Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Masa Lalu Pilihan Mertua
Sementara di kantor, Arman tidak bisa fokus bekerja. Pikirannya terus melayang, terutama setelah menerima pesan dari Raya yang mengajaknya makan siang bersama.
Awalnya, ia ragu. Namun, entah kenapa, hatinya goyah. Setelah beberapa menit berpikir, akhirnya ia membalas pesan Raya, "Oke, kita makan siang bareng."
Setelah itu, Arman kembali menatap layar komputernya, tapi pikirannya sudah tidak lagi di pekerjaan. Ada perasaan bersalah, tapi di sisi lain, ada rasa penasaran dan kenyamanan yang mulai tumbuh kembali dalam dirinya.
Diva merasa nostalgia saat berada di minimarket keluarganya. Dulu, dari sinilah orang tuanya mampu membiayai kuliah dirinya dan kakaknya. Sekarang, tempat ini sudah berkembang pesat, lebih besar dan lebih modern.
Ia berjalan mengelilingi rak-rak, memperhatikan setiap sudut toko yang tampak lebih tertata rapi dibanding terakhir kali ia datang. Ada rasa bangga melihat usaha keluarga masih berjalan dengan baik.
Saat sedang berbincang dengan karyawannya, pikirannya sesekali melayang ke rumah. Apakah bang Arman baik-baik saja? Apakah ibu mertua masih berusaha mendekatkan bang Arman dengan Raya?
Namun, ia segera menepis kecemasan itu. Saat ini, ia ingin menikmati waktunya dan mencari cara agar bisa mandiri secara finansial. Jika suatu saat harus berpisah, ia ingin memastikan dirinya tetap kuat dan tidak bergantung pada siapa pun.
Diva terdiam, matanya menatap layar ponsel tanpa berkedip. Dadanya terasa sesak, nafsu makannya langsung hilang. Tangannya gemetar saat ia menggeser layar, melihat lebih jelas foto dan video itu. bang Arman… benar-benar seperti itu dengan Raya?
Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam, tapi hatinya terasa nyeri. Jadi selama ini ibu mertua benar-benar ingin menyatukan mereka? Dan bang Arman… apakah dia masih mencintai Raya?
Makanan yang datang di hadapannya kini terasa hambar. Ia menelan ludah, mencoba berpikir jernih. Ini bukan saatnya meledak-ledak. Aku harus tenang. Aku harus lihat bagaimana sikap bang Arman setelah ini.
Diva menggenggam ponselnya erat, lalu menutup mata sejenak. Setelah ini, ia akan bertindak. Ia tidak akan tinggal diam jika memang dirinya hanya dianggap sebagai penghalang.
Sementara itu, Diva masih mencoba menenangkan diri. Setelah selesai makan, ia kembali ke minimarket dan menyibukkan diri dengan pekerjaan. Namun, pikirannya terus terganggu oleh foto dan video yang dikirim kepadanya.
Saat sore hari, akhirnya Arman membalas pesannya.
"Maaf sayang, tadi sibuk di kantor. Kamu gimana di sana?"
Diva menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Sibuk? Sibuk bersama mantanmu, maksudnya? Tapi ia tidak langsung membalas. Ia ingin melihat sampai di mana Arman berani menyembunyikan semuanya.
Di rumah, Ibu Susan merasa semakin yakin dengan rencananya.Apalagi tadi Raya menelpon kalau ia makan siang bersama Arman. Saat Arman pulang nanti, ia akan membicarakan soal kedekatannya dengan Raya. Dalam pikirannya, Diva memang cocok untuk Arman terlalu lemah dan tidak bisa memberi keturunan. Raya adalah pilihan yang lebih baik.
Namun, tanpa mereka sadari, Diva tidak akan tinggal diam. Ia tidak akan menyerahkan rumah tangganya begitu saja.
Diva mencoba menenangkan diri. Ia tahu, belum tentu semua yang ia lihat sesuai dengan kenyataan. Mungkin saja Arman hanya terpaksa karena ibunya.
Sore itu, sebelum pulang, Diva duduk bersama kakaknya. Dira memegang tangan adiknya dengan lembut.
"Div, kamu harus kuat. Kalau memang suamimu berpihak padamu, semuanya akan baik-baik saja. Tapi kalau tidak, kamu harus siap dengan segala kemungkinan."
Diva mengangguk pelan. Ia merasa tenang di rumah ini, seperti kembali ke masa sebelum menikah di mana ia masih bebas, tanpa tekanan dari mertua atau kekhawatiran akan suaminya.
Namun, bagaimanapun juga, ia harus kembali. Rumah tangganya masih perlu diperjuangkan.
Di Rumah Arman
"Man, besok jangan lupa jemput Arin di pelabuhan, ya. Tadi dia menelepon ibu, katanya kamu sibuk karena tidak mengangkat teleponnya," ujar ibunya.
"Hehe, iya, Bu. Lagi sibuk tadi," jawab Arman.
"Halah, sibuk sama Raya, kan?" goda ibunya dengan senyum penuh arti.
Arman merasa canggung, namun di lubuk hatinya, ada rasa bersalah pada Diva. Div, maafkan abang. Sepertinya abang mulai merasa nyaman dengan Raya... batinnya.
Di Rumah Kakak Diva
Saat makan malam, Dira menatap adiknya dengan lembut. "Diva, pikirkan semuanya dengan matang. Kakak dan Abang hanya bisa mendukung keputusanmu," ujarnya.
Diva tersenyum tipis. "Terima kasih sudah menjadi tempat yang selalu menenangkan, meski aku jarang pulang," ucapnya lirih.
Pagi di Rumah Arman
Pagi ini, ibu benar-benar kewalahan. Biasanya, semua pekerjaan rumah ditangani oleh Diva, tetapi sekarang ia harus mengurus semuanya sendiri. Kalau bukan demi menantu idaman, aku tak akan repot begini... batinnya.
Arman bangun sedikit terlambat, dan kali ini tak ada yang menyiapkan semuanya seperti biasa. Saat sarapan, ibunya mengingatkan, "Man, jangan lupa jemput adikmu nanti, ya."
Arman menghela napas. "Bu, tanpa Diva di rumah, semuanya jadi berantakan..."
"Iya, Ibu juga merasakannya," jawab ibunya.
Setelah sarapan, Arman buru-buru berangkat kerja agar tidak terlambat. Namun, sesampainya di kantor, benar saja—ia terlambat lima menit.
Di Rumah Arman
Sementara itu, ibunya merasakan kelelahan luar biasa. "Aduh, badan rasanya pegal semua... Coba nanti aku kirim pesan ke Diva, kapan sebenarnya dia pulang? Betah sekali di rumah kakaknya. Di sini malah aku yang kesusahan..." gumamnya lirih.
Pesan dari Bu Susan
Bu Susan mengirim pesan singkat kepada Diva, menanyakan kapan ia akan pulang. Baginya, dua hari sudah lebih dari cukup. Tak perlu berlama-lama, toh Diva sudah yatim piatu... pikirnya.
Diva membaca pesan itu dan membalas dengan singkat, "Belum tahu kapan pulang."
Arman Menjemput Arini
Sore harinya, Arman pulang dari kantor sambil menjemput Arini di pelabuhan. Ia mengirim pesan lebih dulu, "Dek, abang sudah di luar. Kamu keluar saja biar gak bayar parkir, hehe."
Arini yang membaca pesan itu hanya bisa mendengus kesal, tetapi tetap mengikuti arahan abangnya. Setelah melihat mobil Arman, ia langsung masuk dengan wajah masam.
Arman melirik adiknya, bingung. "Dek, kenapa?" tanyanya.
"Gak apa-apa. Yuk pulang, capek." jawab Arini singkat.
Sebelum pulang, mereka mampir membeli kue dan beberapa makanan untuk makan malam. Setibanya di rumah, Bu Susan sudah menunggu di teras. Begitu Arini keluar dari mobil, ibunya langsung memeluknya erat.
Di Rumah Kak Dira
Diva mendesah sambil melihat layar ponselnya. "Huh, ibu mertuaku sudah mulai sibuk menanyakan kapan aku pulang..." gumamnya.
Kak Dira yang duduk di sampingnya tersenyum, "Kalau kamu masih mau lama di sini juga gak apa-apa, Div. Aku sama Bang Reza malah senang kamu di sini."
Percakapan Malam di Ruang Keluarga
Malam itu, setelah makan malam, Bu Susan, Arini, dan Arman duduk bersama di ruang keluarga.
"Kurus banget kamu, Rin. Jarang makan ya?" tanya Bu Susan sambil memperhatikan putrinya.
"Ih, ibu... Arini kan lagi diet," jawab Arini asal, berusaha menghindari perhatian.
Tiba-tiba, Arini menoleh ke Arman. "Bang, Kak Diva kapan pulang?" tanyanya penasaran.
"Belum tahu, Dek. Abang aja nggak tahu, ibu juga katanya tadi kirim pesan tanya kapan pulang," jawab Arman.
Bu Susan yang mulai terlihat tidak sabar langsung memotong. "Sudah-sudah, ngapain sih bahas Diva terus?!" ucapnya kesal.
Ia lalu beralih ke Arman dengan nada lebih serius. "Man, kapan kamu mau ketemu Raya lagi? Atau ajak dia ke rumah aja," tanyanya tanpa ragu.
Arini yang mendengar itu merasa ada sesuatu yang janggal. Raya? Itu kan mantan Bang Arman. Apa mereka mulai berhubungan lagi? Kalau benar, ini nggak bisa dibiarkan, batin Arini sambil berpura-pura tidak tertarik pada percakapan itu. Namun, ia tetap menyimak dengan saksama.
"Belum tahu, Bu," jawab Arman singkat, menghindari pembahasan lebih lanjut.