“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Dahi Darrel langsung berkerut dalam. “Untuk apa?”
“Untuk memastikan dia sampai dengan aman. Malam sudah cukup larut, Mama tidak tenang kalau dia pergi sendiri,” jawab Bu Rania santai, seolah itu hal paling wajar di dunia.
“Ma, aku bukan sopir pribadi,” balas Darrel datar.
“Bukan. Kamu anak Mama.” Nada Bu Rania berubah sedikit serius, seperti perintah halus yang tidak bisa ditolak.
Darrel menarik napas pelan. Kenapa harus aku sih… batinnya menggerutu. Tapi tatapan ibunya jelas: tidak ada ruang untuk bantahan.
Akhirnya, dengan nada pasrah tapi tetap dingin, ia berkata, “Baiklah. Cepat.”
Bu Rania menepuk bahunya pelan dengan senyum puas. “Bagus. Mobilmu sudah siap di garasi. Fio lagi menunggu di teras.”
***
Sementara itu di teras rumah, Fio berdiri kikuk sambil merapatkan jaket tipisnya. Mobil SUV hitam Darrel berhenti di depannya, lampu depan menyala terang.
Pintu penumpang terbuka dari dalam.
“Naik,” suara Darrel terdengar datar dari balik kemudi.
Fio menatapnya sejenak—lelaki itu tetap dengan wajah dingin khasnya—lalu menarik napas dalam dan masuk ke dalam mobil.
Suasana di dalam mobil pun jadi canggung. Tak ada yang bicara. Hanya suara mesin dan jalanan malam yang menemani perjalanan mereka.
Fio melirik Darrel sekilas, lalu buru-buru memalingkan wajah ke jendela. Dingin banget kayak kulkas dua pintu… batinnya.
Sementara Darrel hanya fokus menyetir, tapi sesekali melirik ke arah gadis itu lewat kaca spion tengah. Dalam hati, entah kenapa… ia sedikit penasaran dengan sosok Fio yang sederhana tapi “aneh” ini.
Mobil SUV hitam itu terus melaju tenang membelah jalanan malam. Lampu kota memantul di kaca mobil, menciptakan bayangan-bayangan bergerak di wajah Fio yang duduk di kursi penumpang depan.
Di dalam kabin, hanya suara mesin dan angin dari AC yang terdengar. Sunyi. Kaku.
Fio duduk tegak dengan tangan meremas ujung jaketnya. Duh... Suasananya kaku banget... Seperti ikut sidang skripsi tanpa dosen penguji bicara apa-apa.
Ia melirik Darrel dari ujung mata. Lelaki itu menyetir dengan fokus, ekspresinya tetap datar dan dingin seperti biasa. Rahangnya tegas, matanya tajam, tapi entah kenapa justru itu membuat jantung Fio berdetak sedikit cepat.
Fio menelan ludah pelan, mencoba memberanikan diri. “Eh… Tuan Muda…”
Darrel tidak langsung menoleh. “Hm?”
“E-eh, maksud saya, Tuan Darrel…” Fio langsung membetulkan dengan canggung. “Terima kasih ya… Sudah bersedia untuk mengantarkan saya.”
“Bukan keinginan saya.” Jawabnya datar, tanpa menoleh sedikit pun.
Fio memutar bola mata pelan. “Iya saya tahu kok… Bu Rania yang nyuruh kan.”
Darrel tidak membalas. Fokusnya tetap lurus ke jalan.
Fio menggigiti bibir bawahnya. Yah, dicuekin. Masa iya perjalanan sepanjang ini diam-diaman? Bisa-bisa aku beku duluan.
Ia kembali mencoba mencairkan suasana. “Tuan Darrel…”
“Hm.”
“Biasanya… kalau ngantar cewek pulang tuh sopirnya muter lagu romantis, ngobrol dikit, atau minimal nanya ‘udah makan belum’ gitu lho…” katanya dengan nada setengah menggoda, setengah bercanda.
Darrel meliriknya sekilas, lalu kembali fokus menyetir. “Saya bukan sopir.”
Fio langsung nyengir kecut. “Iya juga sih… Tapi dingin banget kayak kulkas dua pintu.” gumamnya pelan, tapi cukup jelas untuk terdengar.
Darrel mendengar, namun sama sekali tidak menanggapi. Bahkan ekspresinya tidak berubah sedikit pun.
“Ya ampun…” Fio bersandar ke kursi, menatap langit malam lewat jendela. “Ngobrol sama ikan aja lebih interaktif daripada sama Tuan CEO satu ini.”
Darrel menghela napas pelan, separuh antara kesal dan tidak tahu harus merespons apa. Tapi entah kenapa, sudut bibirnya sedikit terangkat—samar, cepat sekali, seperti refleks yang tak sengaja.
“Jangan ngomel sendiri,” katanya akhirnya, tenang tapi cukup untuk membuat Fio kaget.
“Eh! Ternyata bisa ngomong juga!” Fio spontan bersorak kecil, membuat Darrel menoleh sekilas dengan tatapan tajam seperti ingin berkata serius, kamu ini…
“Diam.”
“Baik, Tuan Kulkas,” balas Fio cepat, pura-pura hormat seperti prajurit.
Darrel hanya mendengus pelan. Anak ini benar-benar... batinnya. Tapi entah kenapa, suasana di dalam mobil mulai terasa sedikit lebih… hangat.
Tiba-tiba...
Sepertinya
Kau dari planet yang lain
Dikirim ke bumi untuk orang-orang sepertiku
Sepertinya
Kau memang dari planet yang jauh
Dikirim ke bumi untuk datang menemani aku
Yang kalau ditanya apa bentuk cinta
Aku juga bingung jawabnya
Nggak tau gimana
Menyimpan banyak tanya tentang cinta
Aku bingung carinya di mana
Tanya ke siapa
Lalu datang kau yang unik
Kau temani aku jalan pelan
Berdampingan tidak buru-buru
Gandeng tangan
Aku pernah kehilangan
Ketakutan lalu kau terangkan
Bahwa itulah bagian
Dari cara hidup berpasangan
Kau memang
Dari planet-planet yang lain
Ku yakin
Dikirim ke bumi
Untuk orang-orang sepertiku
Sepanjang jalan Fio bernyanyi lagu yang dinyanyikan oleh Sal Priadi dengan suara yang merdu. Darrel? Sepertinya dia juga menikmati suara Fio.
"Ternyata tetap beku." ucap Fio kesal. Ia memalingkan wajahnya ke jendela.
"Di mana kontrakan kamu?"
"Itu punya ibu kos, bukan punya saya." jawab Fio tanpa menoleh.
"Maksud saya..."
"Dah sampai..." Fio memotong ucapan Darrel. "Di sini Tuan Muda yang ehem..."
Darrel hanya bisa menghela napasnya panjang, hidupnya yang tenang-tenang saja satu tahun ini kembali terusik.
Mobil berhenti perlahan di depan kontrakan sederhana dengan pagar besi kecil. Lampu jalan temaram menyinari halaman mungil yang dipenuhi pot bunga milik ibu kos.
Darrel mematikan mesin mobil, tapi tidak langsung berkata apa pun. Tangannya masih menggenggam setir, ekspresinya tetap datar dan tenang seperti biasa.
Sementara itu, Fio membuka seatbelt dengan ceria. “Wah, akhirnya sampai juga. Perjalanan paling seru yang pernah saya alami… dalam keheningan abadi,” ujarnya dramatis sambil menatap langit seperti aktris sinetron.
Darrel melirik sekilas. “Kalau nggak suka, lain kali naik ojek saja.”
“Lho, siapa bilang nggak suka? Saya malah senang, bisa lihat sisi patung es Tuan Darrel secara langsung.” Fio menyeringai jail.
Darrel menatapnya tajam, tapi tidak membalas kata-katanya. Ia hanya menarik napas pelan. Anak ini... Dari tadi kerjaannya ngeledek terus. Emang sengaja ya bikin darah naik pelan-pelan?
Fio turun dari mobil, tapi sebelum menutup pintu, ia menunduk ke arah Darrel yang masih duduk di kursi sopir. “Terima kasih ya, Tuan Kulkas. Lain kali kalau nganter, coba senyum dikit. Masa semua orang harus nunggu es-nya mencair dulu baru bisa ngobrol?”
Nada suaranya jenaka, tapi tatapan matanya terang dan jujur.
Darrel menatap balik, tetap dengan wajah tenang. “Saya tidak ditugaskan untuk menghibur penumpang.”
“Wah, jawabannya ketat banget, kayak ujian CPNS,” gumam Fio sambil cekikikan kecil.
Darrel masih tetap diam. Tapi di dalam hati, ia sebenarnya mulai merasa kesal—bukan karena marah sungguhan, tapi lebih karena merasa seperti dikerjain terus-menerus tanpa bisa membalas balik. Dia ini benar-benar nggak ada rem...
Fio menutup pintu dengan pelan, lalu melambaikan tangan. “Selamat malam, Tuan CEO yang cool abis...!”
Darrel hanya membalas dengan anggukan tipis, meski dalam hati ada keinginan aneh untuk… membalas ledekannya. Tapi egonya menahan. Ia akhirnya memilih menyalakan mesin mobil lagi dan melaju pergi, meninggalkan Fio yang masih tersenyum jahil di depan kontrakan.
Begitu mobil mulai menjauh, Darrel mendengus pelan. “Nyebelin.” gumamnya singkat, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit tanpa ia sadari.
***
"Pa... Tolong bujuk Darrel untuk menikah lagi."
Bersambung