“Mama, dadan Luci atit, nda bita tatan ladi. Luci nda tuat..."
"Luci alus tatan, nda ucah bitala dulu. Abang Lui nda tuat liat Luci nanis,” mohon Rhui berusaha menenangkan adik kembarnya yang tengah melawan penyakit mematikan.
_____
Terasingkan dari keluarganya, Azayrea Jane terpaksa menghadapi takdir yang pahit. Ia harus menikah dengan Azelio Sayersz, pimpinan Liu Tech, untuk menggantikan posisi sepupunya, Emira, yang sedang koma. Meski telah mencintai Azelio selama 15 tahun, Rea sadar bahwa hati pria itu sepenuhnya milik Emira.
Setelah menanggung penderitaan batin selama bertahun-tahun, Rea memutuskan untuk pergi. Ia menata kembali hidupnya dan menemukan kebahagiaan dalam kehadiran dua anaknya, Ruchia dan Rhui. Sayangnya, kebahagiaan itu runtuh saat Ruchia didiagnosis leukemia akut. Keterbatasan fisik Rhui membuatnya tidak bisa menjadi pendonor bagi adiknya. Dalam upaya terakhirnya, Rea kembali menemui pria yang pernah mencampakkannya lima tahun lalu, Azelio Sayersz. Namun, Azelio kini lebih dingin dari sebelumnya.
"Aku akan melakukan apa pun agar putriku selamat," pinta Rea, dengan hati yang hancur.
"Berikan jantungmu, dan aku akan menyelamatkannya.”
Dalam dilema yang mengiris jiwa, Azayrea harus membuat pilihan terberat: mengorbankan hidupnya untuk putrinya, atau kehilangan satu-satunya alasan untuknya hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
“Mama, Luci udah pittal nani loh!” seru Ruchia dengan mata bulatnya yang polos.
“Hm, siapa yang ngajarin?” tanya Rea menggandeng tangan mungil putrinya. Mereka melewati jalan yang cukup terjal menuju ke sekolah. Tak lupa Rhui juga ikut namun tampak bocah itu masih mengantuk sangat.
“Eyang Lita, Mama.”
“Mama! Mama!” panggil Ruchia melompat-lompat kecil agar Ibunya melihatnya.
“Hm, apa lagi? Ada yang ketinggalan di rumah?” tanya Rea. Suaranya terdengar lembut, selembut marshmellow.
“Bacal nanti Luci mau tadi ojol. Cupel cetal. Bitin mutik tantik,” seru Ruchia melepaskan genggaman Ibunya. Ia berputar-putar sambil merentangkan tangannya bak putri yang menari-nari.
“Butan ojol, tapi odol,” seru Rhui.
“Salah, yang benar itu Idol, sayang,” ralat Rea pada si kembar yang terkikik.
Bip! Bip! Bip!
Tiba-tiba ada mobil pick up berhenti di depan mereka. “Pagi, anak-anak!” sapa seorang pria berwajah cukup tampan, berkulit sawo matang. Tersenyum dengan ceria.
“Pagi Paman Talcan!” Dua anak itu tersenyum lebar hingga lesung pipi mereka terlihat jelas begitu manis.
“Heh, bukan Paman Tarzan. Tidak sopan. Panggil Paman Arzan." Rea menegur.
“Paman Tancan!” seru mereka namun Rea kembali mengajari ejaan yang benar sampai lidahnya keseleo.
“Paman Talcan!”
Rea menepuk jidat, ia menyerah. Lidah mereka masih tak mampu mengucapkan kata yang benar.
“Pufft… tidak usah pusing begitu, Rea. Aku tidak masalah mereka panggil aku seperti itu,” ucap Arzan tertawa gemas pada dua anak menggemaskan itu.
“Paman Talcan mau cekolah ya?” tanya mereka.
“Mau ke pasar, kebetulan Paman lewat di depan sekolah kalian. Mau ikut?” ajak pria itu menaik turunkan alisnya.
“Mau! Mau! Mau! Tapi Luci nda puna uwang,” gumam Ruchia menarik isi sakunya yang kosong.
“Tidak perlu bayar, gratis,” ucap Arzan sambil mencuri-curi pandang ke arah Rea.
“Benel nda pellu uwang?” tanya Rhui.
“Tidak perlu, ayo buruan naik sebelum terlambat!” Arzan membukakan pintu dan dua anak itu segera naik, dibantu oleh Ibu mereka.
“Terima kasih, Arz. Kamu baik sekali,” puji Rea sambil memangku si kembar.
“Sama-sama, Rea.” Arzan tersenyum kecil, lalu Rea membalasnya dengan senyum manisnya yang membuat Arzan salah tingkah.
Tiba di depan gerbang, dua anak cadel itu segera turun bersama Ibunya.
“Terima kasih,” ucap Rea membungkuk sedikit, diikuti si kembar dengan sopan.
“Dadah Paman Talcan!” teriak mereka melambai ke Arzan yang melaju pergi.
“Ayo, kita masuk!” Rea menggandeng tangan mungil anak-anaknya sebelum mereka lepas kendali.
Teng Treng Teng Teng!
Lonceng kedua berbunyi menandakan waktunya mereka istirahat. Murid-murid berhamburan keluar. Ada yang langsung merengek jajan pada orang tuanya, ada pula yang berlari ke taman. Sementara itu, Ruchia dan Rhui duduk manis di kursi. Kakinya digoyang-goyangkan ke depan membuat Rea kebingungan.
“Kenapa tidak ikut main, sayang?” tanya Rea duduk di sisi Rhui.
“Shhtt… Mama janan belcuala dulu,” bisik Ruchia membuat Ibunya makin bingung.
“Kenapa, sayang?” tanyanya berbisik.
“Uwang Abang ciap-ciap tatang, Mama ndak doleh cuala,” jawab Ruchia.
Mereka lagi bahas apa? Tatang siapa? Kang Tatang penjual sayur di jalan perempatan?
Rea mengangkat satu tangan kemudian menggaruk kepala, tidak paham bahasa putrinya sendiri. Namun, begitu melihat beberapa anak menghampiri si kembar, wanita cantik itu tertegun. Ia akhirnya menyadari putranya mampu memperbaiki robot mainan teman-temannya.
“Mama, lihat Abang Lui puna uwang. Bica beli bakco.”
Ruchia menunjukkan uang yang cukup banyak.
“Nda mau, Lui nda mau beli. Abang Lui mau beli mecin lobot-lobotan.” Bocah tampan itu menolak cepat dan merebut uangnya.
Dacal Abang pelit, hmp!
“Untuk apa beli robot, sayang?” tanya Rea tersenyum. Ia mengusap-usap kepala Rhui dengan penuh sayang.
“Mau itut competi di tipi. Lui mau puna mobil tama lumah. Bial bica tidul enak nda hujanan lagi. Bial Eyang tama Atuk puna kamal tantik,” tutur Rhui bermimpi membahagiakan Ibu dan nenek kakeknya.
Mendengar impian mulia putranya, Rea terenyuh. Di usia Rhui yang masih kecil, bahkan belum genap 4 tahun, bocah itu sudah merencanakan masa depannya.
Umur segini, aku masih suka korek upil sama ngompol. Dari mana Rhui dapatkan pikiran seperti ini?
Berjam-jam kemudian, mereka akhirnya pulang sekolah.
“Mama, ental benti di toko buku yah, Lui mau pindam buku balu,” mohon bocah tampan itu menunjuk-nunjuk.
“Boleh.” Angguk Rea. Sudah kebiasaan Lui mampir di toko buku hanya untuk meminjam buku bekas. Ia sangat suka membaca.
“Buku temalin eman udah dibaca abis, Abang?” tanya Ruchia yang digendong Ibunya. Ia tertunduk ke bawah menatap Rhui yang mengeluarkan bukunya yang dipinjam dua hari lalu.
“Abis…”
Rea cukup terkejut karena buku yang dipinjam Rhui lumayan tebal.
Kalau aku yang baca, tahun depan mungkin baru selesai. Sedangkan putraku, cuma sehari saja?
Rea merasa tak percaya, tapi begitulah Rhui, informasi yang diperoleh, terserap dengan cepat. Seharusnya ia bermain seperti anak-anak tetangga lainnya, tapi bocah itu menyibukkan dirinya dengan buku-buku yang bahkan anak seusianya tak dapat membacanya.
“Oh ya, Luci mau pinjam buku juga, sayang? Nanti Mama bantu pinjamin,” ucap Rea pada Ruchia yang langsung geleng-geleng ke kanan kiri.
“Nda mau, Mama.”
“Apa nda mau? Baca buku baik cali ilmu,” sahut Rhui.
“Pala Luci nda kuat. Pala Luci celing catit.” Ruchia menjawab lesu sambil memegang kepalanya.
“Baiklah, nanti habis kita dari sana, Mama traktir kalian makan es buah, mau?”
“Mau! Mau! Mau! Luci cuka matan buah,” seru Ruchia gembira, membuat Rea tersenyum lalu mengecup pipi Ruchia. Ia harap kehidupan mereka akan selalu berjalan tenang seperti ini tanpa gangguan. Namun, langkah wanita cantik itu berhenti kala Ruchia menanyakan sosok yang mereka rindukan.
“Mama, tapan Papa Luci tatan lumah?”
Pertanyaan singkat itu bagai ombak yang menerjang tiba-tiba. Menghancurkan dinding yang membentengi dunianya selama ini.
“Keja tadi atlonot alus belapa tahun?” tanya Ruchia mengira Ayahnya berada di luar angkasa yang ia dengar dari mulut Nenek Rita.
“Lui nda cabal bitin loket yang bica bawa tita lual antasa. Pati Papa cenang liat Abang Lui, Luci, tama Mama pelgi bulan,” celoteh Rhui memandang langit biru lepas.
Dua anak kembar itu sontak terkejut melihat Ibunya mengeluarkan air mata. Raut wajahnya terlihat sedih.
“Mama, napa nanis?”