"Jamunya Mas," Suara merdu mendayu berjalan lenggak lenggok menawarkan Jamu yang Ia gendong setiap pagi. "Halo Sayang, biasa ya! Buat Mas. Jamu Kuat!" "Eits, Mr, Abang juga dong! Udah ga sabar nih! Jamunya satu ya!" "Marni Sayang, jadi Istri Aa aja ya Neng! Ga usah jualan jamu lagi!" Marni hanya membalas dengan senyuman setiap ratuan dan gombalan para pelanggannya yang setiap hari tak pernah absen menunggu kedatangan dirinya. "Ini, jamunya Mas, Abang, Aa, diminum cepet! Selagi hangat!" Tak lupa senyuman manis Marni yang menggoda membuat setiap pelanggannya yang mayoritas kaum berjakun dibuat meriang atas bawah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiara Pradana Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sengketa Tanah
Sebulan sudah Marni berjualan Jamu di Pasar. Sudah banyak pembeli yang datang dan langganan Jamu dengan Marni
Selain Kaum Adam yang betah berlama-lama di lapak Jamu Marni, pembeli Kaum Emak-Emak juga banyak yang rutin minum Jamu Racikan Pamungkas Marni.
Bahkan para Emak-Emak minta bungkus bawa pulang untuk stok dan jaga-jaga kalau Pak Suami ngajak tempur malam jumat.
"Ndok, Bude titip lapak yo. Tapi lapaknya Bude tutup. Repot kalo buka Kamu jadi jaga dua lapak. Bude mau bantu rewang." Bude Sri mampir ke lapak Jamu Marni.
"Bude, ini titipannya Bude Sum."Marni memberikan beberapa botol Jamu siap minum sudah ia racik.
"Walah si Sum ada-ada aja. Tapi mantap sih! Biasanya emang kalau habis rewangan badan pegel-pegel mesti udah bikin bubur sum-sum untuk sarat tetap aja, adanya Jamu Kamu membantu. Sini tak Bude kasihin ke Si Sum." Bude Sri mengambil bungkusan botol Jamu yang telah Marni siapkan.
"Memang hajatnya kapan Bude?"
"Lusa. Lah sekarang sampine dipotong. Mau langsung dimasak. Jadi Sum minta Bude kesana. Kan pesen Bumbuan sama Rempahannya sama Bude juga."
"Bude berangkat ya Ndok."
"Diantar siapa Bude?"
"Itu barengan sama yang lain naik odong-odong. Ada-ada aja si Sum. Tapi gapapa malah enak seliwar seliwer angin. Adem."
Shami Bude Sum Bos Odong-Odong tak heran, armada yang sering bikin macet dan selalu ditunggu emak-emak plus anak-anak yang naik sambil ngasihin makanan selalu laris penuh sepanjang apapun gerbong si Odong-Odong.
Marni melihat Bude Sri dengan beberapa temannya sesama pedagang di pasar naik Odong-Odong. Senyum Marni terbit. "Seru juga ya kehidupan dipasar." Baru sebulan Marni merasakan hidup bersama para pedagang lain banyak suka dukanya. Tapi sisi positifnya disini senasib sepenanggungan. Karena merasa sama-sama pedagang jadi saling bantu. Walau ada juga sih yang julid.
Saat sedang melayani pembeli, Marni mendengarkan beberapa pelanggannya yang sedang minum Jamu membahas soal penggusuran lahan sengketa yang berada di ujung Pasar.
"Memangnya Pak itu gimana ceritanya bisa sampe digusur?" Marni meletakkan Jamu pesanan seorang Bapak yang sedang seru membuka obrolan soal sengketa tanah.
"Jadi duduk persoalannya sejumlah bangunan digusur meskipun warga atau pemilik bangunan telah memiliki sertifikat hak milik (SHM) yang sah."
"Loh kok bisa? Sertifikat ada tapi kena sengketa." Salah seorang Bapak berkepala plontos menanggapi.
"Begini ceritanya. Kasus sengketa lahan ini bermula pada 1976 saat seseorang bernama DSD menjual tanah miliknya seluas 3,6 hektare kepada AH. Tanah tersebut telah ber-SHM dengan nomor 325. Adapun AH merupakan orang tua dari penggugat dalam kasus ini, yakni MJ. Yang jadi tambah masalah adalah ketika habis jual beli itu AH (saat ini) sudah almarhum, tidak langsung membalik nama. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1982, diduga DSD melakukan kecurangan dengan menjual kembali tanah seluas 3,6 hektare yang sebelumnya telah dibeli AH. Tahun 1982, enam tahun kemudian tanah itu dijual lagi kepada orang lain namanya KY. Oleh KY, sertifikat dengan nomor 325 itu kemudian dipecah menjadi empat sertifikat dengan nomor 704, 705, 706, dan 707. Dua dari empat sertifikat itu kemudian dijual KY kepada TG dengan nomor 704 dan 705. TG kemudian menjual sertifikat dengan nomor 705 kepada AB Sertifikat dengan nomor 705 itu kemudian dibuat perumahan oleh BR dengan nama Cluster SMR. Pihak AH, melalui ahli warisnya yakni MJ, menganggap sertifikat yang dimiliki KY tidak sah. Pada 1996 MJ akhirnya menggugat KY, DSD, dan AB ke pengadilan dengan dasar akta jual beli (AJB) milik orang tuanya pada 1976. Kemudian MJ menggugat ke PN sampai ke MA menang, Setelah dinyatakan menang di tingkat Mahkamah Agung, MJ kemudian melakukan permohonan eksekusi lahan ke Pengadilan Negeri Kelas II. Proses eksekusi lahan kemudian dilakukan dengan merujuk putusan Pengadilan Negeri dengan nomor, 128/PDT.G/1996/PN.BKS tertanggal 25 Maret 1997. Saat PN melaksanakan eksekusi lahan, sejumlah warga yang memiliki bangunan di atas lahan seluas 3,6 hektare itu menolak proses eksekusi. Sebab, mereka pun memegang SHM atas tanah yang mereka miliki."
Semua yang mendengarkan manggut-manggut. "Bapak sepertinya paham betul kasusnya?"
"Keponakan Saya salah satu korbannya Pak. Karena keponakan Saya sekarang lagi berlayar, jadi yang ngurusin Kakak Saya kebetulan Saya ikut nganter. Makanya tabu banget rinciannya."
Semua kompak ber o mendengarkan penjelasan si Bapak.
Marni yang ikut mendengarkan lalu penasaran gimana kelanjutannya, "Nah sekarang jadinya Mereka udah pindah Pak?"
"Sebagian pindah sebagian masih bertahan."
Setelah selesai si Bapak pamit duluan karena kembali akan menemani Kakaknya mengurus persoalan tersebut.
"Ngeri juga ya sekarang kalo beli perumahan baru. Takutnya bermasalah begitu. Ribet." Salah satu Ibu-Ibu yang tadi turut mendengarkan kini mulai berkomentar.
"Iya. Kadang kepengin punya rumah. Ga mampu sampe dibela-belain nyicil eh malah sengketa begitu nambah rungsing."
"Ya udahlah. Kita-kita yang masih mampunya ngontrak, mending ngontrak aja. Paling puyengnya pas ditagih sama yang punya kontrakan setiap jatuh tempo."
"Bener tuh! Gua juga sama, apalagi Bu Haji yang punya rumah petakan Gua ya bawel bener! Telat sehari aja bisa nyap-nyap!"
"Sama dimana-mana kalo telat bayar mah pasti nyap-nyap yang punya."
"Mbak Marni baru ya jualan disini?"
"Iya Bu baru sebulan."
"Mbak Marni perasaan ga keliaran keluarganya? Situ perawan apa janda nih!"
"Wes! Beli Jamu ga usah pake nanya-nanya!"
"Loh Bude sudah balik?"
Marni terkejut kedatangan Bude Sri. Marni meriah tangan Bude Sri dan menciumnya.
"Loh jadi Marni anaknya Bude Sri?" Si Ibu yang tadi judes pada Marni mulai terlihat ga enak hati.
"Iya makanya jangan julid. Wes beli Jamu dan pulang. Ga usah ngurusi anakku mau gadis apa janda."
"Maaf Bude Saya ga tahu. Habisnya baru buka udah rame aja. Apalagi banyak Bapak-Bapak betah disini."
"Jangan asal. Yang kesini ya mau minum jamu. Sampean udah selesai belinya pulang. Jangan usil!" Bude Sri ga suka dengan omongan jahat yang mengomentari Marni.
Karema tak enak hati, si Ibu segera membayar Jamunya dan segera pergi meninggalkan lapak Marni.
"Wong lambenya jahat bener!" Bude Sri meneguk air outih yag disuguhkan oleh Marni.
"Sabar Bude. Aku gapapa. Udah biasa diomong begitu."
"Ya Bude yang ga bisa diem aja. Lambenya nyinyir banget!"
Marni tersenyum hatinya menghangat, serasa memiliki seorang Ibu. Dibela dihadapan banyak orang. Hal yang sudah alam tak Marni rasakan sejak kepergian si Mbah.
"Bude belum jawab, kok sudah balik? Memang sudah selesai?"
"Nah itu Ndok, Jualanmu masih banyak?"
"Ga sih Bude. Paling habis dikit lagi kenapa?"
"Si Sum minta Bude bawa Kamu buat bantu-bantu disana. Lah yang rencana mau bantu malah ga dateng. Lah ga kepegang sapi seekor kalo cuma Bude sama Lastri. Sum-Sum ada-ada aja. Lagi sudah Bude bilang jangan manggil si Jamilah, dia ga pernah pegang janji. Nah bener toh, sekarang udah begini malah batalin ga jadi bantuin masak."
"Ya sudah Bude. Mending habis dzuhuran Kita balik kesana. Kasihan Bude Sum. Pasti bingung. Lusa sudah acaranya."
"Iya. Kalo gitu Bude balik ke lapak dulu, Kamu juga siap-siap ya."
"Iya Bude."