Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Ardian memejamkan mata, napasnya berat. “Aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”
“Cinta?” Eva tertawa kecil, lebih mirip tangis yang ditahan. “Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa. Itukah yang kamu inginkan, Mas?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Istri Siri
Lisna menatap anaknya yang terus saja menangis sejak beberapa jam yang lalu. Karena anaknya mencari suaminya yang tidak kunjung datang ke rumah ini. Suara tangisan itu menggema di seluruh sudut rumah, menciptakan suasana yang semakin menyesakkan dada. Ia mencoba menenangkan si kecil, menggendong, mengayun, bahkan bernyanyi pelan—tapi semuanya tak membuahkan hasil. Bayi itu tetap saja menangis, seolah merasakan ketegangan yang membungkus udara di antara mereka.
Perlahan-lahan, rasa kesal mulai tumbuh dalam dada Lisna, bercampur lelah dan frustrasi yang kian menumpuk. Ia menatap mata anaknya yang sembab, lalu menghembuskan napas panjang. Tangannya terkepal tanpa sadar.
"Kamu bisa diam gak sih, Aiden?" katanya dengan suara meninggi. "Mama capek tau ngurusin kamu sendirian. Harusnya yang ngurusin kamu itu adalah papa kamu sendiri! Tapi dia belum juga datang ke rumah ini. Menyebalkan sekali.”
"Papa ....Papa....!" jerit bocah laki-laki itu dengan rengekan keras
"Diam Aiden!" bentak Lisna
Nada bicaranya tajam dan penuh kejengkelan, tapi bayi itu belum cukup mengerti arti kata-kata, apalagi emosi. Ia terus menangis, kini dengan suara yang lebih lirih tapi tetap memekakkan telinga. Lisna memejamkan mata sebentar, lalu menyibakkan rambut panjangnya dengan kasar. Rasa muak menggelayuti pikirannya.
Dia berjalan ke meja, mengambil ponsel dari atasnya, dan duduk di sofa sambil mendengus kesal. Ia membuka daftar panggilan dan menekan nomor suaminya. Tombol itu ditekan berulang kali, namun hasilnya tetap sama—tidak diangkat. Setiap dering yang berakhir tanpa jawaban menambah panas di kepalanya.
"Mas Ardian, kamu kemana sih?" gumamnya penuh geram. “Biasanya kamu sangat mudah dihubungi. Tapi sekarang, kenapa susah sekali? Jangan-jangan…”
Lisna terdiam sejenak, bola matanya membulat. Ada bayangan wajah Eva—perempuan yang sejak dulu mengganggu pikirannya. Ia mendesah tajam.
"Apa jangan-jangan, Mas Ardian sedang berduaan dengan Eva?" katanya dengan suara menegang, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri. "Sialan! Pasti Eva memonopoli Mas Ardian. Aku tidak terima!"
Ia bangkit dari duduknya, berjalan mondar-mandir di ruang tamu sambil menggenggam ponsel erat-erat. Anak di sudut ruangan masih menangis, tapi telinga Lisna sudah kebal. Amarah telah menutupi segalanya.
"Mas Ardian itu milikku. Dia suamiku! Dia gak boleh bersama Eva. Perempuan itu… perempuan itu adalah duri dalam hubungan kami!"
Perempuan ini mengklaim Ardian sebagai miliknya, padahal dia hanya lah seorang istri siri. Dan menyalahkan Eva, sebagai istri pertama -- yang telah mengambil suaminya. Padahal yang mengambil suami Eva adalah dirinya sendiri. Pelakor yang tidak sadar diri.
"Aku harus menyingkirkan Eva," desisnya penuh tekad. "Apapun caranya."
Tangisan bayi itu terus berlanjut, menggema di ruangan yang kini seakan dipenuhi oleh kabut emosi dan cemburu.
Lisna menatap kosong ke arah jendela, membiarkan ponselnya tergeletak di meja begitu saja. Tangannya mengepal saat membayangkan suaminya dan istri pertama suaminya berduaan.
Tangisan anaknya mulai mereda, hanya tersisa isakan kecil yang terdengar lirih. Lisna melirik sekilas ke arah bayi itu. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba menusuk dadanya. Dia tahu, anak itu tidak tahu apa-apa. Dia hanya ingin diperhatikan, ingin merasa aman. Tapi Lisna merasa terlalu rapuh untuk memberi kehangatan yang dibutuhkan anaknya.
Dengan langkah berat, Lisna menghampiri anaknya. Ia duduk di lantai, memeluk tubuh mungil itu erat-erat. Tangis si kecil kembali pecah, tapi kali ini Lisna biarkan. Setelah itu, Lisna meletakkan anaknya kembali ke ranjang dan kembali membiarkan anaknya menangis. Dia memvideokan anaknya yang menangis itu, kemudian mengirim video itu pada suaminya.
Beberapa menit berlalu, hingga suara pintu depan terdengar dibuka. Lisna mendongak, matanya memerah, napasnya terengah. Sosok pria itu akhirnya muncul di ambang pintu. Mas Ardian. Dengan wajah lelah, dan raut yang sulit ditebak.
Lisna bangkit berdiri,. “Akhirnya kamu datang juga!” serunya tajam. “Sudah berapa kali aku telepon kamu?! Kamu kemana aja, Mas?!”
Mas Ardian terdiam sejenak. Dia menutup pintu pelan dan berjalan mendekati putranya yang menangis. "Aiden.." lirihnya. Dia langsung menggendong anaknya.
Lisna mendengus. “Kamu pasti sedang berduaan dengan Eva kan? Sehingga kamu enggak angkat telepon aku?"
“Apa sih, Lis? Jangan mulai lagi...” ucap Ardian sedikit pelan, karena dia takut suaranya mengagetkan anaknya.
Berbeda dengan Ardian, Lisna justru mengencangkan urat lehernya. Lalu berkata dengan nada meledak-ledak, “Jangan mulai? Aku capek, Mas! Aku gak bisa pura-pura kuat terus! Kamu tinggalkan aku sama anak kita berhari-hari, tanpa kabar, tanpa bantuan. Terus kamu datang dengan alasan sepele, dan suruh aku gak emosi?!"
Mas Ardian mencoba menjawab, tapi Lisna tidak memberi kesempatan. Semua yang dipendamnya tumpah malam itu. Tentang kesepian, tentang tanggung jawab yang tak terbagi, tentang cemburu yang terus menghantui.
“Kalau kamu memang sudah gak mau sama aku, bilang aja. Jangan begini, Mas. Jangan buat aku gila sendiri!”
Anak di pelukannya mulai merengek lagi, merasakan ketegangan antara kedua orang tuanya. Ardian terus berusaha menenangkan anaknya.
Ardian menatap Lisna dengan tatapan lelah. “Kamu tahu dari awal seperti apa posisi kamu, Lis. Jangan memutar balik keadaan.”
Lisna tersenyum miring, getir. “Oh, jadi sekarang kamu ingetin aku kalau aku ini cuma selingan? Aku cuma selingkuhan? Aku cuma istri siri? Padahal waktu itu kamu yang bilang cinta. Kamu yang bilang Eva gak ngerti kamu. Kamu yang janji mau ninggalin dia.”
Ardian mengusap wajahnya yang penat. “Aku memang salah, Lis. Tapi kamu juga tahu aku punya keluarga. Eva… dia istri sahku. Kamu gak bisa terus menuntut lebih.”
“Tapi aku yang ngandung anakmu! Aku yang ngurus dia sendirian, Mas! Kamu pikir aku ini apa, tempat pelampiasan aja? Setelah kamu puas, kamu tinggalin aku dan anakmu begitu aja?”
Lisna kini berdiri tegak. Wajahnya penuh emosi, bukan hanya karena cemburu—tapi karena luka yang disangkal begitu lama. Ia bukan hanya ingin dicintai, ia ingin diakui. Dia ingin memiliki Ardian seutuhnya.
“Aku sudah korbankan segalanya buat kamu, Mas. Harga diriku, keluargaku… semuanya! Dan sekarang kamu suruh aku mundur begitu aja? Sementara Eva enak-enakan jadi istri sah?”
Ardian terdiam. Dia tahu apa yang dikatakan Lisna tidak sepenuhnya salah. Tapi semua sudah terlalu rumit. Terlalu dalam. Terlalu berbahaya.
"Kamu jahat sekali, Mas."
"Eva tahu soal kamu,” katanya pelan.
Lisna menegang sesaat, “Apa?”
“Dia tahu semuanya, tentang hubungan kita."
Lisna tertawa bahagia, "Bagus dong. Itu berarti, dia harus sadar diri. Jika Mas Ardian harus lebih banyak meluangkan waktu bersamaku dan Aiden."
"Dia ingin berpisah dengan ku. Tapi, aku tidak mau. Karena aku masih mencintainya." lirih Ardian
"Mas, lebih baik kamu lepaskan saja perempuan itu. Masih ada aku dan Aiden yang mencintai kamu."
"Aku enggak bisa."
Lisna kesal sekali dengan suaminya ini, "Apa sih yang kamu pertahanan dari Eva? Dia itu perempuan mandul."
Ardian melotot mendengar perkataan Lisna, "Jangan ucapkan kata kotor itu pada Eva. Dia bukan perempuan mandul, dia hanya belum melahirkan anak untukku. Ingat, hanya belum." ucapnya pelan tapi penuh penekanan, dia sakit hati jika mendengar orang lain menghina istrinya dengan kata-kata "Mandul". Walaupun kenyataannya, istrinya belum memberikan dia seorang anak. Sedangkan dia, dia terbukti sudah bisa mempunyai anak dengan Lisna.
Lisna berdecak kesal, "Lho, memang kenyataannya begitu kan?" ucapnya dengan seringai mengejek. "Lagi pula, mama kamu juga bilang begitu."
Ardian enggan sekali meladeni perkataan Lisna, lalu dia membawa Aiden ke taman belakang. Sedangkan Lisna, walaupun dia kesal dengan sikap Ardian, tapi juga senang sekali saat Eva ingin berpisah. Itu berarti, dia akan menjadi nyonya Wicaksana sepenuhnya nanti.
***