Celestial Chef's Rebirth
Bab 1: Panci Perubahan
Huang Yu, sang “Master Dapur Aurum”, menatap panci perak yang berkilau lembut di hadapannya. Malam itu, cahaya lampu kristal di Restoran Langit Tertinggi menari bak konstelasi kelap-kelip di angkasa. Ia meracik bumbu rahasia yang hanya diketahui oleh ayahnya, seorang koki legendaris di alam atas—resep “Sup Semburat Fajar”. Saat suapan pertama menyentuh lidah para tamu bangsawan, sensasi elemen cahaya dan aroma bunga embun seolah menebus kelelahan jiwa.
Namun pada detik berikutnya, panci itu meledak. Ledakan dahsyat menggetarkan fondasi restoran, meluluhlantakkan seluruh ruang makan elit. Potongan daging, rempah, dan serpihan panci beterbangan di udara, menari dalam kobaran bara. Sorak terkejut tamu berganti teriakan panik. Dan di tengah kobaran api, tubuh Huang Yu terpelanting, menumbuk lantai marmer retak, lalu terkapar tanpa tanda kehidupan.
Ketika ia membuka mata, dunia tampak redup, aroma tanah basah dan kayu bakar menyergap indra penciumannya. Pandangannya kabur, namun sekelebat bayangan hijau segar memenuhi pandangannya: daun-daun bergoyang di atas kepalanya. Tubuhnya terasa ringan, kulitnya hangat oleh sinar mentari pagi.
“Huh… ini… di mana aku?” gumamnya dalam hati. Kesadarannya berjalan lambat, seakan meraba satu per satu kenangan terakhir: restoran mewah, ledakan panci, gemuruh api. Namun di benaknya muncul wacana mentah: *aku kembali… sebagai siapa?*
Saat ia duduk perlahan, terdengar suara wanita paruh baya memanggil, “Nian! Bangun, bocah! Kau akan terlambat membantu ibumu!”
Huang Yu—yang kini menjadi Nian—mengangkat kepala dan menatap wajah lelah seorang perempuan yang sedang menyiangi sayuran. Rambutnya terurai kusut, pipinya merekah oleh dingin udara pagi. Nian merasakan denyut aneh di pergelangan tangannya: tali terikat kaku, menandakan ia bukan tamu istimewa, melainkan seorang anak petani miskin.
“Anak… Nian?” ucapnya lirih. Ia mencoba menggerakkan lidahnya, tetapi suara yang keluar bukan suara anggun sang koki elit, melainkan suara tipis penuh kecemasan.
Di dalam dapur sederhana gubuk petani di kaki Gunung Rasa Kayu, Nian diajak ibunya menyiapkan makan pagi. Panci tanah liat dipanaskan di atas tungku berbatu, air dituangkan, irisan jagung, kentang, dan akar tanda diaduk perlahan. Ibunya sibuk menambahkan garam kasar dan sedikit bunga edelweis kering.
Nian mencongkel sekantong kecil bubuk rempah berwarna hijau pudar—ramuan yang dibelinya dari pedagang keliling. Ia mencampurkan rempah itu ke dalam kuah. Sekonyong-konyong, aroma segar kayu muda dan dedaunan menebar—harum yang mengingatkan pada hutan hujan selepas hujan. Tubuh Nian menggetar: rasa rempah itu menyentuh “syaraf rasa”nya, memunculkan sensasi sejuk lalu hangat.
“Ma… mau pakai ramuan ini?” tanya sang ibu waspada. “Kita kan cuma keluarga miskin…”
Nian mendongak, menahan gemetar tak wajar. “Coba dulu, Bu. Aku rasa ini… spesial.”
Ia mengaduk perlahan, merasai getaran Qi kecil di ujung jari. Bayangan memori memasak ribuan hidangan arwahnya terlintas, dan ia tahu: ini bukan ramuan biasa. Saat sendok sayur menyendok sup ke dalam mangkuk tanah liat, kilatan lembut kehijauan menari di permukaan kuah.
Satu suap pertama menjejak lidah Nian sendiri—disebutnya “Rasa Kayu Muda”—lalu merambat hangat menyusup ke pusat perut. Di benaknya, muncul diagram mental lima rasa-elemen: asin/kayu, manis/air, pedas/api, asam/bumi, pahit/logam. Meski ia baru menyentuh salah satunya, ia merasakan struktur sistem Culinary Qi terpatri dalam ingatannya.
Tak lama setelah itu, beberapa sesepuh Sekte Langit Suci datang berombongan, terheran-heran merasakan aura Qi yang menebar jauh di ladang sekitar. Nian kebingungan melihat kerumunan orang berpakaian jubah serba putih itu menatap mangkuk supnya bak artefak langka.
Ketika salah seorang sesepuh mengernyit, Nian menarik napas panjang dan berpikir keras seperti sedang mengajar murid:
“Setiap rasa mewakili satu elemen. Garam mewakili kayu karena pertumbuhan dan kesegaran; gula air karena kelembutan dan kesinambungan; cabai api karena panas dan transformasi; asam bumi karena stabilitas, dan rempah pahit logam karena penebasan dan ketajaman. Dalam memasak, pengendalian Qi rasa menghasilkan manifestasi elemen: dari naga api mini hingga pohon kayu yang tumbuh di atas piring.”
Dalam benaknya, muncul visualisasi alokasi Qi: jumlah bubuk rempah, suhu tungku, durasi pengadukan, semuanya berhubungan matematis. Ia menjelaskan konsep “Resonansi Rasa”: bila Qi rasa dan Qi tubuh juru masak seirama, maka efek elemen akan terpancar.
Para sesepuh saling berpandangan, beberapa mengangguk dalam decak kagum. Sebagian lagi menahan keraguan—anak petani miskin menguasai teori seperti itu?!
Kepala Sekte Langit Suci, berkumis putih panjang, melangkah maju. Sorot matanya tajam menatap Nian, seakan menelusuri kedalaman jiwanya. Ia menepuk tangan sekali, dan dentang gong batu sungguh terdengar:
“Tuan Nian, esok pagi di Altar Rasa, kau diundang mempresentasikan ‘Sup Rasa Pertama’ di hadapan seluruh murid. Jangan coba-coba membawa ‘bahan terlarang’ atau meniru resep kaum luar. Bila gagal—atau menyembunyikan sesuatu—Sekte akan memberi hukuman setimpal.”
Nian menelan ludah. Detak jantungnya bergema di telinga. Ia menatap panci tanah liat dan pabrik kenangan memasaknya berdenyut dalam pikirannya. Satu kepercayaan tumbuh: " aku harus menang."
Di sudut gubuk, api tungku berderu, bayangan panci memanjang di dinding. Esok, di bawah sinar fajar dunia kuliner surgawi, tak hanya supnya yang akan diuji—namanya dan masa depannya akan dipertaruhkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments