“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Keasyikan itu tiba-tiba terganggu oleh dering ponsel Syanas yang berdering. Syanas mengerutkan dahi, melihat nama mamanya, Rukmini, yang berkedip di layar ponselnya. Ia mendesah panjang. “Hah, nyokap lagi,” gumamnya.
Nindi yang duduk di sebelahnya langsung cekikikan. “Anak kesayangan nih! Dicariin sama nyokap. Beda banget sama kita.”
Jennie ikut menimpali. “Nyokap gue mah mana peduli. Yang penting gue nggak minta duit lebih dari jatah bulanan.”
“Bener banget,” tambah Nindi. “Nyokap gue juga gitu. Hidup gue bebas-bebas aja, asalkan nggak bikin malu keluarga.”
Syanas hanya mendengus kecil, lalu menekan tombol hijau di ponselnya. Ia menempelkan ponsel ke telinga, setengah menutup telinga satunya lagi untuk menghalau dentuman musik. “Halo? Ya Ma. Kenapa lagi sih?”
Suara tegas ibunya langsung terdengar dari seberang, memotong sikap santainya. “Syanas, kamu di mana sekarang?! Udah jam berapa ini?! Pulang sekarang juga!”
Syanas memutar bola matanya, suaranya terdengar malas. “Aku lagi di luar Ma. Sama temen-temen. Santai aja, aku aman.”
“Aman gimana?! Ini udah tengah malam Syanas. Pulang sekarang juga, atau mama jemput kamu di sana!” suara Rukmini makin tinggi.
Syanas terkekeh sinis. “Hah, jemput aku di klub malam? Aku nggak nyangka mama bakal serendah itu buat dateng ke tempat kayak begini.”
Tiba-tiba nada suara Rukmini berubah dingin dan tajam. “Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Jennie yang melihat reaksi Syanas, bertanya dengan penasaran. “Kenapa lo ketawa? Apa sih kata nyokap lo?”
Syanas masih terkikik, meneguk minuman di depannya sebelum menjawab. “Nyokap gue bilang mau jual gue ke anak temennya bokap gue, namanya gus Kahfi. Katanya, gue bakal diurus sama dia kalau gue nggak pulang sekarang.”
Nindi terbahak. “Serius?! Itu nama aja udah kayak ustaz. Ngapain orang kayak gitu mau sama lo?”
“Makanya gue ketawa,” ujar Syanas sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Nyokap gue terlalu sering bikin ancaman aneh-aneh. Kayak gue bakal beneran takut.”
Namun, di balik tawa itu, ada sesuatu yang Syanas sembunyikan. Ancaman ibunya memang terdengar mustahil, tapi ia tak bisa sepenuhnya mengabaikan nama gus Kahfi.
Sosok itu pernah disebut oleh ayahnya dulu, seorang pria yang dihormati, rendah hati, dan sangat berbeda dari gaya hidupnya sekarang. Lelaki yang selalu tampil bijak, terlihat sebagai sosok yang bisa jadi sangat berbeda dengan dunia yang Syanas kenal.
Tiba-tiba seorang laki-laki mendekat, langkahnya penuh percaya diri. Penampilannya rapi dan menggoda, jas mahal yang terpasang pas, rambut yang tertata rapi, dan wajah tampan dengan senyuman penuh arti. Laki-laki itu menatap mereka bertiga, lalu berhenti di depan Syanas. Pandangannya penuh godaan.
“Hei, kalian bertiga kayaknya seru-seru banget. Gimana kalau kita habiskan waktu bareng? Mungkin kalian tertarik untuk tidur sama gue malam ini?” tawarnya, suaranya santai namun penuh hasrat.
Nindi dan Jennie langsung saling pandang, matanya berbinar, jelas terlihat terpesona dengan penampilan laki-laki tersebut. Mereka mengalihkan perhatian dari Syanas, hampir tidak bisa menahan rasa ingin tahu.
“Dia oke juga Syas. Coba deh pikirin,” ujar Nindi sambil tersenyum nakal.
Jennie menimpali, “Iya, dia pasti orang yang bisa bikin malam ini makin seru.”
Namun, Syanas yang sudah cukup terbiasa dengan godaan semacam itu, justru merasa jijik dan kesal. Ia menatap laki-laki itu dengan tajam. “Lo pikir gue ini siapa? Barang yang bisa lo beli dengan mudah gitu aja?” jawabnya, suara penuh ketegasan.
Laki-laki itu tersenyum lebar, meski tatapannya mulai mengarah pada tantangan. “Lo kira gue nggak bisa dapetin lo? Kalau lo nggak mau, gue bisa paksa.”
Syanas terkekeh sinis. “Paksain gue? Lo kira gue takut? Coba aja, gue malah ingin lihat kalau lo berani,” ujarnya dengan nada menantang.
Dengan penuh keyakinan, laki-laki itu melangkah lebih dekat, hampir mengancam. “Lo pasti nggak tau siapa gue. Kalau lo nggak pulang sama gue malam ini, gue bakal buat lo menyesal.”
Namun, belum sempat ia melanjutkan, tubuh laki-laki itu mulai goyah. Ia terhuyung-huyung, kemudian terjatuh ke lantai dengan keras, akibat efek alkohol yang sudah terlalu banyak. Kejadian itu sontak menarik perhatian kerumunan di sekitarnya.
Nindi dan Jennie langsung tertawa terbahak-bahak melihat laki-laki itu tergeletak tak berdaya di lantai. “Lo bikin dia jatuh Syas! Gila sih!” Nindi hampir menangis saking terhiburnya.
Syanas hanya mengangkat bahu, tidak terlihat sedikit pun terkejut. “Gue sih bisa menilai siapa yang pantas untuk gue. Dan jelas, dia bukan salah satunya,” jawabnya sambil tersenyum, melihat tubuh laki-laki yang masih terkapar di lantai.
Jennie masih tertawa, tak bisa berhenti. “Lo emang nggak ada matinya Syas. Bisa-bisanya lo bikin orang kayak gitu jatuh.”
Syanas meneguk minuman di depannya, memandangi teman-temannya yang masih terpingkal-pingkal. “Lo pikir gue bakal takut sama ancaman kayak gitu? Gue tau banget siapa yang cuma cari perhatian, dan siapa yang cuma bisa mengancam tanpa punya apa-apa,” ujarnya sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa, tenang.
Teman-temannya masih tertawa, tapi di dalam hati Syanas, ia merasa lega karena bisa mempertahankan dirinya dari hal-hal semacam itu. Mungkin malam ini penuh dengan kebisingan dan godaan, tapi ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah ditentukan oleh orang-orang yang hanya ingin memanfaatkannya.
“Udah, ayo balik ke lantai dansa. Gak usah dipikirin,” ujar Syanas sambil bangkit, mengajak teman-temannya kembali ke pusat keramaian. “Hidup ini harus dinikmati kan? Kalau dipikirin terus, malah bikin stres.”
Teman-temannya mengangguk, masih dengan senyum lebar di wajah mereka. Mereka tahu bahwa Syanas, meskipun terkadang terlihat keras, selalu tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Dan meskipun mereka mungkin tidak selalu sepakat dengan caranya, mereka menghargai keberanian dan prinsip yang ia pegang.
Mereka pun kembali ke lantai dansa, tenggelam dalam dentuman musik yang semakin menggema, melupakan sesaat segala hal yang rumit, dan menikmati malam yang masih panjang.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..