NovelToon NovelToon
Rissing Sun

Rissing Sun

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Epik Petualangan / Dunia Lain / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:508
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

8

Seharusnya ini membuatnya puas. Yuki bergantung padanya. Mencari perlindungan darinya. Tapi, Pangeran Riana tahu bahwa bukan dirinya yang sedang Yuki cari.

Ketakutan itu bukan berasal dari kehilangan dirinya, melainkan dari kehilangan sesuatu—atau seseorang—yang tidak bisa Yuki ingat.

Pangeran Riana menyadari genggaman tangannya mengencang di atas meja.

Sera.

Bahkan ketika pria itu sudah mati, bayangannya masih menghantui Yuki.

Dengan suara tenang, Pangeran Riana menunduk sedikit, menatap Yuki yang masih menggigil ketakutan di bawah sana.

“Kau tidak bisa terus seperti ini, Yuki,” katanya lembut, meskipun dalam hatinya ada bara api yang sulit dipadamkan.

Yuki menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak mau kembali ke kamar sendirian…”

Pangeran Riana terdiam sejenak, lalu mengulurkan tangannya.

“Kalau begitu, keluarlah,” katanya. “Duduklah di sini, di sampingku.”

Yuki menggeleng dengan mantap, matanya yang masih menyimpan ketakutan menatap Pangeran Riana penuh harap.

“Aku tidak nyaman bertemu banyak orang,” bisiknya lirih, suara yang hampir tenggelam dalam kesunyian ruangan. “Biarkan aku di sini dan menunggumu. Aku tidak akan mengganggumu.”

Pangeran Riana menatapnya tanpa ekspresi, seakan mempertimbangkan permintaan itu. Dia tahu Yuki bukan seseorang yang mudah diatur, terlebih dalam kondisi seperti sekarang. Jika dia bersikeras mengembalikan Yuki ke kamar, kemungkinan besar wanita itu akan kembali melawan dengan cara yang lebih nekat.

Akhirnya, dengan desahan pelan, Pangeran Riana menyerah.

“Baiklah,” ujarnya singkat.

Dia kemudian mengangkat pandangannya ke arah para prajurit yang masih berdiri ragu di ambang pintu, menunggu perintah lebih lanjut.

“Keluar.”

Tanpa banyak bicara, para prajurit itu memberi hormat, lalu melangkah pergi, menutup pintu dengan hati-hati di belakang mereka.

Keheningan pun menyelimuti ruangan.

Yuki perlahan menggeser tubuhnya, mencari posisi yang lebih nyaman di bawah meja kerja Pangeran Riana. Dia menarik lututnya, memeluk dirinya sendiri, lalu menyandarkan kepalanya ke salah satu sisi meja. Napasnya yang semula memburu perlahan menjadi lebih teratur.

Melihat itu, Pangeran Riana hanya bisa menggelengkan kepala kecil, lalu kembali pada dokumen-dokumen di hadapannya.

Sementara di sebelahnya, Yuki akhirnya merasa cukup aman untuk memejamkan mata, mendengarkan suara lembut gesekan pena Pangeran Riana di atas kertas.

...****************...

Beberapa tamu datang, memasuki ruangan dengan langkah tertahan saat melihat Pangeran Riana sudah menunggu mereka. Rapat dimulai, suara-suara diskusi terdengar, tetapi Pangeran Riana tetap membiarkan Yuki tetap berada di bawah mejanya, tersembunyi dari pandangan siapa pun.

Dia tidak mengatakan apa pun tentang keberadaan Yuki di sana. Tidak menyuruhnya keluar, tidak juga mengusirnya kembali ke kamar. Dia hanya membiarkan Yuki tetap diam di tempatnya, meringkuk tanpa keluhan, menunggunya dengan kesabaran yang hampir menyedihkan.

Waktu berlalu, pembahasan semakin dalam, tetapi di bawah meja, Yuki tetap tidak bergerak, tidak menunjukkan rasa lelah atau bosan meski tubuhnya terus menekuk dalam posisi sempit.

Pangeran Riana sesekali melirik ke bawah secara samar, memastikan bahwa Yuki masih di sana. Napasnya terdengar teratur, tetapi ada ketegangan yang tersisa di wajahnya.

Tanpa banyak berpikir, Pangeran Riana meraih sepotong kue kecil dari piring di hadapannya, lalu dengan gerakan tanpa suara, dia menyodorkannya ke bawah meja, di tempat Yuki berada.

Ada keheningan sebentar.

Kemudian, Yuki perlahan menggeser posisinya. Dalam diam, tanpa suara, dia mendekat dan menggigit kue itu langsung dari tangan Pangeran Riana, seperti anak kecil yang takut ketahuan.

Jari-jari Pangeran Riana sedikit merasakan kelembutan bibirnya, dan dia menahan napas sejenak sebelum menarik tangannya kembali, membiarkan Yuki menikmati makanannya.

Rapat terus berlanjut. Tidak ada yang menyadari apa yang terjadi di bawah meja. Tapi Pangeran Riana tahu, di sana ada seorang wanita yang sedang bersembunyi di dekatnya, menggigit kuenya dengan tenang, seolah itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa aman di dunia ini.

...****************...

Dokter Aurelian menatap Pangeran Riana dengan ekspresi tenang, tetapi ada ketajaman dalam matanya, seolah sedang menilai sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kondisi pasiennya.

“Sepertinya,” ucapnya pelan, “meskipun Yuki tidak mengingatmu, dia tidak melupakanmu sepenuhnya.”

Pangeran Riana, yang berdiri di dekat jendela dengan tangan terlipat di dada, hanya melirik sekilas tanpa menjawab.

“Kau adalah hal yang lebih familiar dari siapa pun baginya, Riana,” lanjut Dokter Aurelian. “Di dunia yang tidak dia kenal ini, mungkin hanya kau yang dia tahu ada. Hanya kau yang terasa nyata baginya.”

Suasana ruangan terasa lebih sunyi. Pangeran Riana masih tidak bereaksi, tetapi sorot matanya sedikit berubah.

“Dia bahkan tidak bertanya tentang siapa kau,” lanjut Aurelian. “Seolah-olah dalam pikirannya, dia tahu kau ada di sisinya, entah sejak kapan. Meskipun dia tidak bisa mengingat kapan kalian menikah, setidaknya dia menerima bahwa kau adalah suaminya.”

Pangeran Riana akhirnya menarik napas, mengalihkan pandangan keluar jendela. Hening sejenak.

Kemudian, dengan suara rendah dan nyaris tidak terdengar, dia berkata, “Itu sudah cukup.”

Dokter Aurelian menatapnya dalam diam, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Dalam benaknya, dia tahu bahwa perasaan familiar yang dirasakan Yuki terhadap Pangeran Riana bukanlah sesuatu yang sederhana. Ada keterikatan di sana, bahkan jika Yuki sendiri tidak menyadarinya.

...****************...

Keesokan paginya, Yuki kembali menghilang dari kamarnya. Para pelayan yang menyadari kepergiannya segera mencari, tetapi mereka tidak perlu menebak ke mana dia pergi. Yuki hanya memiliki satu tujuan—Pangeran Riana.

Saat dia tiba di ruang kerja Pangeran Riana, dia menemukan sesuatu yang berbeda. Meja kerja itu tampak lebih panjang dari kemarin. Sedikit bingung, Yuki mendekat dan melihat ke bawah. Kali ini, ada bantalan lantai yang diletakkan di sana, seolah-olah seseorang telah menyiapkan tempat untuknya.

Yuki menoleh ke arah Pangeran Riana yang tengah duduk di kursinya, seolah tak terganggu oleh kehadirannya. Tatapan mereka bertemu, dan Yuki tersenyum senang.

“Terima kasih,” ucapnya lirih.

Pangeran Riana tidak menjawab, tetapi ada sedikit kelembutan dalam sorot matanya saat dia kembali fokus pada pekerjaannya.

Tanpa ragu, Yuki pun meringkuk di bawah meja, merasa lebih nyaman dari sebelumnya. Rasa takut dan kesendiriannya seolah mereda hanya dengan berada di dekat Pangeran Riana.

Setelah beberapa saat hening, suara Pangeran Riana terdengar. “Mau membaca buku?” tanyanya, nada suaranya tenang. “Aku punya beberapa yang bisa kau pilih.”

Yuki mengangkat kepalanya sedikit, menatap tangan Pangeran Riana yang menyodorkan beberapa buku ke arahnya. Dengan hati-hati, dia mengulurkan tangan, memilih satu buku, lalu kembali ke posisinya di bawah meja.

Pangeran Riana melanjutkan pekerjaannya tanpa berkata apa-apa lagi, sementara di bawah meja, Yuki membuka halaman pertama buku itu. Di dalam keheningan yang nyaman itu, mereka berbagi ruang yang sama—dengan caranya masing-masing.

...****************...

Bangsawan Voldermon menghentikan pembicaraannya saat para pelayan masuk ke ruang rapat, membawa nampan berisi beberapa kue dan buah-buahan manis. Alisnya berkerut. Itu bukan hal yang biasa.

Dia sudah cukup mengenal sepupunya—Riana tidak pernah terlalu menyukai makanan manis. Bahkan, dia sering mengabaikan suguhan seperti itu di meja makannya. Namun, kali ini, justru Riana sendiri yang meminta pelayan menyajikannya.

Bangsawan Voldermon melirik Riana dengan tatapan menyelidik, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Namun, seperti biasa, wajah itu tetap dingin dan sulit ditebak.

Dengan nada santai, Bangsawan Voldermon akhirnya bertanya, “Sejak kapan kau mulai menyukai makanan manis, Riana?”

Pangeran Riana tidak langsung menjawab. Dia hanya mengangkat cangkir tehnya, menyeruputnya perlahan sebelum akhirnya berkata dengan tenang, “Itu bukan untukku.”

Bangsawan Voldermon semakin penasaran. Dia melihat sepotong kue yang sebelumnya diletakkan di piring Riana, kini menghilang entah ke mana.

Matanya beralih ke bawah meja. Ada gerakan samar di sana.

Pangeran Riana yang memperhatikan perubahan ekspresi Bangsawan Voldermon meletakkan cangkirnya dengan pelan. Tatapannya tajam, memberi peringatan tanpa kata-kata.

Bangsawan Voldermon terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil. Dia menyadari sesuatu.

Yuki.

Jadi ini alasannya.

Di bawah meja, Yuki tetap diam, tidak terganggu oleh perdebatan politik yang terjadi di ruang kerja Pangeran Riana. Suara-suara yang meninggi, argumen tajam, dan ketegangan yang memenuhi ruangan sama sekali tidak membuatnya cemas.

Sesekali, ketika dia melihat Pangeran Riana mengepalkan tangan dengan rahang mengeras—tanda bahwa pria itu tengah menahan amarah—Yuki mengulurkan tangannya. Dengan lembut, jari-jarinya menggenggam tangan Pangeran Riana, memberikan sentuhan menenangkan.

Pangeran Riana tidak menepisnya. Sebaliknya, genggaman Yuki tampaknya berhasil meredam sedikit kemarahannya.

Saat situasi semakin panas, Yuki menepuk-nepuk punggung tangan Pangeran Riana dengan lembut. Sentuhan kecil itu seperti isyarat halus agar pria itu tetap tenang.

Pangeran Riana melirik ke bawah meja sesaat sebelum kembali menghadapi para penasihat dan bangsawan di ruangan itu. Suaranya tetap tegas, tapi tidak meledak seperti sebelumnya.

Bangsawan Voldermon yang memperhatikan perubahan sikap sepupunya hanya tersenyum kecil, semakin yakin dengan apa yang selama ini diamatinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!