NovelToon NovelToon
Loka Pralaya: The Begining

Loka Pralaya: The Begining

Status: tamat
Genre:Tamat / Matabatin / Dunia Lain / Perperangan / Pusaka Ajaib
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Margiyono

Prita dihantui mimpi-mimpi samar tentang sosok misterius dan sosok asing bernama Tana' Bulan. Di tengah kesehariannya yang tenang di Loka Pralaya bersama sahabat-sahabatnya, Wulan dan Reida, serta bimbingan bijak dari Nyi Lirah, mimpi-mimpi itu terasa lebih dari sekadar bunga tidur.

Sebuah buku kuno berkulit, Bajareng Naso, menjadi kunci misteri ini. Ditulis oleh Antaboga, legenda di dalamnya menyimpan jejak masa lalu Prita yang hilang—ingatan yang terkubur akibat pengembaraannya melintasi berbagai dunia. Nyi Lirah yakin, memahami legenda Bajareng Naso adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepingan-kepingan memori Prita yang berserakan.

Namun, pencarian kebenaran ini tidaklah mudah.

Akankah Prita berhasil memecahkan misteri mimpinya dan memulihkan ingatannya yang hilang? Siapakah tamu tak diundang itu, dan apa hubungannya dengan rahasia yang dijaga oleh Luh Gandaru?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Awal dari Sebuah Latihan

Pagi itu, Wulan mengajakku ke rumahnya.

Kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak di belakang Gubuk Manah. Rumah Wulan ternyata tidak jauh, hanya sekitar lima ratus meter dari sana. Rumahnya sederhana, dinding kayu dan atap anyaman daun cokelat kering.

Di sekelilingnya tumbuh beberapa pohon meditrana, pemandangan yang umum di negeri Londata ini, karena daun pohon itu digunakan sebagai penerangan malam.

Setelah beberapa saat berjalan, kami tiba di rumah itu. Tampak sepi, pintunya terkunci rapat.

“Kamu sendirian tinggal di rumah ini, Wulan?” tanyaku saat Wulan mengambil kunci dan membukanya.

“Ayo, silakan masuk,” jawab Wulan.

Aku melangkah masuk mengikutinya. Begitu berada di dalam, mataku tak berkedip melihat sekeliling.

Rumah itu memang sederhana, tapi semuanya tertata rapi. Dalam hati, aku mengagumi Wulan. Di balik kebaikannya dan selera humornya yang renyah, ia juga memiliki disiplin dan tanggung jawab yang tinggi. Setidaknya itulah yang kurasakan saat pertama kali masuk ke rumahnya.

Wulan membiarkan aku mengamati ruangan itu. Sepertinya ia tidak ingin menggangguku. Setelah beberapa saat, aku merasa cukup dengan apa yang kulihat.

“Mana, batu-batu Zato itu Wulan?” tanyaku tak sabar.

“Ah, kamu ini tidak sabaran ya?” goda Wulan, melihat keinginanku yang begitu besar untuk melihat batu-batu itu.

“Eh, enggak juga kok,” sergahku, “tapi kan tujuan kita ke sini untuk melihat batu-batu itu?”

“Iya, kamu tidak salah, tapi itu bisa nanti kan?” kata Wulan,

“kamu kan baru sampai di rumahku, sekarang kita minum dulu ya? Kamu pasti haus.”

Aku hanya tersenyum mengiyakan ajakannya.

Setelah kami minum beberapa teguk, Wulan beranjak dari duduknya.

“Batu-batu Zato itu aku simpan di kamarku,” kata Wulan.

“Ayo, kita masuk!” Ia mengajakku ke kamarnya. Aku merasa canggung, tapi Wulan memaksaku.

“Tak perlu risih, aku sendirian kok di rumah ini, tidak ada orang lain,” kata Wulan.

“Eh, iya,” jawabku.

Aku kemudian memasuki kamar Wulan.

Kulihat ia langsung menuju lemari di sana, membukanya, dan mengambil bungkusan kain bercorak dari dalam laci.

“Ini, batu-batu itu aku simpan di sini.” Wulan memperlihatkan bungkusan itu padaku.

Aku merasa gugup melihatnya, dadaku berdebar tanpa alasan yang jelas.

“Aku… aku jadi takut, Wulan…” kataku lirih.

“Tenang aja, ini hanya batu Zato biasa kok,” jawab Wulan,

“Nyi Lirah yang memberikannya kepadaku, sebagai kenang-kenangan.”

Ia berusaha menenangkanku. Mendengar itu, aku merasa sedikit lebih tenang.

“Terima kasih, Wulan,” jawabku singkat.

“Hmm, kayaknya kita bisa mencobanya di sini,” kata Wulan sambil melihat sekeliling kamarnya, memastikan tempat itu cukup aman untuk melatihku mengendalikan energi dalam tubuhku.

“Emm, bagaimana caranya, Wulan?” tanyaku, masih belum mengerti.

“Tenang saja, nanti aku ajari caranya,” jawab Wulan singkat.

Kemudian Wulan mengeluarkan satu buah batu Zato berwarna biru. Ukurannya tidak terlalu besar, hanya sekitar setengah bola pingpong.

“Kita coba yang ini dulu!” katanya sambil memperlihatkan batu itu padaku.

Aku memandangi batu itu. Warnanya biru dan tampak memancarkan sedikit cahaya. Sekilas, batu itu terlihat seperti batu biasa.

“Coba kamu pegang, Prita!” kata Wulan sambil memberikan batu itu padaku.

Aku menerimanya. Bahkan sebelum Wulan memberikan aba-aba atau instruksi apa pun, batu itu sudah bereaksi sendiri.

Begitu menyentuh tanganku, cahayanya yang redup seketika berubah menjadi terang berkilauan. Cahaya itu tidak hanya berkilauan, tapi juga seperti berputar dan menerangi seluruh kamar. Aku terkejut melihat kejadian itu dan segera mengembalikan batu itu kepada Wulan.

“Wulan!” kataku agak ketakutan, “aku takut, aku tidak tahu apa yang seharusnya aku lakukan!” lanjutku.

Wulan, yang melihat kejadian itu, tidak kalah terkejutnya denganku.

Selama ini, untuk membuat batu Zato bereaksi tidaklah mudah, perlu latihan dan konsentrasi khusus. Namun di tanganku, seolah batu itu memiliki nyawanya sendiri, tanpa perlu perintah ia bereaksi sendiri.

Setelah berpikir sejenak, Wulan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan latihan di belakang rumahnya. Ia berpikir tempat itu lebih aman. Jika terjadi sesuatu di luar perkiraan, setidaknya dampaknya tidak akan terlalu parah.

“Prita,” kata Wulan, “Hmm… aku rasa sebaiknya kita lanjutkan latihan ini di luar saja ya?”

“Oh, baik…” jawabku.

Kami berdua kemudian bergegas keluar dari kamar, masih membawa bungkusan batu-batu Zato itu. Wulan berjalan di depanku menuju pekarangan belakang rumah.

Halaman belakang rumah Wulan cukup luas. Di sekelilingnya tumbuh berbagai tanaman sebagai pagar, dan seperti penduduk klan Lontara lainnya, pohon Meditrana tampak menjadi pohon yang wajib dimiliki.

“Nah… di sini saja,” kata Wulan setelah kami sampai di halaman belakang,

“aku rasa di sini cocok.”

“Iya,” jawabku sambil melihat sekeliling.

Rasa takjubku pada tempat itu tidak bisa kusembunyikan.

“Hmm, tempat ini indah ya, Wulan,” kataku mengungkapkan kekagumanku.

“Iya… udaranya juga segar, aku sering menghabiskan waktuku di sini,” kata Wulan seperti mengenang saat-saat ia menyendiri di tempat itu.

“Kita mulai ya?” kata Wulan memecah keheningan.

“Ba…Baik… tapi aku belum mau menyentuh batu itu, Wulan,” kataku ragu.

Aku masih ingat kejadian di kamar Wulan, dan sepertinya aku butuh sesuatu untuk memulainya.

“Hmmm, iya,” jawab Wulan seperti sedang berpikir bagaimana cara memulai latihan itu. “Prita,” kata Wulan padaku.

“Iya,” jawabku sambil menatapnya penuh tanya.

“Tadi,” kata Wulan berhenti sejenak, “saat kamu memegang batu itu, apa yang kamu rasakan?” tanyanya menyelidik.

Aku tampak ragu, tapi akhirnya kujawab.

“Ehmm, seingatku…” kataku mencoba mengingat kembali kejadian tadi.

“Saat batu itu aku pegang, aku merasakan getaran yang hebat di telapak tanganku,” aku berhenti sejenak.

“Aku merasa batu itu mengeluarkan hawa yang agak panas, dan seperti yang kamu lihat, batu itu tiba-tiba mengeluarkan cahaya seperti itu.”

“Hmm, seperti itu ya?” kata Wulan, “selain rasa panas itu, apa saja yang kamu rasakan?” tanyanya lagi.

“Aku merasakan batu itu bergetar seperti ingin lepas, Wulan,” jawabku.

“Lalu?” tanya Wulan.

“Iya, karena takut terlepas…” jawabku ragu,

“Aku mengeratkan peganganku pada batu itu…” Aku terdiam sejenak,

“…saat itulah aku berpikir untuk melepaskan batu itu, dan menyerahkannya kepadamu, Wulan,” kataku mengakhiri ucapanku.

“Hmm, sepertinya benar kata Nyi Lirah…” gumam Wulan seperti pada dirinya sendiri, namun suaranya terlalu jelas untuk tidak kudengar.

“Lalu, bagaimana Wulan?” tanyaku ragu-ragu.

Wulan berpikir sejenak, kemudian tersenyum ramah padaku, berusaha menyemangatiku untuk melanjutkan latihan.

“Prita,” kata Wulan. “Kita lanjutkan lagi ya?” lanjutnya.

“Iya, tapi tolong kasih tahu caranya dulu ya?” pintaku pada Wulan.

“Iya, jangan khawatir, aku akan memandumu kok,” jawab Wulan dengan senyum manisnya.

Setelah melihat aku siap untuk melanjutkan latihan, Wulan membuka kembali bungkusan batu Zato yang dibawanya.

Dan seperti tadi, pertama ia mengeluarkan batu Zato seukuran setengah bola pingpong yang berwarna biru redup. Namun kali ini, ia tidak langsung memberikannya padaku.

“Ini, kamu coba pegang kembali batu ini, tapi tunggu dulu…” kata Wulan berhenti sejenak, matanya memperhatikan gelagatku yang masih tampak ragu dan takut.

Aku sendiri merasakan jantungku berdebar kencang, ada perasaan takut dan khawatir di dalam hatiku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku memegang batu Zato itu lagi.

1
Abu Yub
lanjut thor semangat/Pray/
Abu Yub
lanjut thor
Abu Yub
lanjut
Selvy
Semangat
Abu Yub
Aku mampir lagi thor/Pray//Ok//Good/
Abu Yub
terimakasih
Abu Yub
carla dan vyn
Abu Yub
nyi
Abu Yub
lanjut/Pray/
Abu Yub
aku mampir thor. jng lupa mampir juga novel aku
Margiyono: ok otw ...
total 1 replies
Abu Yub
berempat
Abu Yub
Aneh
Abu Yub
tiba tiba
Hye Kyoe
Halo aku mampir nih....🤩
Margiyono: thaks..kak..
/Drool//Pray/
total 1 replies
liynne~
semangat, and done ya/Chuckle/
Dewi Ular🐍💆🏻‍♀️
Prita? Nama yang indah/Drool/
Margiyono: he.he.. trmksh kak.. padahal aslinya itu polypropilen.. loka pralaya itu asli ada di dunia nyata.. cuma seting karakter dan tokohnya saja.. alurnya sama dg yg di dunia nyata
total 1 replies
Andressa Maximillian
plis
Andressa Maximillian
menurutku ceritanya bagus, dunia yang dibangun penuh misteri dan kejutan
Margiyono: terimakasih
total 1 replies
Andressa Maximillian
wah.. seru nih. ditunggu kelanjutannya
Margiyono
siap, terimaksih...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!