perjalanan seorang remaja yang mencari ilmu kanuragan untuk membalaskan dendam karena kematian kedua orang tuanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bang deni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali berkelana
Di perguruan Harimau Terbang, kehidupan Raka menjadi semakin baik, walau berusia paling muda dia di sayangi oleh kakak kakak seperguruannya, tak jarang mereka membantu Raka meringankan pekerjaan Raka, Melati juga sudah seperti Adiknya sendiri yang selalu ada mengikuti Raka kemana pun
kini Raka sudah 2 tahun berada di perguruan Harimau Terbang, namun kemampuannya tak lagi naik , walau tenaga dalamnya meningkat, ia tak mendapat jurus yang ampuh , jurus yang ia dapat dari perguruan Harimau Terbang walau termasuk kelas tinggi tetapi belum mampu mengalahkan musuh bebuyutannya. Hantu Berkabut
" melati, aku sudah dua tahun di sini, sepertinya aku harus mencari pengalaman yang lain" ucap Raka saat mereka berada di taman
" Kak Raka kau akan pergi?" tanya melati sedih
" Ya, aku harus mencari pengalaman , juga mencari tahu diriku sebenarnya" ucap Raka berbohong, ia telah mengaku menjadi anak yatim piatu tanpa tahu siapa orang tuanya.
" kak Raka kita akan berpisah?" tanya Melati air matanya mulai mengalir di pipinya
" Melati, jangan bersedih nanti kita akan berjumpa lagi" ucap Raka menghibur Melati yang bersedih mendengar Raka akan pergi, ia menggenggam kedua tangan melati
" kak Raka" gumam Melati dengan terisak
pada saat yang bersamaan Ketua Badra melintas. ia kaget melihat anaknya menangis
" Eh, melati mengapa kau menangis?" tanya Ketua Badra
" Ayah, kak Raka" sahut Melati sambil menangis
" Kenapa Raka?" Tanya Ketua Badra dengan kening berkerut apalagi ia melihat Raka mengenggam tangan Melati
" Kak Raka Mau pergi" jawab Melati
" Apa? Raka engkau mau kemana?" tanya Ketua Badra kaget
" Guru, aku ingin mencari jati diriku, siapa aku sebenarnya" sahut Raka
" apa ada tempat yang kau tuju?" tanya Ketua Badra, Raka menggeleng
" mungkin aku akan mengembara di rimba persilatan" sahutnya kemudian
" Raka, apa kau sudah yakin akan pergi? kapan kau akan berangkat?" tanya Ketua Badra, ia sangat menyayangi Raka , namun ia juga tahu berada di dalam perguruan saja kemampuan Raka tak akan berkembang, ia butuh alam yang menempanya
" ya guru, aku akan berangkat besok pagi" jawab Raka tegas
" baiklah, aku akan membekali seratus keping emas" Ketua Badra menghela napas
" jangan guru,Itu terlalu banyak guru" tolak Raka
" dalam pengembaraan kita butuh bekal, kau tak boleh menolaknya" tegas Ketua badra
" Terima Kasih Guru" ucap Raka
Ketua Badra mengangguk lalu kembali kedalam, melati masih saja menatap Raka dengan air mata berlinang
" Kak Raka kapan kita akan bertemu kembali?' tanya Melati
" secepatnya melati, aku segera kemari setelah mengetahui jati diriku" sahut Raka.
Keesokan harinya , Raka meninggalkan Perguruan Harimau Terbang,
Raka berdiri tegak di gerbang Perguruan Macan Terbang. Di pundaknya, sebuah buntalan kecil kecil berisi beberapa potong pakaian, obat-obatan, dan bekal perjalanan—termasuk seratus keping emas yang diberikan oleh Ketua Badra, yang di beri oleh Ketua Badra. Hatinya bercampur aduk antara rasa sedih meninggalkan keluarga barunya dan semangat yang membara untuk mencari ilmu yang lebih tinggi.
Di sampingnya, Melati berdiri dengan mata sembap, tangannya menggenggam erat sapu tangan yang sudah basah.
“Kak Raka… jaga dirimu baik-baik,” bisik Melati, suaranya parau.
“Tentu, Melati. Kau juga, jangan nakal dan rajinlah berlatih. Setelah ini, kau akan menjadi Kakak di perguruan, bukan?” Raka tersenyum lembut, mengacak rambut Melati.
Ketua Badra dan beberapa kakak seperguruan juga ada di sana. Mereka memberikan ucapan perpisahan, nasihat, dan doa restu.
“Ingat, Raka. Ilmu silat itu bukan hanya tentang mengalahkan lawan, tapi tentang menjaga diri dan melindungi yang lemah,” pesan Ketua Badra, menepuk bahu Raka. “Dunia luar itu keras, gunakan akal sebelum tenaga.”
“Hati-hati, Adik Kecil. Kalau ada masalah, jangan segan kembali!” seru salah satu kakak seperguruan, Si Harimau Langit.
Raka membungkuk hormat kepada gurunya, memeluk Melati sebentar, dan kemudian melangkah mantap. Ia tak menoleh lagi, khawatir langkahnya akan goyah melihat kesedihan di wajah mereka. Raka tahu, pengembaraan ini adalah keharusan, bukan pilihan. Ia harus menemukan cara untuk menghadapi Hantu Berkabut. Ilmu di Macan Terbang memang tinggi, tetapi tidak spesifik untuk menghadapi musuh yang licik dan mengandalkan kabut beracun itu.
Ia berjalan menuruni lereng gunung, menuju jalanan besar yang menghubungkan kota-kota.
Setelah tiga hari berjalan, Raka tiba di sebuah desa kecil bernama Desa Cahaya Bulan. Desa itu tampak sepi dan diselimuti ketakutan. Rumah-rumah tertutup rapat, dan pandangan penduduk yang berpapasan dengannya tampak kosong dan penuh kecemasan.
Saat Raka sedang mengisi air di sumur desa, ia mendengar suara gaduh dari arah alun-alun.
“Cepat! Serahkan semua hasil panen kalian! Jangan ada yang berani melawan, atau nyawa kalian taruhannya!” teriak suara kasar.
Raka segera menuju sumber suara. Di sana, sekitar delapan orang berpakaian compang-camping dengan senjata seadanya—seperti golok tumpul, gada, dan tombak kayu—sedang mengancam beberapa petani tua dan wanita. sekelompok perampok desa yang terkenal suka memeras hasil kerja keras penduduk.
“Dasar tidak tahu diri! Kami sudah memberikan separuh bulan lalu! Kalian tidak punya hati!” protes seorang wanita paruh baya dengan berani.
Salah satu perampok, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di pipinya, tertawa sinis. “Hati? Kami makan bukan dengan hati, Nyonya! Kami makan dengan kekuatan! Cepat serahkan, sebelum kami mengambil bukan hanya makanan kalian!”
Raka, yang baru berusia enam belas tahun, tubuhnya masih tergolong ramping dan wajahnya masih menampilkan kesan polos khas remaja. Dia mengenakan pakaian kain biasa yang bersih, tidak menunjukkan sedikitpun aura pendekar rimba yang menakutkan.
Ia melangkah maju.
“Hei, kalian! Lepaskan mereka!” suara Raka terdengar tidak terlalu keras, namun cukup tegas untuk menghentikan tawa para perampok.
Para perampok itu menoleh serempak. Mereka melihat Raka, seorang anak muda, berdiri sendirian. Tawa mereka pecah lagi, kali ini lebih keras dan mengejek.
“Lihatlah! Siapa ini? Anak kecil hilang yang mau jadi pahlawan?” ejek si pria berbadan besar, pemimpin kelompok itu, yang dipanggil Si Janggut Api.
“Adik manis, ini bukan tempat bermain. Lebih baik kau lanjutkan perjalananmu, sebelum kami membuat ibumu menangis,” tambah perampok yang lain.
Raka menghela napas. Awalnya diremehkan. Ini adalah risiko yang harus ia hadapi dengan usianya.
“Aku tidak datang untuk bermain. Aku katakan sekali lagi: tinggalkan hasil panen mereka dan pergi dari desa ini,” ucap Raka datar, memosisikan dirinya di depan para petani.
Si Janggut Api geram melihat ketegasan anak muda itu. “Kurang ajar! Tangkap anak ini, ikat dia! Kita jadikan dia pelayan kita!” perintahnya menyuruh dua anak buahnya
"Hiaaaat"
" Hiaaaat"
" Wuut"
" Wuuut"
Dua perampok maju serentak, mengayunkan golok mereka secara membabi buta.
Raka tidak gentar. Ia telah berlatih keras selama dua tahun di Macan Terbang. Meskipun ia merasa jurusnya tidak cukup ampuh melawan Hantu Berkabut, jurus itu sudah lebih dari cukup untuk menghadapi perampok jalanan ini.
Raka bergerak cepat. Ia menggunakan jurus Tapak Macan Mengejar Angin, sebuah jurus tangan kosong yang fokus pada kecepatan dan serangan balik yang mematikan.
Raka mengelak dari tebasan golok. Saat golok itu lewat di samping telinganya, tangan Raka sudah mencengkeram pergelangan tangan si perampok dan memutarnya dengan keras.
" Tap"
"Krak"
" Aaaaargh"
" KLontraaang"
Tulang pergelangan tangan itu patah. Si perampok menjerit kesakitan, goloknya jatuh.
Perampok kedua mencoba menusuk dengan tombak kayu. Raka melompat mundur sedikit, membiarkan tombak itu meleset. Dengan kecepatan kilat, ia menendang kuat tepat di dada perampok itu.
"Bugh!"
" Aaargh"
Perampok itu terlempar ke belakang, menabrak tiang rumah dengan suara keras, dan terdiam.
Semua perampok terdiam. Para penduduk desa yang tadinya meringkuk ketakutan juga memandang tak percaya. Dua rekan mereka dilumpuhkan dalam sekejap mata, tanpa Raka perlu mengeluarkan senjata sama sekali.
“Apa kataku? Anak ini… dia bukan anak biasa!” seru Si Janggut Api, matanya membelalak. “Serang dia semua! Kita keroyok!”
" Hiaaaat"
" Hiaaaaat"
Enam perampok yang tersisa maju bersamaan. Kali ini, Raka tidak menahan diri. Ia bergerak lincah seperti seekor Harimau di antara semak-semak.
"Plaaak"
" Desh"
" Braaak"
" Aaaargh"
Raka menangkis sebuah serangan dengan siku, membalas dengan Pukulan Harimau Menembus Batu yang mengenai ulu hati salah satu perampok. Perampok itu langsung ambruk, muntah darah.
"Hiaaaat"
" Hiaaat"
"Wuuut"
" Desh"
"Plaak
" Bugh"
Tiga perampok mencoba mengepung. Raka melompat ke udara, memutar tubuhnya, dan menggunakan jurus Tendangan Ekor Harimau Mengibas, menjatuhkan ketiganya sekaligus dengan sapuan kaki yang presisi di kepala mereka. Mereka terkapar, pusing dan tak berdaya.
Hanya tersisa Si Janggut Api dan satu perampok lagi. Mereka saling pandang, rasa percaya diri mereka telah hancur total.
“Sialan! Siapa kau sebenarnya, Anak Kecil?!” geram Si Janggut Api, keringat dingin membasahi dahinya.
“Aku hanya pengelana biasa. tapi aku tidak suka melihat orang lemah ditindas,” jawab Raka, kembali berdiri tegak dengan kuda-kuda santai.
" Hiaaaat"
" WuuuuuT"
Si Janggut Api, dalam keadaan panik, mengayunkan goloknya ke udara, mencoba menyerang Raka dengan sisa-sisa kekuatannya. Raka hanya tersenyum tipis. Ia menunggu hingga golok itu hampir mengenainya, lalu ia menggunakan teknik pertahanan tingkat tinggi dari perguruannya, Jurus Menangkis Ribuan Bunga Gugur, ia menepis lengan Si Janggut Api dengan gerakan kecil namun kuat, mengarahkan ayunan goloknya sendiri mengenai kepala temannya yang tersisa.
"Buk! "
Perampok terakhir jatuh pingsan akibat sabetan golok rekannya sendiri.
Si Janggut Api kini sendirian, ketakutan luar biasa terlihat di matanya. Ia menjatuhkan goloknya.
“Ampun! Ampuni kami! Kami tidak akan mengganggu desa ini lagi!” ia memohon sambil berlutut.
Raka menatapnya tajam. “Kalian telah membuat banyak orang menderita. Aku tidak akan membunuh kalian, tapi ingat ini baik-baik. Jika aku mendengar kalian mengganggu desa ini lagi, atau desa mana pun, aku sendiri yang akan mencari dan melumpuhkan kalian selamanya.” Ancam Raka dengan tatapan mengancam.
" baik tuan!" sahut mereka dan bergegas pergi
Raka menyuruh penduduk desa untuk mengikat para perampok itu dan menyerahkannya kepada pejabat terdekat. walau tak menghukum mati mereka hukuman kerajaan tetap harus mereka jalani,Penduduk desa, yang tadinya ketakutan, kini bersorak dan memuji Raka.
“Terima kasih, Anak Muda! Kau adalah penyelamat kami!” seru seorang tetua desa.
“Namaku Raka. Jangan sebut aku penyelamat. Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan,” jawab Raka rendah hati.