Ina dan Izhar memasuki kamar pengantin yang sudah disiapkan secara mendadak oleh Bu Aminah, ibunya Ina.
Keduanya duduk terdiam di tepian ranjang tanpa berbicara satu sama lain, suasana canggung begitu terasa, mereka bingung harus berbuat apa untuk mencairkan suasana.
Izhar keluar dari kamar mandi dan masuk kembali ke kamar setelah berganti pakaian di kamar mandi, sementara itu, Ina kesulitan untuk membuka resleting gaun pengantinnya, yang tampaknya sedikit bermasalah.
Ina berusaha menurunkan resleting yang ada di punggungnya, namun tetap gagal, membuatnya kesal sendiri.
Izhar yang baru masuk ke kamar pun melihat kesulitan istrinya, namun tidak berbuat apapun, ia hanya duduk kembali di tepian ranjang, cuek pada Ina.
Ina berbalik pada Izhar, sedikit malu untuk meminta tolong, tetapi jika tak di bantu, dia takkan bisa membuka gaunnya, sedangkan Ina merasa sangat gerah maka, "Om, bisa tolong bukain reseltingnya gak? Aku gagal terus!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
"Saudara Izhar Alvaro Yusuf bin Ja'far Asnawi, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan keponakanku yang bernama Safina Arthana Diva binti Hariansyah Dani, dengan mas kawin 20 gram emas dan uang tunai 10 juta rupiah dibayar tunai!" Om Ruslan mengucapkan kalimat ijab dengan menjabat tangan Izhar.
"Saya terima nikah dan kawinnya Ratih binti...
Astagfirullah..." Izhar salah mengucapkan nama, hatinya masih terikat pada Ratih, kalimat ijab qobul yang di hafalnya atas nama Ratih.
Semua orang terkejut karena Izhar salah ucap, mereka sampai berbisik-bisik membicarakan itu.
"Jangan gugup, Nak. Simak dengan baik nama yang harus kamu sebut, lupakan nama itu," Pak Ja'far menepuk pundak anaknya, menenangkan Izhar agar tak gugup.
Izhar mengangguk.
"Boleh kita coba lagi?" tanya penghulu.
Izhar mengangguk.
Izhar dan Om Ruslan kembali berjabat tangan untuk ijab qobul kembali.
"Saudara Izhar Alvaro Yusuf bin Ja'far Asnawi, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan keponakanku yang bernama Safina Arthana Diva binti Hariansyah Dani, dengan mas kawin 20 gram emas dan uang tunai 10 juta rupiah dibayar tunai!" Om Ruslan kembali mengucapkan kalimat ijab dengan menjabat tangan Izhar.
"Saya terima nikah dan kawinnya Rat... Astagfirullah... Ya Allah..." Lagi-lagi Izhar salah mengucapkan, hal itu membuat semua orang resah, terutama keluarganya. Mereka takut jika Izhar akan gagal menikah lagi karena terus salah ucap.
Om Ruslan melepas jabatan tangannya dengan Izhar, cukup jengkel karena Izhar masih saja salah. Izhar sendiri terus beristighfar, hatinya benar-benar tak tenang, nama yang tertulis di otaknya adalah nama Ratih.
"Nak, cobalah untuk melupakan dia, calon istri kamu bukan dia. Jangan kecewakan Bapak, kalau kamu gagal lagi, maka Bapak pastikan Bapak nggak akan pernah mau menjadi saksi dalam pernikahan kamu lagi nantinya. Lihat ibu kamu, dia sangat cemas saat kamu lagi-lagi salah dalam berucap, jangan kecewakan kami semua." Pak Ja'far kembali menepuk-nepuk pundak anaknya, khawatir Izhar tak akan mampu menjalani prosesi akad nikah dengan baik, jika terus ingat pada Ratih.
"Maafkan saya, Pak." Ucap Izhar.
"Sudahlah, percobaannya tinggal sekali lagi, jika kamu gagal lagi, maka pernikahan dibatalkan. Jadi, coba hafal baik-baik siapa nama calon istri kamu dan Ayahnya, jangan sebut nama Ratih lagi, kamu pasti bisa," Pak Ja'far memberikan semangat pada putranya.
"Bagaimana kalau diberikan selembar kertas dengan tulisan nama mempelai wanita saja, supaya mempelai pria dapat dengan lancar mengucapkan dengan bantuan tulisan." Penghulu menyarankan.
"Boleh," jawab Om Ruslan.
Lalu, ditulislah kalimat yang harus di ucapkan oleh Izhar nanti, kemudian kertas itu diberikan pada Izhar.
Tangan Izhar bergetar menerima kertas itu, gugup dan resah menguasai dirinya. Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk mengubah status lajangnya, ia harus sebisa mungkin membuat kesempatan terakhirnya berjalan dengan baik.
Izhar membaca setiap kalimat yang tertulis dan mencoba menghafalnya, ia juga mencoba menenangkan dirinya, jangan sampai gagal lagi.
Penghulu menyarankan agar Izhar menghela nafas dalam-dalam dari hidung dan membuangnya dari mulut.
Izhar melakukannya, lalu dia disarankan untuk membaca basmallah terlebih dahulu, Izhar juga melakukannya.
"Bagaimana, sudah siap?" tanya penghulu.
"Insyaallah," jawab Izhar.
"Baik, silahkan berjabat tangan lagi," perintah penghulu.
Izhar dan Om Ruslan kembali berjabat tangan lagi, kertas tadi di pegang oleh tangan kiri Izhar, sambil dalam hati terus menghafal nama calon istrinya.
Semua orang dengan perasaan tegang menyaksikan usaha terakhir Izhar akad nikah, berharap kali ini Izhar tak salah lagi.
Om Ruslan lalu mengucapkan kalimat ijab yang sama dengan tadi, dengan suara yang lantang. Tangannya dengan tangan Izhar berjabat, dia pun berharap kali ini Izhar tidak salah lagi, karena dia sudah jauh-jauh datang hanya untuk menjadi wali nikah Ina.
"Saya terima nikah dan kawinnya Safina Arthana Diva binti Hariansyah Dani dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" sahut Izhar dengan lantang dan lancar, walau satu tangannya memegang selembar kertas bertuliskan nama Ina.
"Bagaimana saksi? Sah?" Penghulu bertanya pada para saksi.
"Sah!"
"Sah!"
"Sah!"
Semua orang mengatakan 'Sah' bersamaan, hal itu membuat mereka sangat lega, begitu juga dengan Izhar yang sangat lega karena dia tak gagal menikah lagi.
Izhar kini resmi menjadi seorang suami, status bujangannya telah berubah, Izhar sangat bersyukur dan terus mengucapkan hamdallah.
Setelah akad nikah terlaksana, sudah waktunya Ina dan Izhar dipertemukan.
Ina dibawa keluar dari dalam rumah di dampingi oleh dua wanita di sampingnya, yang salah satunya adalah Bu Amina, Ibu kandung Ina.
Izhar dengan jantung berdebar-debar berdiri menunggu istrinya mendekat, kepalanya terus tertunduk, gugup harus bertemu dengan istri yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Izhar berdo'a dalam hati, semoga istrinya itu adalah wanita yang tepat. Izhar tak peduli lagi dengan rupa atau fisiknya, dia ikhlas menerima.
Bukan hanya Izhar, tetapi seluruh keluarga dan tamu undangan juga penasaran ingin melihat seperti apa istri Izhar itu. Karena setahu mereka calon istri Izhar adalah Ratih, yang tertulis namanya dalam undangan yang disebar.
"Jangan-jangan istrinya Kang Izhar jelek!" ucap Raisa pada Aisyah, berbisik.
"Nggak tahu, jangan-jangan memang jelek, kasihan Kang Izhar kalau menikah dengan perempuan yang jelek, Kang Izhar 'kan kasep pisan!" Sahut Aisyah.
Kedua gadis itu jadi bergosip, jika benar Izhar mendapatkan istri yang jelek, tentu saja sangat disayangkan, karena Izhar sendiri sangat tampan.
Bu Tara dan Pak Ja'far juga sangat menanti sang menantu, berharap gadis yang dipilihkan untuk Izhar itu cantik secara fisik dan hatinya, agar mereka juga tidak terlalu kecewa dengan pernikahan anaknya.
Begitu Ina memasuki area akad nikah, semua orang terpana melihatnya.
Bagaimana tidak, istri Izhar yang disangka tidak akan sesuai harapan itu, justru melebihi apa yang pernah mereka lihat dari Ratih.
Ina terlihat sangat cantik dan anggun dalam balutan kebaya putih berpayet dan riasan yang tak begitu tebal.
Kulit putihnya sangat bening, berbeda dengan kulit Ratih yang sawo matang, Ina berhasil membuat semua orang terhipnotis oleh kecantikannya.
Tak hanya karena Ina yang cantik, tapi mereka juga kaget karena Ina masih sangat muda, mereka pun dapat memperkirakan kalau Ina masih berusia kurang dari 20 tahun.
"Itu seriusan istrinya Dokter Izhar? Kok kayak masih muda banget ya!" bisik Dokter Rara, pada Dokter Hasyim, teman seperjuangan Izhar.
"Iya, kayaknya masih muda, beda jauh sama calon istrinya yang sebelumnya," jawab Dokter Hasyim.
"Wahhh... Dokter Izhar beruntung ya, kehilangan yang seumuran dapatnya yang lebih muda, masih ranum!"
ujar Dokter Rara lagi.
"Hehehe, saya jadi mau dapat yang ranum!" canda Dokter Hasyim yang masih lajang itu.
"Sama saya aja, saya juga masih muda kok, baru 20
tahunan, hehehe," Dokter Rara membalas candaan.
"Dua puluh tambah 12 tahun!" timpal Dokter Hasyim, kemudian terkekeh.
"Iiih... Kan pengen lebih muda!" Dokter Rara mencubit Dokter Hasyim.
Dokter Hasyim hanya terkekeh.
Ina dibawa menghadap pada Izhar, keduanya telah
berhadapan, namun saling menundukkan kepala karena malu dengan status baru yang mendadak itu.
"Masyaallah... Dia cantik sekali, Pak!" Bu Tara kagum dengan kecantikan Ina yang tidak berlebihan.
"Benar, semoga saja hatinya sebaik rupanya," jawab Pak Ja'far.
"Aamiiin."
Ina dan Izhar saling menyematkan cincin di jari manis mereka tanpa sekalipun saling menatap, tangan keduanya pun bergetar ketika bertukar cincin.
Selama Ina menyematkan cincin di jari Izhar, lelaki itu terus menatap punggung tangan Ina.
"Putih sekali kulitnya, cincin yang dipasang di jarinya menambah indah jari-jari lentiknya, " izhar bergumam dalam hati, kagum dengan jari tangan Ina yang lentik.
Ina lalu mencium tangan suaminya takzim.
"Jangan saling menunduk begitu, kalian sudah halal, boleh saling menatap dan saling menunjukkan cinta dan kasih sayang," ujar Penghulu kepada dua pasangan yang masih malu-malu itu.
Ina dan Izhar pun saling mengangkat wajah mereka untuk menatap satu sama lain, untuk saling mengenali.
Jantung mereka berdebar-debar, sebuah momen yang mempersatukan mereka tanpa rencana itu cukup membuat mereka salah tingkah.
Namun, saat keduanya telah saling menatap, raut wajah mereka berubah.
"Kamu!" ucap Izhar.
"L--loh, Om!" ucap Ina.
Keduanya sama-sama terkejut, karena pasangan mereka tak lain dan tak bukan adalah orang yang pernah bertemu secara tak sengaja dalam insiden beberapa waktu lalu.
'astaga, jadi si Om Dokter ini calon suaminya Tante Ratih? OMG! Gue gak nyangka banget, ternyata yang hampir nabrak gue waktu itu tuh calon Om gue sendiri dan sekarang jadi suami gue!' ina membatin, tak sangka kalau orang yang pernah hampir menabraknya itu adalah calon pamannya sendiri.
'Ya ampun, jadi gadis ini adalah keponakannya Ratih? Aku gak pernah tahu tentang gadis ini sebelumnya, aku belum pernah melihat dia saat lamaran,' Izhar pun membatin, sama-sama tak menyangka.
Dua sejoli yang baru saja sah menikah itu saling tatap,
namun bukan tatapan cinta, melainkan tatapan heran.
"Kalian saling kenal?" Bu Amina bertanya.
"Ah, iya, aku pernah ketemu si Om ini sekali, dia yang
aku ceritain waktu itu sama Mama, yang bikin aku luka di kaki dan tangan," Ina menjelaskan.
"Oalah... Rupanya kalian pernah bertemu tapi tidak saling mengenal ya?"
Ina dan Izhar menggeleng, pertemuan saat itu memang pertama kali.
"Itu artinya memang kalian jodoh," ucap Bu Amina ramah.
Ina dan Izhar jadi malu, mereka kembali menunduk.
Setelah mereka saling mengenali, mereka pun di arahkan untuk sungkeman kepada orang tua masing-masing. Ina dan Izhar melakukan apa yang di perintahkan demi kelancaran acar pernikahan mereka.
Kedua mempelai duduk di kursi pelaminan, terlihat sangat serasi bersanding.
'Gila... Ternyata beneran aja gue yang duduk disini, gak nyangka banget gue jadi seorang istri dari Om-Om!' Batin Ina.
Ina jadi ingat semalam dirinya berkhayal akan duduk di kursi pelaminan, dan ternyata itu benar terjadi padanya, seperti sebuah khayalan yang menjadi nyata.
Ina sesekali curi pandang pada Izhar yang menatap lurus ke depan, wajahnya tak berekspresi dengan mulut terkatup.
'Ganteng juga ini Om-om, pantesan Tante Ratih mau sama dia, orang dia seganteng ini kok. Tapi kenapa Tante Ratih kabur ya?' ina membatin sambil menatap suaminya dari samping, mengagumi ketampanan Izhar.
Izhar yang merasa terus di tatap, menoleh pada Ina, namun Ina dengan cepat langsung memalingkan muka, pura-pura tak melihat.
'Kok aku curiga dia bakal random ya?' Batin Izhar, menebak istrinya yang masih bocah itu.
Dari sifat dan kelakuan Ina di awal pertemuan, Izhar merasa yakin kalau Ina adalah sosok gadis yang random, tentu saja tak cocok dengannya.
Tapi, apalah daya, dia sudah menikahinya dan sudah berjanji akan ikhlas menerima.
Izhar dan Ina di salami para tamu yang hadir, mereka mengucapkan selamat atas pernikahan Izhar dan Ina. Tak jarang juga yang memuji Izhar sangat beruntung karena mendapatkan seorang gadis muda.
"Dokter Iz, masyaallah... Rezeki nomplok nih, dapetnya daun muda, saya jadi iri, hehehe," canda Dokter Hasyim pada Izhar, senyumannya lebar.
"Ah bisa aja, makanya cepat nikah, biar gak iri sama saya," balas Izhar.
"Iya, maunya sih gitu, tapi sepertinya saya belum siap, karena dia juga masih sering jahili saya, kayaknya dia gak suka saya," Dokter Hasyim menatap ke arah Dokter Rara, yang sudah disukainya sejak bekerja di rumah sakit yang sama.
"Jangan menyerah, makanya harus mengungkapkan lebih dulu, supaya dia juga mau mengungkapkan. Saya pikir kalian itu saling suka, tapi sama-sama ja'im."
"Hehehe, saya harap dia suka saya juga."
Izhar tersenyum tipis.
Dokter Hasyim memeluk Izhar, mengucapkan selamat atas pernikahannya dan memberikan do'a terbaik untuk keduanya.
Setelah tamu undangan kloter pertama bubaran, Izhar dan Ina diminta untuk ganti pakaian mereka dik kamar Ratih.
Ina dan Izhar masuk ke kamar bersamaan, disuruh untuk ganti baju bersama saja untuk mempercepat waktu.
Namun, di dalam kamar, Ina dan Izhar justru saling malu, tak mau membuka pakaian masing-masing.
"Mending Om keluar deh, aku mau ganti baju duluan, nanti baru giliran Om setelah aku!" Pinta Ina.
"Kalau kamu mau ganti baju, ya ganti aja. Saya nggak akan mengintip kamu kok, pede banget!" Balas Izhar ketus.
"Alah... Modus, ujung-ujungnya pasti bakal ngintip juga, cowok 'kan memang begitu!"
"Kamu pikir saya sama? Gak semua cowok sama!"
Izhar keluar dari kamar, mengalah untuk Ina yang akan mengganti pakaian lebih dulu. Izhar kesal kepada Ina yang kalau bicara selalu asal bunyi.
Ina mengganti pakaiannya cepat, lalu di dandani kembali oleh penata rias.
Pesta pernikahan Ina dan Izhar berlangsung hingga malam hari, berakhir pukul 20:30.
Ina dan Izhar sudah kelelahan sejak siang meladeni para tamu bersalaman, mereka ingin istriahat.
Bu Aminah langsung mengajak keduanya untuk ke rumahnya, dikarenakan jika Izhar berada di kamar Ratih, maka Izhar akan ingat terus kepada wanita yang telah menyakitinya itu.
Bu Aminah tentu tak mau jika anaknya hanya dijadikan mainan, sementara hati Izhar masih terpaut pada Ratih.
Izhar menurut saja untuk ikut ke rumah mertuanya, dia tak berkomentar apapun karena memang tipe orang yang tak banyak bicara.
Mobil Izhar telah sampai di halaman rumah sederhana milik Ina, Bu Aminah masuk lebih dulu untuk mempersiapkan kamar pengantin.
Sementara Izhar dan Ina masih di dalam mobil, masih dengan pakaian pengantin mereka, yang tak sempat di ganti. Izhar berjanji kepada penata rias untuk mengantarkan baju pengantinnya besok.
Dan semua hantaran pernikahan akan dibawa oleh mobil esok hari ke rumah Ina.
"Om gak mau masuk karena rumahku jelek?" Ina tiba-tiba bertanya.
"Nggak, saya gak pernah merendahkan orang yang rumahnya sederhana, saya hanya menunggu dipersilahkan masuk oleh tuan rumah," jawab Izhar.
Ini membulatkan mata, dia memang tak mengajak izhar untuk masuk, pantas saja Izhar hanya diam.
"Oh iya, maaf, aku lupa, hehehe... Ya udah, ayo masuk, Om 'kan capek!" Ina agak malu.
Gadis itu turun lebih dulu dengan gaunnya, Izhar menyusul, berjalan di belakang Ina, membawa koper kecil berisi pakaiannya.
"Kamarnya sudah Mama siapkan ya, silahkan istirahat. Dik Iz, eh... Nak Iz, maaf kalau rumahnya tidak sebagus rumah Nak Iz ya, tapi semoga nyaman tidur disini," Bu Aminah mempersilahkan keduanya istirahat.
"Nggak apa-apa, terima kasih banyak," ucap Izhar ramah.
Ina dan Izhar memasuki kamar pengantin yang sudah disiapkan secara mendadak oleh Bu Aminah, ibunya Ina.
Keduanya duduk terdiam di tepian ranjang tanpa berbicara satu sama lain, suasana canggung begitu terasa, mereka bingung harus berbuat apa untuk mencairkan suasana.
Ina melirik pada Izhar, berharap Izhar akan melakukan sesuatu yang dapat membuat mereka berkomunikasi.
Tetapi, Izhar diam saja, tangannya sibuk melepaskan kancing tangan kemeja.
"Saya mau mandi, kamar mandinya dimana?" tanya Izhar sambil berdiri.
Ina. "Kamar mandinya ada di samping dapur, Om." Jawab
Izhar mengangguk.
Izhar membuka kopernya, mengambil pakaian ganti dan handuk, kemudian keluar dari kamar untuk ke kamar mandi.
"Ternyata kulkas dua pintu!" umpat Ina.
Gadis cantik bernama Safina itu berdiri untuk membuka gaunnya, karena tubuhnya sangat gerah.
Izhar keluar dari kamar mandi dan masuk kembali ke kamar setelah berganti pakaian di kamar mandi, sementara itu, Ina kesulitan untuk membuka resleting gaun pengantinnya, yang tampaknya sedikit bermasalah.
Ina berusaha menurunkan resleting yang ada di punggungnya, namun tetap gagal, membuatnya kesal sendiri.
Izhar yang baru masuk ke kamar pun melihat kesulitan istrinya, namun tidak berbuat apapun, ia hanya duduk kembali di tepian ranjang, cuek pada Ina.
Ina berbalik pada Izhar, sedikit malu untuk meminta tolong, tetapi jika tak di bantu, dia takkan bisa membuka gaunnya, sedangkan Ina merasa sangat gerah maka, "Om, bisa tolong bukain resletingnya gak? Aku gagal terus!" Ina memberanikan diri meminta bantuan Izhar.
Izhar menoleh, tanpa menjawab ia berdiri dan menghampiri Ina.
Izhar menyentuh resleting gaunnya dan mencoba menurunkannya, tapi ternyata memang sulit, resleting gaunnya memang macet.
"Kamu punya sesuatu yang licin? Minyak-minyakan misalnya," tanya Izhar.
"Kayaknya aku punya baby oil deh yang biasa aku pakai buat bersihin kotoran di belakang telinga," jawab Ina.
"Dimana?"
"Di laci meja rias."
Izhar membuka laci meja riasnya dan mengambil baby oil milik Ina, lalu membasahi resleting itu dengan baby oil. Izhar lalu mulai mecoba menurunkannya, perlahan tapi pasti, resletingnya akhirnya berhasil di turunkan.
Namun...
'Glek!'
Izhar menelan saliva kasar, tatkala melihat punggung yang putih mulus milik Ina.
...***Bersambung***...