NovelToon NovelToon
Married To Mr. Killer

Married To Mr. Killer

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: muliyana setia reza

Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.

Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.

"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.

Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perang Dingin di Ruang Ber-Ac

Langkah kaki Intan terasa berat, seolah ada pemberat besi yang terikat di pergelangan kakinya saat menyusuri koridor lantai dua Gedung Fakultas Ekonomi. Jantungnya berdegup tidak karuan—bukan karena jatuh cinta, melainkan karena campuran rasa kesal, takut, dan lelah menghadapi tingkah laku suaminya yang semakin tidak tebak.

Di tangannya, ia meremas ujung kemejanya. Ia berhenti sejenak di depan pintu kaca buram bertuliskan Ruang Dosen.

"Tarik napas, Intan. Jangan meledak," bisiknya pada diri sendiri. "Inget, dia dosen. Kalau lo ngamuk, nilai IPK lo taruhannya."

Dengan satu tarikan napas panjang, Intan mengetuk pintu dan membukanya.

Hembusan udara dingin dari pendingin ruangan langsung menerpa wajahnya, membawa aroma khas ruang dosen: campuran wangi kertas tua, tinta printer, dan aroma kopi hitam yang pekat. Ruangan itu luas, disekat-sekat oleh kubikel setinggi dada orang dewasa.

Suasana cukup ramai. Ada Bu Siska, dosen Akuntansi yang sedang sibuk mengetik di laptopnya. Ada Pak Bambang, dosen senior yang sedang membaca koran sambil menyesap teh. Dan di sudut ruangan, di meja yang paling rapi dan strategis dekat jendela, duduklah Argantara Ramadhan.

Pria itu sedang memegang pulpen mahal, berpura-pura memeriksa tumpukan berkas. Begitu melihat Intan masuk, ia meletakkan pulpennya dan menegakkan punggung. Wajahnya berubah menjadi mode dosen-profesional-yang-berwibawa.

"Selamat siang, Pak," sapa Intan sopan, sedikit membungkuk saat melewati meja Pak Bambang.

"Siang, Neng Intan. Mau bimbingan?" tanya Pak Bambang ramah.

"Dipanggil Pak Arga, Pak. Urusan PJ kelas," jawab Intan sambil tersenyum manis—senyum palsu terbaiknya.

Intan berjalan menuju meja Arga. Ia berdiri di sisi meja, dipisahkan oleh tumpukan buku tebal. Arga menatapnya datar, lalu menggeser sebuah kursi lipat di depannya dengan kakinya.

"Duduk," perintah Arga singkat, suaranya cukup pelan namun tegas.

Intan duduk. Kini wajah mereka sejajar, meski terhalang layar monitor komputer yang menyala.

"Ini berkas silabus yang saya bicarakan," Arga menyodorkan sebuah map plastik berwarna merah.

Intan membukanya. Isinya hanya selembar kertas kalender akademik umum yang sebenarnya bisa diunduh di website kampus. Intan menatap Arga dengan tatapan 'Bapak-bercanda?'.

"Baca," ucap Arga, matanya melirik sekilas ke arah Bu Siska di kubikel sebelah untuk memastikan wanita itu tidak menguping.

Setelah yakin aman, Arga memajukan tubuhnya sedikit, berpura-pura menunjuk poin di kertas itu. Namun, suara yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak membahas kurikulum.

"Kamu senang sekali ya, tebar pesona di lorong kampus?" bisik Arga tajam, suaranya sangat rendah, nyaris mendesis.

Intan mengerjap, lalu ikut memajukan tubuhnya seolah sedang menyimak penjelasan dosen.

"Maksud Bapak apa?" balas Intan dengan bisikan yang tak kalah tajam. "Saya cuma ngambil kotak bekal yang ketinggalan."

"Harus banget sambil ketawa-ketiwi?" sindir Arga. Jarinya mengetuk-ngetuk kertas di depan Intan dengan ritme yang mengintimidasi. "Kamu tahu kan status kamu? Kamu itu istri orang. Istri saya. Pantas kamu cekikikan sama laki-laki lain di depan suami sendiri?"

Darah Intan mendesir naik ke kepala. Ia melirik Pak Bambang yang untungnya sedang asyik menelepon. Intan kembali menatap Arga, matanya menyiratkan perlawanan.

"Koreksi, Pak," bisik Intan, menekan setiap kata. "Bapak sendiri yang bilang, di kampus kita orang asing. Bapak yang bilang 'jangan ada yang tahu'. Jadi, di mata Rangga dan semua orang, saya itu single. Wajar dong saya berinteraksi?"

Rahang Arga mengeras. Skakmat. Senjata makan tuan.

"Jangan main-main sama kata-kata saya, Intan," desis Arga. Matanya berkilat marah di balik kacamata bacanya. "Kesepakatan kita itu untuk menjaga profesionalitas, bukan tiket bebas buat kamu genit-genitan."

"Siapa yang genit?!" suara Intan meninggi sedikit karena emosi, membuat Bu Siska di sebelah menoleh.

"Kenapa, Mbak Intan? Ada yang kurang jelas materinya?" tanya Bu Siska ramah.

Intan dan Arga tersentak. Dalam sekejap, topeng mereka kembali terpasang.

"Eh, iya Bu," jawab Intan gugup sambil tersenyum kaku. "Ini... saya bingung soal bobot penilaian persentase tugas."

"Oh, kalau Pak Arga emang detail banget soal itu. Dengerin baik-baik ya," pesan Bu Siska lalu kembali fokus ke laptopnya.

Arga berdeham, menetralkan suaranya. "Jadi begini, Saudari Intan. Tolong perhatikan poin nomor empat..." ucapnya keras-keras untuk didengar Bu Siska.

Lalu ia kembali merendahkan suaranya menjadi bisikan maut.

"...saya tidak mau tahu. Mulai besok, jaga jarak radius lima meter dari si Rangga itu. Kalau saya lihat dia pegang tangan kamu lagi kayak di ruang kesehatan kemarin, saya pastikan nilai mata kuliah dia di semester depan hancur."

Mata Intan membelalak. "Itu penyalahgunaan kekuasaan namanya! Bapak nggak profesional!"

"Saya suami yang cemburu—maksud saya, suami yang menjaga marwah!" ralat Arga cepat, wajahnya sedikit memerah karena hampir keceplosan.

Intan menangkap slip lidah itu. Sudut bibirnya terangkat sinis.

"Oh... jadi Bapak cemburu?" goda Intan dengan suara sangat pelan. "Bilang dong dari tadi. Gengsi kok dipelihara."

"Saya tidak cemburu!" bantah Arga, tapi matanya tidak bisa berbohong. Ia terlihat panik. "Saya cuma tidak mau kamu jadi bahan gosip murahan. 'Mahasiswi baru gampang didekati senior', itu branding yang buruk buat kamu."

"Alasan," cibir Intan. "Lagian Bapak ngaca dong. Tadi di kelas dikerumunin cewek-cewek diam aja. Senyum-senyum lagi. Giliran saya cuma ngobrol sebentar sama Kak Rangga, Bapak langsung kebakaran jenggot."

"Itu beda," sergah Arga defensif. "Mereka mahasiswa saya. Saya harus ramah demi evaluasi dosen."

"Halah, modus," potong Intan. Ia menutup map merah itu dengan sedikit kasar. "Sudah selesai kan, Pak, 'bimbingan'-nya? Isinya cuma kalender doang, saya juga punya di HP."

Arga menahan map itu dengan tangannya saat Intan hendak menariknya.

"Satu hal lagi," ucap Arga, menatap Intan lekat-lekat. Kali ini tatapannya melunak sedikit, tidak sekeras tadi. "Pulang kuliah langsung ke parkiran basement B3. Tunggu di mobil saya. Kita pulang bareng."

Intan mengernyit. "Tumben? Biasanya nyuruh saya naik ojek atau nunggu di halte teknik biar nggak ketahuan."

"Hari ini..." Arga berdeham, memutus kontak mata dan berpura-pura membereskan meja. "...Mama mau datang ke apartemen jam lima sore. Jadi kita harus sampai di rumah sebelum Mama sampai."

Intan ternganga. "Hah?! Mama Bapak? Ibu mertua?"

"Iya. Dan dia tidak tahu kalau kita tidur pisah kamar. Jadi, bersiaplah untuk sandiwara babak kedua," ucap Arga datar.

Intan memijat keningnya yang mendadak pening. Belum selesai urusan Rangga, sekarang harus menghadapi sidak mertua. Dan yang lebih parah, harus berpura-pura menjadi istri yang dicintai oleh suami kulkas ini.

"Oke, Pak. Saya permisi," ucap Intan formal, lalu berdiri.

"Silakan. Jangan lupa pelajari silabusnya," ucap Arga lantang, kembali ke mode dosen.

Intan mengangguk sopan pada Pak Bambang dan Bu Siska, lalu berjalan keluar ruangan dengan langkah cepat. Begitu pintu tertutup di belakang punggungnya, Intan bersandar di dinding koridor, menghela napas panjang hingga paru-parunya terasa kosong.

Di dalam ruangan, Argantara melonggarkan dasinya yang terasa mencekik. Ia melirik pintu yang baru saja tertutup itu.

"Anak itu..." gumam Arga pelan.

"Kenapa, Ga?" tanya Pak Bambang dari seberang ruangan. "Mahasiswinya pinter ya? Kelihatannya kritis banget tadi diskusinya."

Arga tersenyum kecut. "Iya, Pak. Terlalu kritis. Sampai bikin pusing."

Arga kembali menatap layar komputernya, tapi pikirannya melayang. Ia kesal Intan menuduhnya cemburu. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia lebih kesal karena ia tahu tuduhan itu benar. Melihat Intan tertawa lepas bersama Rangga menciptakan rasa panas yang tidak bisa didinginkan oleh AC sentral ruangan ini sekalipun.

Dan sekarang, ia punya misi baru: memastikan sandiwara di depan ibunya nanti berjalan mulus, sambil diam-diam berharap momen itu bisa membuatnya sedikit lebih dekat dengan istri kecilnya itu tanpa harus menurunkan gengsinya.

1
Miramira Kalapung
Suka banget sama cerita nya Thor, semoga cepat update yah🥰🥰
sarinah najwa
miris sekali hudupnu pak dosen 😅silahkan menikmati buah dari perbuatAnmu ..
Rian Moontero
lanjuuuttt👍👍😍
Sri Wahyuni
Luar biasa
☠ᵏᵋᶜᶟ𝕸y💞Putri𖣤​᭄
sukurin Arga....
makan tuh gengsi Segede gaban😄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!