Sebuah cerita perjuangan hidup seorang ayah yang tinggal berdua dengan putrinya. Meski datang berbagai cobaan, selalu kekurangan, dan keadaan ekonomi yang jauh dari kata cukup, tapi keduanya saling menguatkan.
Mereka berusaha bangkit dari keadaan yang tidak baik-baik saja. Ejekan dan gunjingan kerap kali mereka dapatkan.
Apakah mereka bisa bertahan dengan semua ujian? Atau menyerah adalah kata terakhir yang akan diucapkan?
Temukan jawabannya di sini.
❤️ POKOKNYA JANGAN PLAGIAT GAESS, DOSA! MEMBAJAK KARYA ORANG LAIN ITU KRIMINAL LHO! SESUATU YANG DICIPTAKAN SENDIRI DAN DISUKAI ORANG MESKI BEBERAPA BIJI KEDELAI YANG MEMFAVORITKAN, ITU JAUH LEBIH BAIK DARI PADA KARYA JUTAAN FOLLOWER TAPI HASIL JIPLAKAN!❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Menikah Lagi?
Saat itu Ayu berumur empat tahun, dia sakit. Teguh bingung karena meski sudah memeriksakan Ayu ke bidan desa tapi panasnya tak kunjung reda. Dia tak mau hal buruk menimpa putrinya.
"Mak.. Ayu masih panas aja. Semalem malah enggak tidur, nangis minta gendong terus." Terang Teguh pada emaknya yang datang menjenguk cucunya.
Emak Teguh menggendong Ayu, menyentuh dahinya yang ternyata memang panas. "Bawa ke puskesmas Guh. Takutnya kena demam berdarah."
Teguh mengangguk. "Mak.. Aku mau jual becak itu aja." Kata Teguh setelah menggantikan baju Ayu, bersiap akan ke puskesmas untuk berobat.
"Kenapa kok dijual? Kalau buat periksa Ayu aja emak ada sedikit uang. Kamu enggak perlu jual becak mu. Lagian becak itu kan selama ini yang bantu kamu cari uang, nanti kalau dijual kamu mau kerja apa?"
"Kalau diingat lagi.. Becak itu juga banyak kenangannya. Waktu Ayu lahir sampai Nur enggak ada, becak itu punya peran penting. Apa enggak sayang kamu Guh?" Lanjut emak yang sekarang kembali menggendong Ayu dengan kain gendongan. Teguh terdiam.
"Kita bawa Ayu dulu ke puskesmas. Masalah mau jual becak diomongin nanti aja. Cah ayu sama mbah ya, periksa yuk biar cepet sembuh." Ayu diam saja menyandarkan kepalanya pada mbah uti nya.
Setelah kepergian Nur, Teguh menjadi pendiam. Jarang bicara, dia baru bisa tersenyum dan banyak bicara saat bersama Ayu saja. Orang tua Teguh berharap Teguh bisa melanjutkan hidup dengan mencari pengganti Nur tapi hal itu selalu Teguh abaikan. Karena tak ingin terus ikut campur urusan anaknya, emak dan bapak Teguh akhirnya membiarkan saja Teguh menjalani hidup sebagai seorang duda.
"Kamu nikah aja lagi Guh, kan juga demi kebaikan Ayu. Ayu ada yang jagain waktu kamu kerja. Ada yang ngurus kamu sama Ayu. Kalau kayak gini kan kamu sendiri yang keder, keteteran, antara kerja sama momong. Belum lagi kalau Ayu sakit gini. Kamu jadi enggak bisa kerja kan." Ucap paman Teguh, adik dari emaknya.
"Aku nikah bukan untuk cari pembantu. Nur memang sudah tidak di sini bersama kita tapi, tidak ada niatan sedikitpun untukku mencari penggantinya." Tegas dan mantap itulah yang dikatakan Teguh untuk menjawab usulan pamannya.
"Alah ya terserah. Makan saja masih senin kemis kok mikir perasaan segala! Ngomong sama kamu lama-lama stress aku! Aku pulang dulu, ini ada sedikit uang buat Ayu beli jajan sendiri."
Paman Teguh pulang. Lagi-lagi seperti itu, keluarganya menyuruhnya menikah. Sebenarnya bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan tapi bagi Teguh selain hatinya sudah terpatri pada Nur, dia hanya ingin perhatiannya untuk Ayu saja. Dengan menikah lagi artinya dia akan membagi perhatian pada istri barunya nanti, dan itu tak ingin Teguh lakukan. Apalagi ekonominya yang morat-marit tak memungkinkan untuk menikah lagi, benar kata pamannya.. untuk makan saja masih senin kemis kok ya menyusahkan diri dengan pikiran nikah lagi.
Ayu dirawat di puskesmas. Lagi-lagi hati Teguh merasakan perih, dia menenangkan Ayu yang terus menangis setelah dipasang infus. Tangan sekecil itu beberapa kali harus ditusuk jarum untuk menemukan pembuluh darah vena. Ayu terus meronta dan tidak bisa diam oleh karena itu petugas medis sedikit kepayahan saat melakukan pemasangan infus.
"Masnya sabar banget ya, dari tadi anaknya digendong terus. Ibunya kemana emang mas, kok bukan ibunya yang nemenin?" Tanya seseorang yang sedari tadi memperhatikan Teguh dan Ayu. Dia adalah keluarga pasien lain yang datang membesuk kala itu.
Teguh awalnya tak ingin menjawab pertanyaan ibu-ibu yang menanyainya. Tapi akhirnya dia membuka suara. "Ibunya sudah tenang di alamnya bu," Jawaban singkat yang ditanggapi ucapan maaf dan bela sungkawa oleh si ibu setelahnya.
"Bapak.." Ayu kembali merengek.
"Dalem cah ayu, mau apa nduk? Makan ya? Biar cepet sembuh, bisa cepet pulang ya." Bujuk Teguh sabar.
"Ayu pengen sama ibu, hiks hiks.. Ayu mau ibu.." Tangisnya menjadi.
Dengan kipas dari bambu yang disebut ilir, Teguh mengipasi Ayu. Menyeka air mata anaknya, mengusap pelan punggung kecil itu sampai Ayu tertidur. Pelan Teguh merebahkan Ayu ke tempat tidur. Wajahnya menunduk. Bisa dipastikan dia menangis.
Innal Habibal Mushthofa
Sesungguhnya Nabi Muhammad yang terpilih
Dzuu rofati waa dzu wafaa
Memiliki kasih sayang dan kemuliaan
Wa dzikruhu fiihis-syifaa
Dan mengingatnya adalah obat
Idzaa tamaadaa bil ‘ilal
Bila ditimpa penyakit
Wa dzikruhu fiihis-syifaa
Dan mengingatnya adalah obat
Idzaa tamaadaa bil ‘ilal
Bila ditimpa penyakit
Nilnaa bihi thuulal madaa
Kami memperoleh pertolongan
Nashron ‘alaa kullil ‘idaa
Dalam menghadapi setiap musuh
Nilnaa bihi thuulal madaa
Kami memperoleh pertolongan
Nashron ‘alaa kullil ‘idaa
Dalam menghadapi setiap musuh
Yasurrunaa ayyuftadaa
Kami bahagia
Birruuhi minnaa wal muqoll
Saat ruh dan perkataan kami dijadikan tebusan
Yasurrunaa ayyuftadaa
Kami bahagia
Birruuhi minnaa wal muqoll
Saat ruh dan perkataan kami dijadikan tebusan
Innal Habibal Mushthofa
Sesungguhnya Nabi Muhammad yang terpilih
Dzuu rofati waa dzu wafaa
Memiliki kasih sayang dan kemuliaan
Wa dzikruhu fiihis-syifaa
Dan mengingatnya adalah obat
Idzaa tamaadaa bil ‘ilal
Bila ditimpa penyakit
Wa dzikruhu fiihis-syifaa
Dan mengingatnya adalah obat
Idzaa tamaadaa bil ‘ilal
Bila ditimpa penyakit
Thoorot lahu arwaahunaa
Ruh-ruh kami berterbangan
Daamat bihi afroohunaa
Kekal rasa bahagia kami
Thoorot lahu arwaahunaa
Ruh-ruh kami berterbangan
Daamat bihi afroohunaa
Kekal rasa bahagia kami
Zaalat bihi atroohunaa
Hilang kegelisahan kami dengannya
Fahuwar-rojaa-u wal amal
Itulah harapan dan keinginan kami
Zaalat bihi atroohunaa
Hilang kegelisahan kami dengannya
Fahuwar-rojaa-u wal amal
Itulah harapan dan keinginan kami
Sholawat yang paling sering Nur senandungkan jika Ayu tidak bisa tidur, kini pelan tapi masih bisa terdengar Teguh nyanyikan untuk Ayu. Meski tak semerdu suara Nur, lantunan sholawat itu berhasil mengantar Ayu ke alam mimpi.
Ibu-ibu tadi terus memperhatikan Teguh, hatinya iba. Entah kenapa air matanya lolos hanya mendengar Teguh bersholawat.
"Mas.. Yang sabar ya, Aku kok malah nangis gini liat mas sama dedeknya." Ucap Ibu itu sambil mengelap air matanya dengan ujung baju yang dia pakai. Teguh hanya mengangguk. Tak menanggapi berlebihan.
Emak Teguh yang masih ada di sana juga kasihan melihat anak serta cucunya begitu kehilangan sosok Nur. Nampak begitu jelas dan nyata cinta Teguh untuk Nur. Tak berubah, masih sama seperti saat Nur masih ada.
"Guh, kamu makan dulu.. Biar mak yang gantiin kamu jaga Ayu."
"Nanti aja mak. Belum lapar."
Teguh mengesampingkan rasa laparnya, yang ada di pikirannya hanya kesembuhan Ayu. Memang seperti itulah setelah menjadi orang tua, akan selalu mengutamakan anaknya. Merasakan berkali-kali lipat apapun yang anaknya rasakan, saat anak tertawa bahagia.. hanya dengan melihat tawa renyah sang anak, orang tua pasti akan ikut senang juga. Demikian pula saat anak bersedih, melihat tangisannya hati orang tua mana pun pasti ikut pilu.
mgkn noveltoon bs memperbaiki ini..