Huang Yu, seorang juru masak terampil di dunia fana, tiba-tiba terbangun di tubuh anak petani miskin di Sekte Langit Suci—tempat di mana hanya yang bertubuh suci kuno bisa menyentuh elemen. Dari panci usang, ia memetik Qi memasak yang memanifestasi sebagai elemen rasa: manis (air), pedas (api), asam (bumi), pahit (logam), dan asin (kayu). Dengan resep rahasia “Gourmet Celestial”, Huang Yu menantang ketatnya kultivasi suci, meracik ramuan, dan membangun aliansi dari rasa hingga ras dewa. Namun, kegelapan lama mengancam: iblis selera lapar yang memakan kebahagiaan orang, hanya bisa ditaklukkan lewat masakan terlezat di alam baka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jasuna28, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Cawan Rempah Neraka
Malam kedua setelah pencabutan tuduhan, Kompleks Sekte Langit Suci sunyi diliputi kabut tipis. Hanya lampu lentera di jalan setapak yang berpendar biru, tanda kesiapan petualang ekspedisi ke Alam Bawah. Di halaman utama, portal rempah ungu—pintu gerbang antar-dimensi—berdenyut perlahan, mengundang jiwa-jiwa pemberani.
Nian, bersama Lan’er, Master Cang, dan Utusan Klan Rempah bersiap. Kepala Sekte berdiri di samping portal, wajahnya teguh namun berduka: “Kalian akan menembus kabut terkelam di Alam Bawah. Tujuan utama: ‘Cawan Rempah Neraka’—wadah kuno yang mampu menyimpan Qi pahit terkuat. Jika artefak itu jatuh ke tangan Xionglai atau pihak lain, dunia rasa akan hancur.”
Lan’er menatap Nian, mata birunya berkilat tekad. “Kita tak akan membiarkannya.”
Master Cang menambahkan, “Jaga ritme rasa kalian. Alam Bawah dipenuhi makhluk rempah gelap dan jebakan Qi terlarang. Kekuatan kita sebelumnya hanyalah pemanasan.”
Utusan Klan Rempah melipat kerudungnya, menatap rekan tim. “Aku akan mengawasi peta gelap. Ikuti jejak rempah bayangan.”
Sekali komando kepala Sekte, portal terbuka lebar—dinding ungu berputar, memperlihatkan lorong berisi aroma tembaga hangus dan busuk manis. Satu per satu mereka melangkah masuk, meninggalkan dunia terang di belakang.
Mereka tiba di lorong sunyi, dinding batu hitam berlumut rempah, remuk di bawah tekanan energi gelap. Cahaya ungu redup memantul di tetesan embun berwarna merah darah, bau asam dan pahit bercampur, menusuk indera. Di ujung lorong, patung-patung raksasa berbentuk sendok bergerigi berdiri berjajar—penjaga dimensi.
Master Cang mendekat, mengusap pori-pori dinding. “Ini Terowongan Neraka Perut,” bisiknya. “Dibangun dari tulang rempah iblis, setiap getaran menyimpan bisikan gelap.” Ia mengeluarkan rempah hijau “Serbuk Kayu Sunyi” dan menaburkannya di lantai—reaksi Qi-nya menciptakan jalur terang samar, menuntun langkah.
Lan’er menyalakan botol air suci; cahaya biru menari di sekeliling. “Air ini menetralkan aura busuk, tapi hanya kuat sebentar. Kita harus bergerak cepat.”
Utusan Klan Rempah membuka gulungan peta gelap. “Peta ini menandai tiga persimpangan berbahaya: Ladang Debu Kelam, Kuil Asam – Alur Rantai, dan Sangkar Metalik. Cawan Neraka terletak di pusat ketiganya.”
Mereka melangkah, batu di bawah kaki bergetar. Tiba-tiba, suara raungan menggema—makhluk “Penghisap Rasa” melintas, tubuhnya transparan, menelan aroma manis. Zhuo—murid ahli asam dari Ujian Esensi—ikut bergabung sebagai cadangan, memegang kantong bubuk asam stabil. “Aku siap membantu jika kalian kehabisan nafas rasa.”
Di persimpangan pertama, Ladang Debu Kelam: padang pasir rempah berwarna hitam pekat, angin badai kecil menyelimuti. Nian menahan jubahnya, menyalurkan Qi kayu ke telapak tangan agar pasir tak mengaburkan penglihatannya. Setiap butir debu adalah rempah mematikan yang memicu halusinasi rasa. Dengan satu isyarat, tim merapat, merentangkan kain udara suci Lan’er, menciptakan koridor aman.
“Cepat!” desis Master Cang. “Persimpangan kedua menanti.”
Persimpangan kedua membawa mereka ke reruntuhan kuil berasitektur asam bumi: pilar-pilar batu lapuk, pahatan simbol asam terkorosi. Di tengah, kolam cekung berisi cairan hijau memancar uap pedas, dan rantai besi panjang membentang ke lorong gelap.
Utusan Klan Rempah menunjuk ke rantai yang berpendar asam: “Alur Rantai ini terbuat dari esam bumi dan logam korosi—setiap langkah membangkitkan gas memabukkan.” Zhuo meraih sekantung “Serbuk Asam-Bumi Terkristal” dan menaburkannya di udara; butir-butirnya berfungsi sebagai penahan gas.
Mereka menyusuri rantai, napas tertahan. Sebuah desis tajam terdengar—makhluk “Korosi Pendekar” muncul: wujud seperti entitas berlapis asam, pedang cair terhunus di tangan.
Master Cang menggenggam Pedang Kayu Mini, memanggil api api kecil: “Tahan dulu, kami tak ingin membunuhnya. Korban hanyalah penjaga neraka!” Ia membentuk barikade Qi yang lembut, menahan asam.
Lan’er melangkah maju, melempar botol air suci ke tanah—ledakan cairan menciptakan awan kabut biru, menetralkan asam pendamping. Nian memanfaatkan momen, memfokuskan Qi logam di ujung sendok perunggu, lalu menaburkannya di pedang cair makhluk itu—pedang korosi terhenti, dan Korosi Pendekar merunduk, lalu bubar menjadi asap hijau.
Mereka melanjutkan perjalanan ke kolam cekung. Utusan Klan Rempah menggunakan gulungan peta gelap untuk memanggil pintu tersembunyi di dasar kolam—menggunakan “Kunci Rempah Hitam” yang diselipkan sebelumnya. Pintu berderit terbuka, menampakkan tangga berliku menurun ke Sangkar Metalik.
Tangga membawa mereka ke Sangkar Metalik—ruang silinder berlapis pelat besi hitam, dindingnya berpendar ukiran logam pahit. Di atas platform tengah, sebuah altar batu menjulang, teronggok Cawan Rempah Neraka: mangkuk perunggu hitam bercorak lidah api merah.
Namun ruang terjaga ketat oleh “Patung Petaka”—robot rempah logam raksasa dengan lengan gergaji berputar. Suara gigi gergaji menggema, menimbulkan getaran memecah kesunyian.
Master Cang berbisik, “Pukau ia dengan harmoni rasa, bukan kekerasan.” Ia menaruh sup pedas hangat di panci tembaga mini, menciptakan gelombang Qi api yang menari. Patung Petaka menoleh, gergajinya berhenti sejenak—tergoda oleh aroma.
Nian memanfaatkan momen, menambahkan titik-titik sari logam pahit, menyeimbangkan Qi pedas dengan getaran logam. Gelombang arus rasa beradu, menciptakan irama ungu-merah yang memukau mata patung.
Dengan konstruksi perlahan, Patung Petaka menyeret satu kakinya, membuka ruang di altar. Lan’er menyemprotkan air suci di bawah Cawan Neraka, memutuskan ikatan asam-logam yang membelenggunya. Zhuo mengeluarkan kain Qi kayu, membungkus cawan—menetralkan kontaminasi langsung.
Ketika Nian mengangkat Cawan Rempah Neraka, dentum mekanik terakhir pecah—Patung Petaka membeku, dan pintu Sangkar Metalik menutup otomatis di belakang.
Sesaat lega tercipta, tapi Utusan Klan Rempah mematung—matanya menatap peta gelap yang roboh di lantai. “Tidak…” gumamnya.
Dalam hologram peta, terlihat garis teleportasi tambahan: jejak mereka telah dimata-matai. “Kita sudah dijebak,” teriaknya. “Xionglai menggunakan sekutu di Klan Rempah untuk memantau kita!”
Master Cang menatap kabur, lalu memikirkan kilas balik: tatap mata petugas ungu saat ritual, bisikan samar di Pasar Surgawi… “Dia bukan sekutu kita,” ucapnya pelan.
Lan’er menggenggam Cawan Rempah Neraka: “Kita dikhianati dari dalam.”
Alarm dentuman bergema—dinding Sangkar Metalik memunculkan pancaran Qi gelap. Patung Petaka kembali aktif, menyerang.
Nian menyalakan panci kayu-asam, menciptakan pusaran rasa hijau-kuning. Mereka berlari ke tangga, namun lorong di atas dipenuhi makhluk “Rantai Bayangan”—ulangan Korosi Pendekar dalam bentuk bayangan ganda.
Dengan satu lompatan, Master Cang memecah bayangan pertama menggunakan Pedang Kayu Mini dipadu buliran rempah logam. Lan’er mengarahkan air suci, membuka jalan. Zhuo menaburkan asam stabil, melarutkan bayangan berikutnya. Nian menenteng Cawan Rempah Neraka, melompat masuk portal rempah ungu—sambil melempar sebutir “Serbuk Kayu Sunyi” di belakangnya.
Mereka muncul kembali di halaman Kompleks Sekte, napas terengah, jubah berlumur debu kelam. Kepala Sekte menanti, wajahnya pucat. Utusan Klan Rempah berlutut, menempatkan Cawan Neraka di altar utama—tanda pengakuan pengkhianatannya.
Namun sebelum kepala Sekte sempat berbicara, bayangan berkerudung ungu melintas cepat, menyelinap di antara tiang marmer: suara berbisik, “Permainan baru saja dimulai, Ka Nian…”
Di udara malam penuh kabut, Cawan Rempah Neraka berpendar merah gelap—pertanda ancaman sejati yang kini mengepung Sekte.