Alya, gadis kelas 12 yang hidup sederhana, terkejut saat mengetahui ayahnya terlilit hutang besar pada Arka Darendra — CEO muda paling berpengaruh di kota itu.
Saat debt collector hampir menyeret ayahnya ke polisi, Arka datang dengan satu kalimat dingin:
“Aku lunasi semuanya. Dengan satu syarat. Putrimu menjadi istriku.”
Alya menolak, menangis, berteriak—tapi ayahnya memaksa demi keselamatan mereka.
Alya akhirnya menikah secara diam-diam, tanpa pesta, tanpa cinta.
Arka menganggapnya “milik” sekaligus “pembayaran”.
Di sekolah, Alya menyembunyikan status istri CEO dari teman-temannya.
Di rumah, Arka perlahan menunjukkan sisi lain: posesif, protektif, dan… berbahaya.
Mereka tinggal seatap, tidur sekamar, dan gairah perlahan muncul—walau dibangun oleh luka.
Konflik berubah ketika masa lalu Arka muncul: mantan tunangan, dunia bisnis yang penuh ancaman, dan rahasia gelap kenapa ia sangat tertarik pada Alya sejak awal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Malam Penegasan
Alya berdiri mematung di kamar mandi, masih terbungkus handuk. Kata-kata Arka—*“Malam ini, aku akan membuktikan padamu apa artinya ‘milik’ Darendra”—*bergaung di telinganya, dingin dan mengancam. Ia merasakan ketakutan menusuk hingga ke tulang, tetapi di tengah ketakutan itu, ada gelombang panas yang tidak diinginkan yang berasal dari sentuhan Arka di pergelangan tangannya.
Ia harus mengulur waktu.
Alya memaksa dirinya mandi, air hangat membasahi kulitnya, berusaha membersihkan aroma Arka yang terasa begitu melekat. Ia mencuci rambutnya lama, berharap ketenangan air bisa menenggelamkan rasa paniknya. Ketika ia keluar dari kamar mandi, ia memastikan ia menghabiskan waktu setidaknya dua puluh menit.
Arka sudah tidak ada di kamar.
Alya menghela napas lega sesaat, tetapi rasa lega itu segera lenyap ketika ia menyadari pintu penghubung ke ruang kerja Arka yang tersembunyi terbuka sedikit.
Ia segera mengenakan pakaian—bukan piyama sutra yang provokatif, melainkan piyama katun berlengan panjang paling longgar yang ia temukan. Ia menyisir rambutnya yang masih lembap dan berjalan keluar kamar.
Di ambang pintu, Jeevan sudah menunggu, kali ini dengan ekspresi yang lebih serius.
“Nyonya Arka, Tuan Arka menunggu Anda di ruang makan. Beliau meminta Anda untuk tidak membuatnya menunggu lagi.”
Alya menelan ludah. Ia melanggar batas waktu mandi, tetapi ia tidak ingin melanggar batas waktu makan malam. Itu adalah perintah.
Ruang makan Arka terletak di sayap lain villa, menghadap langsung ke taman kecil dengan air mancur minimalis. Meja makan itu panjang, terbuat dari kayu gelap, dan hanya diatur untuk dua orang. Suasana di sana formal, hening, dan sangat jauh dari kata romantis.
Arka sudah duduk di kursi kepala meja, mengenakan kemeja linen hitam yang rapi. Dia tidak lagi mengenakan t-shirt kasual seperti tadi, tetapi tampilan formal itu tidak mengurangi ancaman yang terpancar darinya.
Alya berjalan menuju kursi di seberangnya, yang disiapkan Jeevan.
“Kau terlambat 27 menit,” tegur Arka, suaranya pelan dan dingin, tanpa mengangkat pandangan dari piringnya.
Alya duduk, merasa semakin kecil di kursi besar itu. “Saya minta maaf, Tuan Arka. Saya sedang di kamar mandi. Saya tidak bisa terburu-buru.”
Arka akhirnya mendongak, matanya tajam. “Di rumah ini, kau harus memprioritaskan kepatuhan. Mandi bisa dipercepat. Mematuhi perintah tidak bisa ditunda.”
Jeevan mulai menyajikan hidangan. Masakannya mewah—sup kental beraroma truffle, steak Wagyu yang dihidangkan di piring porselen putih. Alya hanya bisa menatap makanan itu. Ia benar-benar tidak nafsu makan.
Arka makan dengan tenang, efisien, dan tanpa mengeluarkan suara. Dia sesekali melirik Alya, mengawasi setiap gerakannya.
“Makan,” perintah Arka.
Alya mengambil sendok, mencoba menyuap sup. Sup itu terasa hambar di lidahnya yang tegang.
“Aku sudah meninjau ulang catatan sekolahmu,” Arka melanjutkan, nadanya kembali ke mode ‘bos’ yang meninjau laporan. “Nilaimu bagus. Pertahankan. Itu adalah satu-satunya hal yang akan memberimu sedikit kebebasan.”
“Terima kasih,” balas Alya singkat.
“Jangan terima kasih. Aku berinvestasi padamu. Dan aku benci kerugian. Jika nilaimu menurun karena kau terlalu sibuk memikirkan masalah ini, ayahmu yang akan menanggung akibatnya,” Arka mengancam.
Ancaman itu berhasil. Itu adalah satu-satunya cara untuk mengendalikan Alya: selalu melibatkan ayahnya.
Setelah makan malam yang terasa seperti interogasi, Arka berdiri. “Ikuti aku.”
Alya tidak punya pilihan selain menuruti. Mereka naik ke lift yang mengantar mereka kembali ke kamar utama.
Kamar itu kini terasa seperti medan perang.
Arka menutup pintu kamar dan menguncinya. Bunyi ‘klik’ kunci itu memutus Alya dari dunia luar, meninggalkannya sepenuhnya di bawah kendali Arka.
“Alya, malam ini kau akan belajar bahwa kau tidak punya hak untuk membentak suamimu, dan kau tidak punya hak untuk berinteraksi dengan pria lain. Apalagi pria yang aku tahu memiliki perasaan padamu,” kata Arka, suaranya rendah dan berbahaya.
Alya merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia mundur beberapa langkah. “Tuan Arka, saya sudah bilang, saya tidak mengizinkannya menyentuh saya. Itu tidak disengaja.”
“Disengaja atau tidak, itu tidak relevan. Yang relevan adalah: Itu terjadi, dan kau membiarkannya. Dan kau harus tahu, siapa yang memiliki hak mutlak atas kulitmu, Alya.”
Arka maju perlahan. Alya terus mundur sampai punggungnya menabrak dinding kaca dingin, menghadap ke pemandangan malam kota yang indah. Pemandangan itu ironis—semua kebebasan kota terbentang di depannya, tetapi ia sendiri terperangkap.
Arka berhenti tepat di hadapan Alya. Tubuhnya yang tinggi dan berotot membayangi Alya sepenuhnya. Ia mengangkat kedua tangan, menopangkannya di dinding di kedua sisi kepala Alya, menjebak Alya dalam sangkar yang terbuat dari tubuhnya.
Alya memejamkan mata, menunggu sentuhan kasar.
“Buka matamu,” perintah Arka, suaranya tegas.
Alya menuruti. Ia menatap mata Arka yang hitam, yang kini memancarkan api yang membara.
“Lihat aku, Alya. Lihat ke dalam mataku. Ingat, bahwa kau milikku. Tidak ada yang bisa mendekatimu. Tidak ada. Aku tidak berbagi. Aku membeli sepenuhnya.”
Arka tidak menyentuh wajah Alya. Ia hanya menurunkan pandangannya, menatap bibir Alya. Alya merasakan napasnya tertahan, menunggu ciuman yang akan datang—ciuman yang akan menandai akhir dari masa polosnya.
Arka mendekatkan wajahnya. Bibirnya menyentuh bibir Alya, bukan dengan ciuman nafsu, melainkan dengan sentuhan yang sangat singkat, keras, dan dingin. Ciuman itu tidak romantis, melainkan sebuah segel. Segel kepemilikan.
Sebelum Alya bisa bereaksi, Arka menarik diri. Wajahnya hanya berjarak beberapa inci.
“Itu adalah peringatan pertama,” desis Arka.
Kemudian, Arka menggeser perhatiannya. Tangannya terangkat, dan ia dengan cepat membuka dua kancing atas piyama Alya. Pakaian Alya yang longgar membuat aksinya cepat dan mengejutkan.
Alya terkesiap, tangannya refleks menutupi dadanya.
Arka tersenyum dingin. “Jangan terburu-buru. Kau akan menjadi miliku seutuhnya, tapi aku yang memutuskan waktunya. Aku punya rencana, Alya. Aku tidak melakukan sesuatu tanpa rencana.”
Arka kemudian mencengkeram lembut pergelangan tangan Alya dan menariknya menjauh dari dinding. Ia berjalan ke tengah ruangan, lalu menarik selimut dan bantal dari ranjang, melemparnya ke lantai marmer yang dingin.
“Kau ingin batas? Kau tidak ingin berdekatan? Aku akan memberikannya, Istriku,” kata Arka, matanya kejam. “Kau tidur di lantai malam ini. Untuk menghukum pemberontakan kecilmu dan interaksi dengan Deo.”
Alya menatap ranjang besar yang kini kosong, lalu ke selimut di lantai. Hukuman ini tidak melibatkan sentuhan intim, tetapi jauh lebih memalukan dan merendahkan. Itu menunjukkan bahwa dia tidak lebih dari seekor hewan peliharaan yang harus diberi tempat di lantai, bukan pasangan hidup yang terhormat.
“Tuan Arka, itu tidak adil!” protes Alya. “Anda melunasi hutang, bukan membeli saya sebagai pelayan!”
Arka menghela napas, seolah Alya adalah anak kecil yang rewel. “Keadilan? Keadilan adalah ayahmu di penjara. Keadilan adalah lima miliar hutangmu. Ini adalah kemewahan, Alya. Kau tidur di lantai marmer yang dipanaskan. Kau masih punya selimut sutra. Itu sudah lebih dari cukup.”
Arka mengambil ponsel dan berjalan ke sofa kulit di sudut kamar. Ia duduk, menyalakan televisi plasma di dinding, dan mulai menonton berita ekonomi.
“Aku akan tidur di sofa. Kau di lantai. Dan jangan coba-coba bergerak atau naik ke ranjang. Jika kau bergerak, hukumanmu akan meningkat drastis.”
Alya berdiri di tengah kamar, air mata kembali menggenang. Ia merasa jijik pada Arka, dan jijik pada dirinya sendiri karena harus menerima perlakuan ini.
Ia berjalan ke lantai, mengambil bantal, dan menarik selimut sutra yang berat itu. Ia berbaring di lantai yang dingin, punggungnya terasa sakit. Ia meringkuk di dalam selimut, mencoba menahan isak tangis agar tidak terdengar oleh Arka.
Arka tidak bergerak. Dia terus menonton berita, suara penyiar berita menjadi satu-satunya suara di kamar itu.
Setelah beberapa saat, Alya merasa kakinya mulai kram. Ia bergeser sedikit.
Tiba-tiba, suara Arka yang rendah memecah keheningan.
“Satu gerakan lagi, dan kau tidur tanpa selimut, Alya. Kontrol dirimu.”
Alya berhenti. Ia tahu Arka mengawasinya, bahkan tanpa menoleh. Dia tidak hanya mengendalikan tubuhnya, dia mengendalikan setiap gerakan, setiap napasnya.
Alya kembali meringkuk. Rasa dingin lantai meresap, tetapi rasa dingin yang lebih parah berasal dari rasa pengkhianatan diri.
Malam itu, Alya Ramadhani benar-benar menjadi Istri CEO. Bukan di ranjang mewah, melainkan di lantai dingin, di hadapan suaminya yang menganggapnya sebagai objek yang perlu dihukum. Ini bukan tentang fisik; ini adalah tentang psikologis. Arka telah menang sepenuhnya, membuktikan bahwa ia adalah pemilik mutlak.
Alya memejamkan mata, memeluk lututnya, dan berharap pagi segera datang. Tetapi ia tahu, bahkan fajar pun tidak akan membawa kebebasan baginya.