NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:292
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 8

“Vienaaa, serius deh, sumpah ini match terparah!”

Sita merengek di sudut kamarnya, jempolnya gesit di layar ponsel, tapi matanya setengah melotot ke arah sahabatnya yang tengkurap malas di atas ranjang. “Kenapa sih lu diem aja? Gue butuh backup, backup!”

“Sorry, gue gak fokus,” gumam Viena, tanpa menoleh.

“Emang lagi mikir apaan? Lord-nya tuh udah diambil musuh, tower jebol semua, dan lu masih farming di jungle kayak anak baru main!”

Viena hanya mendesah, pipinya menempel di bantal bergambar karakter anime yang jelas milik Sita. Berharap game dapat membawanya lari dari realita meskipun dia tahu jika dirinya hanya berusaha menghibur diri dengan harapan palsu. “Santai aja, ini juga cuma game.”

“Cuma game, katanya!” Sita mendengus dramatis, lalu memukul punggung Viena dengan guling. “Cuma game tapi rank gue turun lima bintang. Lima! Do you even realize what that means, Tinasha Putri Viena yang katanya jago tapi main kayak bot?”

“Baka… ,” balas Viena, tanpa tenaga. Kalau boleh jujur, wangi-wangian dari campuran parfum, tatapan orang-orang yang mengukur penampilannya dari harga, sampai kue manis yang terasa pahit nan ambigu. Rasanya mual hanya dengan mengingat kejadian itu. Semuanya terjadi di malam yang sama setelah keputusan tergila dalam hidupnya sedang ia ambil. Tidak ada ruang untuk bernafas, bahkan sampai detik ini.

Sita mendongak cepat karena tersinggung oleh balasan ketus Viena. “Anjir, sekarang lu udah jago bahasa Jepang? Ketularan jadi wibu, kah?”

Lantaran gak mampu menahan lagi, Viena akhirnya tertawa. Suara tawa itu terdengar santai, tapi ada sesuatu di dalamnya yang terasa garing.

Sementara sahabatnya terlampau peka, Sita menatap lama, lalu ikut naik ke ranjang, duduk bersila di samping Viena. “Oke, spill. Gue tahu kalau lu udah mulai bengong selama lebih dari tiga detik, berarti ada yang gak beres.”

“Enggak, beneran, cuma capek.”

“Capek karena kalah mulu main ML?” sindir Sita.

“Capek karena hidup,” Viena mengoreksi dengan lirih, matanya menyapu dinding, lalu naik ke langit-langit kamar yang penuh poster anime, mini figure dan deretan keychain. “Kadang gue ngerasa kayak karakter figuran di dunia anime.”

Sita menurunkan volume ponselnya, wajahnya melunak kali ini. “Lu kenapa, Vi? Ini gara-gara keluarga lu lagi, ya?”

“Bukan,” celetuk gadis itu. Terlalu cepat, sampai Sita malah makin curiga.

“Terus?”

“Cuma… aku abis ketemu seseorang.”

 

Cara bicaranya turun satu oktaf. Bodohnya, si alis tebal bergigi gingsul yang dia maksud malah sekonyong-konyong melintas di pikirannya. Padahal dia sama sekali tidak mau mengingat wajahnya.

Viena terbilang fasih dalam membaca pikiran laki-laki. Perilaku datar yang dibumbui sedikit ketenangan ekspresi bukanlah suatu tanda-tanda positif tentang munculnya percikan api cinta di dalam hati pemuda Aksantara itu. Tidak ada perasaan cinta yang tulus dari Darren kepada gadis culun seperti dirinya. Tidak mungkin.

Anehnya, semakin ia meyakinkan diri bahwa Darren tidak memikirkan dirinya, pikirannya justru semakin terisi oleh pemuda itu. Ini sungguh konyol.

“Cowok?” tebak Sita. Matanya membulat seperti seekor kucing yang menanti hadiah dari majikannya.

Viena menggigit bibir bawahnya, setengah mengangguk. “Hm.”

“Cowok yang lu ceritain kemarin? Yang—” Sita berhenti, pura-pura berpikir. “Yang lu temuin pas kabur dari rumah itu?”

“Bukan,” celetuk Viena lagi, lalu mengembuskan napas berat. “Ya… mungkin iya juga… kayaknya.”

Sita melotot. “Hah, yang mana sih?! Lu tuh suka banget jawab ambigu, tahu gak.”

“Cowok ini… ,” Viena berhenti sejenak, matanya menerawang. “Dia beda, Sit. Dari cara dia ngomong, dari cara dia lihat orang, semuanya kayak… tenang tapi bahaya. Lu ngerti gak sih?”

“Tenang tapi bahaya?” Sita mengernyit. “Kayak, Gojo?”

Viena menahan tawa geli. “Kurang lebih.”

 

“Oke, terus lu naksir ama dia?”

 

“Lah! Enggak mungkin,” bantah Viena. “Gue bahkan gak yakin dia suka cewek apa kagak. Dia tuh kayak selalu punya alasan buat menjaga jarak dari dunia. Tapi waktu dia ngelihat gue, entah kenapa gue ngerasa kayak… gue bukan orang asing di mata dia. Padahal baru ketemu. Tapi rasanya itu cuma gue aja yang ke geer-an.”

Sita terdiam. Untuk sekali ini, dia gak punya punchline anime atau apapun yang spontan timbul di kepalanya demi mencairkan suasana.

Bunyi notifikasi dari game yang sudah diabaikan. Sita menggulung selimut ke pangkuannya, lalu menatap Viena yang kini memeluk bantal.

“Dia nyakitin lu?” tanya Sita pelan-pelan.

“Belum. Tapi gue ngerasa dia bakalan gitu.” Viena sendiri menatap kosong ke arah ponselnya di meja. “Dia bilang, semua yang dia lakuin itu cuma formalitas. Tapi gue malah kepikiran terus. Tentang tatapannya, tentang cara dia pegang tangan gue waktu semua orang di ruangan itu kayak mau ngebunuh dia.”

“Anjir,” desah Sita. “Kayak adegan drama Korea, tapi levelnya lebih dark.”

Viena tersenyum pahit. “Drama Korea aja gak separah ini. Yang ini nyata.”

“Nama cowoknya siapa?” tanya Sita sambil mengunyah keripik yang entah dari mana muncul. “Kasih tau dong… .”

“Namanya Darren.”

Sita mengangkat alis tinggi. “Nama anak orang kaya. Emang dia anak siapa?”

“Anak seseorang yang aku harap bukan—” Viena tertawa kecut. “Keluarganya kaya banget Sit, kayak hidup di dunia manhwa. Rumahnya penuh orang yang saling benci tapi masih sempat saling senyum di depan tamu.”

“Walah, itu definisi sinetron jam tujuh malam.”

“Keluarganya, iya. Tapi dia beda, Sit.”

Kali ini suara Viena benar-benar pelan, seperti rahasia yang tidak boleh keluar. Entah karena dia takut, atau karena terlalu malu untuk mengakui. Memory beberapa hari yang lalu nyatanya melekat begitu kuatnya.

“Dia tuh satu-satunya orang yang gak pakai topeng di antara mereka. Itu yang justru bikin gue takut.”

Sita menatap lama, lalu tiba-tiba menghela napas panjang. “Viena, gue cuma bisa bilang satu hal.”

“Apa?”

“Kalau cowok itu bisa bikin lu ngomong segalau ini, berarti dia memang berbahaya banget. Entah buat lu, atau buat hatilu.”

Sita menatap layar ponsel Viena. “Please, kalau nanti dia ngajak lu main ML bareng, tolong ya… mainnya jangan bengong kayak orang kesurupan. Rank-ku udah turun lima bintang.”

Tawa geli akhirnya lolos dari bibir Viena. “Dasar Sita… Sita. Mana mungkin cowok kayak dia main ML.”

“Eh tapi serius, Vi. Apapun yang lu pikirin soal dia… jangan sampai lu lupa diri lu sendiri. Lu baru aja melewati fase-fase sulit dalam hidup lu.” Sita menyodorkan keripik. “Sekarang makan dulu, biar gak manyun.”

Viena menerima keripik itu, menggigit setengahnya, lalu menatap sahabatnya dengan hangat. “Lu itu lucu, Sita… Sita. Gak semua orang harus secantik gue.”

“Yamete, Viena senpai! Jangan rendahkan aku dengan keanggunanmu!”

Mereka berdua sudah seperti dua kutub yang tak bisa dipisahkan sejak SMA. Sita, si berisik yang selalu bisa menertawakan apapun, dan Viena, si paling cantik yang lebih suka terlihat jelek daripada cantik. Pertemuan mereka dulu bahkan bukan karena kesamaan, melainkan karena kebetulan kala satu kelompok drama sekolah gagal tampil akibat listrik padam. Tapi dari hari itu, keduanya tidak pernah benar-benar berpisah. Sita adalah satu-satunya orang yang tetap bertahan di sisi Viena saat teman-teman yang lain menjauh, ketika berbagai rumor kejam tentang Viena beredar seperti kabar gosip murahan di kantin sekolah. Ada yang bilang dia murahan, ada yang bilang barang bekas.

Selama bertahun-tahun, Sita jadi semacam jangkar di hidup Viena. Tempat bagi gadis itu untuk pulang, tempat bersembunyi tanpa perlu menjelaskan apapun. Dari latihan nyanyi, curhat di kantin sampai nonton anime berjam-jam, kedekatan mereka tumbuh bukan karena kemiripan, tapi karena saling memahami kekurangan satu sama lain. Sita tahu cara membuat Viena tertawa di tengah kesulitan, dan Viena tahu cara membuat Sita terdiam tanpa merasa disalahkan. Mungkin itulah sebabnya, sekalipun dunia Viena kini mulai berubah, satu hal yang tak pernah berubah, hanyalah keberadaan Sitarani Ayunda Maharani Dewangkara Putri di sisinya. Setidaknya keduanya sama-sama bernama Putri, mungkin ini alasan lain jika terlalu dipaksakan?

Keduanya kini tertawa keras layaknya dua ekor rubah, sampai notifikasi pesan bertuliskan ‘Darren’ muncul di layar ponsel Viena.

Gadis itu bengong menatap layar ponselnya. Jantungnya mulai berdebar. Lagi. Padahal udah beberapa hari berlalu, pemuda itu memang tidak memberinya kesempatan untuk bernapas. Meskipun Viena tahu, dia sudah menantikan pesan ini sejak kemarin.

“Share lokasi kamu, besok aku bakalan jemput kamu buat bahas pekerjaan yang cocok buat kamu. Jangan begadang, aku dateng jam delapan pagi.” - Darren

 

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!