Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kami Lagi Bucin
Hingga suatu malam, saat pesta tengah berlangsung, tempat itu digerebek polisi. Kekacauan pecah. Semua orang tertangkap. Termasuk Kasandra yang bahkan tak tahu menahu soal bisnis gelap itu.
Sementara Rafardhan? Ia lolos. Menghilang bagai hantu, meninggalkan Kasandra sendirian, terjerat dalam dosa yang bukan miliknya.
Setelah tiga tahun Kasandra mendekam di penjara, Rafardhan kembali muncul dengan membawa janji-janji manis yang terdengar seperti harapan baru. Ia datang menjemput Kasandra dengan mobil mewah, wajahnya kini lebih tajam, penuh kuasa, dan menawarkan kehidupan yang tak pernah dijanjikan siapa pun kepadanya.
“Tinggallah bersamaku. Kau akan hidup di rumah megah, tak kekurangan apa pun. Dan aku akan menikahimu,” kata Rafardhan dengan nada yang terdengar seperti kemurahan hati, padahal sarat kepentingan.
Pernikahan itu bukan karena cinta. Itu hanya lembaran kertas yang dipakai Rafardhan untuk memberi status pada Kasandra. Sebagai istri sah seorang penguasa bisnis kelam. Ia tak ingin wanita di sisinya tampak seperti simpanan. Ia butuh simbol, bukan pasangan. Kasandra dijadikan simbol itu.
Tak lama setelah pernikahan, Rafardhan menyuruh Kasandra menyusui bayi laki-lakinya yang baru lahir -Harry Rafardhan- Anak dari pernikahan sebelumnya yang kandas karena istrinya terbukti hanya mengejar harta dan tak henti menuntut lebih.
Setelah menceraikan wanita itu, Rafardhan memilih Kasandra yang merupakan wanita lembut, penuh keikhlasan, dan mudah dikendalikan. Kasandra hanya bisa diam saat Rafardhan menyodorkan bayi itu ke dalam pelukannya.
"Susuilah dia. Rawat dan besarkan anakku," katanya datar, seolah meminta tolong kepada seorang pengasuh, bukan istri.
Maria diberi tugas khusus untuk memberi Kasandra obat-obatan perangsang produksi ASI. Segala bentuk perawatan dilakukan. Semua prosedur medis dilalui agar tubuh Kasandra bisa menghasilkan susu untuk bayi yang bukan darah dagingnya sendiri.
Saat malam tiba dan seisi rumah terlelap, Kasandra duduk sendirian di kamar bayi. Bayi mungil itu tertidur di dekapannya. Air mata menetes perlahan dari sudut matanya.
"Aku hanya bisa menyusui anakku sendiri selama empat puluh hari... dan sekarang aku harus menyusui anak yang bahkan bukan anakku sampai dua tahun." Ada kesedihan yang tidak bisa diucapkan dengan kata.
"Mas Kimo, aku merindukanmu." Lirihnya. "Aku telah menerima banyaknya nikmat dunia di sini, tapi tak satupun bisa membuat hatiku bahagia."
Kasandra memilih untuk tidak menaruh dendam. Ia akan mendidik Harry dengan sebaik mungkin, menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam hati anak itu. Jika ia tak bisa melawan sistem, maka ia akan menjadi cahaya kecil dalam hidup bocah itu.
Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun. Meski hidupnya sunyi dari kasih sayang seorang suami, Kasandra tetap bertahan. Rafardhan hanya memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan rumah, makanan, dan pakaian. Tapi tak pernah memberikan kehangatan. Ia lebih sibuk membangun kerajaan bisnisnya yang menjalar ke berbagai kota, mungkin juga negara.
Dan saat Harry tumbuh dewasa, tak bisa dipungkiri bahwa darah Rafardhan mengalir kental di nadinya. Meski sejak kecil Kasandra berusaha membentuk hatinya dengan kelembutan dan nilai-nilai kebaikan, tetap saja, ada sisi gelap yang tumbuh perlahan dalam diri pemuda itu.
Ketika kenyataan menamparnya bahwa mencari uang dengan cara halal membutuhkan tenaga, waktu, dan perjuangan yang tidak sebanding dengan hasil, Harry mulai goyah. Sikap keras dan dingin Rafardhan seakan mulai bersemayam dalam dirinya. Ia menyaksikan sendiri betapa cepatnya dunia memberikan penghormatan pada orang yang memiliki kekuasaan dan uang, tak peduli dari mana uang itu berasal.
Dan saat ia tahu Aira telah menikah dengan pria lain, hatinya benar-benar hancur. Dunia seakan menghukumnya dua kali. Kini, Harry tak lagi peduli soal benar dan salah. Ia hanya ingin satu hal: kekuasaan.
Jika dia bisa mengendalikan kekuasaan, maka segala apa yang dia inginkan bakal terkabul.
Tiga hari kemudian...
Jauh dari dunia kelam yang mulai dijajaki Harry, Aira memulai harinya dengan damai. Selepas sholat subuh, Aira langsung meraih ponselnya, tersenyum sendiri saat melihat nama suaminya terpampang di layar.
Video call tersambung. Wajah suaminya, Zayyan, muncul di layar dengan rambut sedikit berantakan dan suara serak khasnya bikin melting.
"Assalamu'alaikum, Aira Humaira..."
Suara serak khas bariton rendahnya menyapa, menyusup lembut ke telinga Aira. Dalam, hangat, dan terdengar pelan-pelan. Suara yang bisa membuat siapa pun merasa tenang dan jatuh cinta lagi dari awal. Seperti alunan lagu akustik favorit yang diputar pelan saat hujan turun. Tak butuh rayuan puitis, cukup nada bicaranya saja sudah membuat Aira senyum-senyum tak karuan. (Turunannya Bunda Kasandra ya begini ☺🤣)
Ia langsung berguling di kasur sambil memeluk guling. “Huaaaa, guweh melting parah!!" bisiknya pada diri sendiri.
"Sayang, Aira?" Zayyan memanggil lembut, matanya menyipit penuh perhatian.
Aira menutup wajahnya pakai selimut, lalu menyibakkannya lagi dengan wajah merah padam. “Kyaa~ tolongin~ aku lagi bucinnnn!!"
Astaga. Gadis itu semakin jatuh cinta. Setiap detik bersamanya selalu Falling in love. Jantungnya berdetak lebih cepat, pipinya tak bisa menyembunyikan rona merahnya. Aira benar-benar Humaira. Gadis yang pipinya mudah bersemu merah.
Zayyan tertawa kecil melihat tingkah lucunya. “Baru lihat muka aku aja udah kayak gitu ekspresinya. Kamu tuh gemesin banget, Ai…”
Aira mengangkat dagunya tinggi-tinggi, pura-pura bangga. “Iya dong! Aku pingin bucin. Bucin halal, nggak dosa, kan?!”
"Ah, Aiku. Aku pingin banget peluk kamu."
"Kyyaaaa~"
Zayyan dibuat tertawa oleh tingkah istrinya. Dia beralih, "Airaaa... kamu kok udah secantik ini subuh-subuh?" goda Zayyan semakin bikin jantung Aira langsung salto tujuh kali.
Aira menutupi muka dengan bantal. "Aduh, Kak Zen, kita kayak anak SMA yang lagi pacaran."
Zayyan ikut tertawa. "Emang iya. Aku tuh merasa kayak anak sekolahan tiap ngomong sama kamu. Bawaannya pengin nulis nama kamu di belakang buku tulis."
Aira langsung nyaut, “Eh jangan lupa kasih gambar hati-hati kecil warna merah pink terus ditempel stiker bintang!”
Zayyan langsung ngakak ganteng. “Iya, terus di tengah hati itu ditulis: Zayyan love Aira 4ever.”
Aira langsung mengangkat tangan pura-pura bersumpah. “Demi Tuhan yang Maha Bucin, aku siap kasih nama kamu di semua sampul binder!”
"Aduh, ini pasti kalau kita sekelas, aku udah duduk di bangku belakang biar bisa mandangin kamu terus tiap pelajaran Matematika."
"Dan aku pura-pura minta pinjem penghapus padahal jelas-jelas bawa dua," timpal Aira sambil hahahihi.
Zayyan menarik napas panjang-panjang dengan wajah sok sedih. “Kalau kamu ada di sini sekarang, aku udah beliin kamu roti bakar isi cokelat keju dari warung Bu Atun. Yang pinggirannya garing, tengahnya lumer banget itu lho...”
Aira langsung menjerit manja. “Aaaah, roti Bu Atun! Kak Zen kejam banget sih bikin aku ngiler jam segini!”
Zayyan tertawa geli. “Tuh kan, bener. Kita kayak anak sekolahan, bukan suami istri. Tapi enak ya… bucin halal, full senyum, nggak dosa.”
Aira menatap layar penuh cinta. “Iya, dan semoga kayak gini terus sampe kita keriput.”
Zayyan mendekat ke kamera, menatap intens. “Aamiin, Bu Humaira Kalandra. Siap tua bareng?”
“Siap banget, Pak Zayyan Kalandra,” jawab Aira sambil menangkup pipinya sendiri, pipi yang sekarang sudah memanas kayak roti bakar tadi.
Dinikahi cuma buat status biar nggak kelihatan kayak simpenan. Kasandra disuruh nyusuin anak dari istri sebelumnya, juga. Apes... apes...