kasih juga doanya untuk papa, papa sudah sadar. Besok, papa bisa menjadi wali dipernikahan aku dan mas Daniel. Restui kami ya Nis, semoga rumah tangga ku tidak bernasib seperti rumah tangga kamu dulu."
Seperti hilang rasa, dan tak tau harus menjawab apa, Denisa hanya berucap.
"Iya Dok, saya ikut senang, semoga rumah tangga Dokter sakinah mawaddah, dan warohmah."
"Amiin, maksih Nis."