Davina memergoki pacarnya bercinta dengan sahabatnya. Untuk membalas dendam, Davina sengaja berpakaian seksi dan pergi ke bar. Di sana dia bertemu dengan seorang Om tampan dan memintanya berpura-pura menjadi pacar barunya.
Awalnya Davina mengira tidak akan bertemu lagi dengan Om tersebut, tidak sangka dia malah menjadi pamannya!
Saat Davina menyadari hal ini, keduanya ternyata sudah saling jatuh cinta.Namun, Dave tidak pernah mau mengakui Davina sebagai pacarnya.
Hingga suatu hari Davina melihat seorang wanita cantik turun dari mobil Dave, dan fakta mengejutkan terkuak ternyata Dave sudah memiliki tunangan!
Jadi, selama ini Dave sengaja membohongi Davina atau ada hal lain yang disembunyikannya?
Davina dan Dave akhirnya membangun rumah tangga, tetapi beberapa hari setelah menikah, ayahnya menyuruh Davina untuk bercerai. Dia lebih memilih putrinya menjadi janda dari pada harus menjadi istri Dave?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Setelah mengambil makanan miliknya dan meletakkannya di meja makan, Dave kembali menghampiri Davina di ruang tamu. Gadis lugu nan polos itu masih damai dalam tidurnya, seakan lupa bahwa dirinya sedang berada di apartemen seorang laki-laki yang baru 2 kali dia temui.
Dave bahkan tak habis pikir dengan Davina. Entah bagaimana gadis itu bisa tidur dengan nyaman tanpa ada rasa cemas sedikitpun di apartemennya. Sepertinya memang Davina tipe orang yang tak bisa berfikir buruk pada orang lain sebelum dia melihat sendiri sikap buruk orang tersebut.
Duduk di sebrang Davina, satu tangan Dave memijat pelipisnya. Kepalanya tiba-tiba berdenyut nyeri akibat ulah Davina. Matanya yang tajam, menatap lekat wajah gadis yang masih terlelap itu. Dia bingung sendiri harus bersikap seperti apa.
"Kau itu menyusahkan sekali.!" Geram Dave frustasi. Ingin rasanya membangunkan paksa Davina dengan menarik tangannya, tapi tak bisa setega itu pada gadis polos yang sebenarnya menyebalkan baginya.
"Hei,, bangun.!" Seru Dave dari tempat duduknya. Suara baritonnya itu belum cukup membuat Davina terusik. Masih damai dengan tidur nyenyaknya.
"Kamu mau bangun atau saya lempar kamu dari balkon.!" Ancam Dave sembari menaikan nada bicaranya.
"Saya hitung sampai tiga.!"
"Satu,,,!!" Serunya. Dave beranjak dari sofa untuk mendekat ke arah Davina.
"Dua,,,!!"
"Heumm,, Papa berisik sekali. Aku masih ngantuk." Davina hanya menggeliat tanpa membuka mata. Dia malah merubah posisi menyamping dan sedikit meringkuk.
"Kau pikir ini rumahmu.?!!" Geram Dave. Dia terpaksa menggoncang tangan Davina.
"Cepat bangun.!" Pintanya.
Davina tergelak kaget, seketika duduk dengan raut wajah kebingungan.
"Aku dimana.?" Gumam Davina. Kesadarannya belum kembali akibat di bangunkan secara paksa oleh Dave.
"Apa tidur membuatmu amnesia.?" Sindir Dave ketus. Davina hanya menggelengkan kepala, diam sembari mengumpulkan kesadarannya.
"Aku mau pulang Om,," Ucap Davina setelah menatap arloji di tangannya. Rupanya sudah hampir 1 jam dia berada di apartemen Dave.
"Pulang sebelum tugasmu selesai.?"
"Jangan harap.!" Tegas Dave tak mau di bantah. Dia lalu menggandeng tangan Davina, menyuruhnya beranjak dari sofa.
"Masih ada pekerjaan untukmu di dapur.!" Tuturnya mengingatkan.
"Besok saja Om, aku janji akan kesini dan selesaiin pekerjaanku." Pinta Davina memohon.
"Aku capek Om, pengen pulang terus tidur." Adunya dengan wajah memelas.
"Kesini lagi katamu.?!" Tanya Dave tak habis pikir.
"Aku bahkan menyesal membawamu kemari." Dave menatap kesal.
"Kalau menyesal kenapa aku nggak dibolehin pulang sekarang.?" Protes Davina.
"Lagipula Om itu banyak uang, emangnya nggak bisa sewa asisten rumah tangga untuk cuci piring.?!"
Ucapan Davina di tanggapi dengan tatapan dingin.
"Jangan banyak bicara kamu.! Kerjakan saja apa yang aku suruh.!"
Dave terus menggandeng tangan Davina menuju dapur. Menghentikan langkah di depan wastafel dan melepaskan tangan Davina.
"Cepat cuci piringnya.!"
Davina menolak, kepalanya menggeleng cepat.
"Aku nggak bisa cuci piring, Om. Gimana kalau nanti piringnya pecah.?"
Davina menatap memohon. Seumur-umur dia memang belum pernah mencuci piring. Lagipula untuk apa dia harus repot-repot mencuci piring jika di rumahnya sudah ada belasan asisten rumah tangga. Kamar dan isi lemarinya saja selalu di bersihkan oleh asisten rumah tangga.
"Tentu saja kamu harus ganti rugi.!" Sahut Dave. Dia tak habis pikir dengan gadis di depannya yang selalu mengaku tidak bisa melakukan apapun. Dave rasa orang tua Davina terlalu memanjakannya.
"Tapi kalau pecahan piringnya kena tangan aku gimana Om.?" Davina merengek.
"Saya nggak peduli." Jawab Dave acuh. Dia lalu meninggalkan Davina, mengambil beberapa piring dan sendok untuk di bawa ke meja makan.
"Ya ampun, Om jahat sekali,," Keluh Davina pasrah. Dave terlalu tegas dan semua yang keluar dari mulutnya adalah keharusan yang tak bisa di ganggu gugat.
"Ini pakai sabun yang mana Om.?" Davina menatap dua botol berisi sabun. Dia tidak tau botol mana yang harus dia gunakan untuk mencuci piring.
"Dasar anak kecil, kau itu bisanya apa.?!" Cibir Dave sembari berjalan menghampiri Davina. Dia berdiri tepat di belakang Davina dan hanya mengulurkan tangannya untuk mengambil sabun cuci piring.
"Pakai yang ini.!" Kata Dave, dia memberikan botol itu pada Davina.
Davina tak langsung mengambilnya, dia sedang memaku sambil menghirup dalam-dalam aroma parfum maskulin Dave yang begitu menusuk indera penciumannya.
"Wanginya enak banget sih Om,," Gumam Davina tanpa sadar.
"Cium saja sepuasmu kalau mau." Seru Dave. Dia meletakkan kasar botol itu lantaran Davina tak kunjung mengambilnya dan malah mengomentari bau sabun cuci piring itu.
Dave tidak tau kalau yang di maksud oleh Davina adalah wangi parfumnya.
"Emangnya boleh Om.?" Wajah Davina merona. Dia jadi membayangkan ciumanya dengan Dave di club tadi. Aroma bibir Dave yang terkontaminasi dengan wine dan rokok, justru memberikan sensasi tersendiri bagi Davina.
"Ya.! Asal jangan di minum saja, saya yang akan repot kalau harus membawa kamu ke rumah sakit." Sahut Dave acuh. Dia duduk di depan meja makan dan mulai menata makan malamnya.
Walaupun kesal dengan Davina, tapi Dave akan membiarkan Davina makan lebih dulu sebelum pergi dari apartemennya.
"Minum.? Apanya yang diminum, Om.?" Davina menoleh heran. Dia rasanya obrolannya dengan Dave jadi tidak nyambung.
"Sabun cuci piring, memangnya apa lagi.!"
Davina langsung mencebik, rupanya Dave salah paham. Pantas saja menyuruh dirinya untuk mencium sepuasnya.
"Dasar nggak peka. Aku kan mengomentari parfumnya." Gerutu Davina lirih. Dia lalu mulai mencuci piring dan gelas kotor yang tak seberapa itu.
Prrakkk,,,!!
"Aww.!!" Pekik Davina. Gelas yang tadi dia cuci terjatuh di pinggiran wastafel dan jatuh ke lantai menimpa kakinya. Dia sudah reflek mundur tapi gelas itu tetap mengenai kakinya.
Dave langsung beranjak dari duduknya, panik lantaran melihat gelas itu menimpa kaki Davina.
"Cuci piring saja nggak becus, kenapa nggak hati-hati." Ujar Dave geram. Untuk kesekian kalinya Davina membuatnya kesal.
Dave merangkul Davina untuk menuntunnya mudur. Pecahan gelas itu berserakan dimana-mana.
Sementara Davina tampak diam dengan wajah yang pucat, terus menunduk kebawah, menatap kakinya yang mulai mengeluarkan darah.
"Darahh,,," Ucap Davina dengan suara bergetar. Setelah itu menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Papaa,,!! Papaaa,,,!!!" Davina teriak histeris. Tubuhnya memberontak dari rangkulan Dave. Dia terlihat sangat ketakutan melihat darah yang menetes dari kakinya.
"Kakimu hanya tergores, kenapa histeris seperti ini." Dave menatap heran bercampur bingung.
"Pahh,,, aku takut,,,!!" Teriakan Davina berubah jadi isak tangis. Dia berjongkok sambil terus menutupi wajahnya.
Dahi Dave berkerut, setakut itu tah Davina pada darah sampai histeris dan menangis seperti itu.?
Bagaimana Dave tidak bingung menghadapi situasi seperti ini. Dia makin menyesal membawa gadis yang tidak bisa mengerjakan apapun dan malah menyuruhnya untuk mencuci piring.
"Kamu ini benar-benar,,," Dave kehabisan kata-kata untuk menegur Davina. Dia membungkuk dan langsung menggendong Davina beranjak dari dapur.
Tubuh gadis itu bergetar dalam gendongnya. Tangisnya semakin pecah.
"Diamlah. Jangan sampai saya melemparmu keluar." Seru Dave. Dia mendudukkan Davina di sofa.
Seketika Davina terdiam, namun masih menangis tanpa suara.
Dave meninggalkan Davina untuk mengambil kotak p3k. Saat kembali, Davina terlihat sedang melamun dengan air mata yang terus mengalir.
Dering ponsel dalam tas miliknya tak membuat Davina menoleh sedikitpun.
"Ponselmu bunyi." Kata Dave sembari meletakkan tas di pangkuan Davina. Namun Davina hanya diam saja.
"Berhenti menyusahkanku.!" Geram Dave. Dia merogoh tas Davina, mengambil ponsel dan mengangkat panggilan dari telfon rumah. Tak lupa Dave mendekatkan ponsel di telinga Davina.
"Hallo Nona,, Nona dimana.? Tuan menghubungi Nona sejak tadi,,," Suara wanita paruh baya di sebrang sana terdengar panik.
"Sebaiknya Nona pulang sekarang, Tuan bisa marah kalau tau Nona masih di luar." Serunya lagi.
Dave menjauhkan ponsel itu.
"Cepat katakan sesuatu." Ujarnya lirih. Davina menoleh, lalu menganggukan kepala.
"Aku menginap di rumah Bianca, bilang saja pada Papa kalau aku sudah tidur." Davina berucap pelan dengan wajah sendu.
"Tapi Non,,
"Lakukan saja perintah ku." Potong Davina. Dia mengambil ponsel dari tangan Dave dan mengakhiri sambungan telfonnya.