Di balik nama Alysa Kirana Putri, tersembunyi tiga kepribadian yang mencerminkan luka dan pencariannya akan kebebasan. Siapakah "Putri," anak ceria yang selalu tersenyum, namun menyembunyikan ribuan cerita tak terucapkan? Apa yang disembunyikan "Kirana," sosok pemberontak yang melawan bukan untuk menang, tetapi untuk bertahan dari tekanan? Dan bagaimana "Alysa," jiwa yang diam, berjalan dalam bayang-bayang dan bisu menghadapi dunia yang tak pernah memberinya ruang?
Ketika tuntutan orang tua, perundungan, dan trauma menguasai hidupnya, Alysa menghadapi teka-teki terbesar: apakah ia mampu keluar dari kepompong harapan dan luka menjadi kupu-kupu yang bebas? Atau akankah ia tetap terjebak dalam tekanan yang terus menjeratnya? Semua jawabannya tersembunyi dalam jejak langkah hidupnya, di antara tiga kepribadian yang saling bertaut namun tak pernah menyatu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garni Bee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah kakek
...Kadang, kita tidak tahu mengapa hati kita memilih sesuatu. Tapi saat kita mengikuti kata hati, sesuatu yang besar bisa terjadi....
...🦋...
Aku baru saja pulang dari sekolah. Seragamku sudah sedikit kusut, dan tas di pundakku terasa berat. Sampai di rumah, aku membuka pintu dan melihat Mamah ku duduk di ruang tamu, sibuk dengan ponselnya. Begitu melihatku, ia menoleh sebentar.
"Putri, kamu sudah pulang? Gimana sekolahnya?" tanyanya tanpa benar-benar memperhatikanku.
Aku menaruh tasku di kursi dan menjawab dengan datar, "Baik kok,mah."
Jawaban standar. Mamah tidak akan bertanya lebih jauh. Aku pun tidak ingin menjelaskan lebih banyak.
Saat aku berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum, mataku menangkap sosok kakek di teras belakang rumah. Dia mengenakan topi dan membawa tongkat kayunya, bersiap untuk pergi ke suatu tempat.
Aku tahu ke mana dia akan pergi-ke gunung kecil di belakang rumah.
Biasanya, aku tidak peduli dengan kakek dan nenek. Aku tidak pernah terlalu dekat dengan mereka. Bahkan dulu, aku sering menghindari mereka. Tapi entah kenapa, hari ini aku merasa berbeda.
Aku merasa... aku harus ikut.
Aku sendiri tidak tahu kenapa.
"Mah, Putri mau ikut kakek ya?"
"Hah? Tumben banget, ada apa?"
"Gapapa kok, mah. Pengen cari angin aja. Bosen dirumah terus."
"Yaudah hati-hati, sekalian jagain kakek."
"Iya, mah,"
Tanpa banyak berpikir, aku berjalan pelan, mengikuti kakek dari belakang.
...
Langkah-langkah kecilku terdengar. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Kakek yang menyadari langkahku akhirnya menoleh ke belakang.
Beliau tersenyum tipis.
"Eh, kenapa Putri mengikuti kakek?" tanyanya dengan suara lembut.
Aku terdiam sejenak. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku juga tidak tahu kenapa aku ingin ikut. Tapi akhirnya, kata-kata itu keluar dari mulutku tanpa kupikirkan.
"Aku mau ikut."
Kakek tampak sedikit terkejut, tetapi ia mengangguk. "Yaudah, ayo ikut. Tapi hati-hati, ya. Banyak batu, licin habis hujan."
Aku mengangguk, mengikuti langkah kakek yang mulai menapaki jalan setapak menuju gunung kecil di belakang rumah.
Saat aku berjalan di belakangnya, aku menyadari sesuatu-langkah kakek lebih lambat dari yang kuingat.
Dulu, beliau selalu terlihat kuat meskipun sudah tua. Tapi sekarang, aku bisa melihat punggungnya yang sedikit bungkuk, dan cara jalannya yang lebih berhati-hati.
Tapi meskipun begitu, dia tetap terlihat damai.
...
Saat ini kita sudah sampai di atas gunung. Udara di gunung ini berbeda. Lebih sejuk, lebih segar. Aku bisa mencium aroma tanah basah yang bercampur dengan dedaunan. Cahaya matahari sore menembus celah pepohonan, menciptakan bayangan-bayangan panjang di jalan setapak.
Aku belum pernah merasa setenang ini sebelumnya.
"Kakek sering ke sini?" tanyaku akhirnya.
Kakek mengangguk. "Iya"
"Setelah beberapa saat kemudian, kakek mengajak ku turun.
"Udah sore, turun yuk." Aku mengangguk.
...
Kami terus berjalan perlahan. Tapi tiba-tiba, langkah kakek melambat.
Begitu sudah mau sampai bawah, aku melihatnya berhenti lalu tangannya yang berpegangan pada tongkat sedikit bergetar.
"Kakek?" tanyaku pelan.
Lalu, sebelum aku bisa melakukan apa pun, tubuh kakek oleng ke samping.
"Kakek!"
Aku melihat semuanya terjadi seperti dalam gerakan lambat.
Kakek terhuyung mundur, lalu-
Bruk!
Dia jatuh ke tanah.
Tubuhnya mengenai batu besar.
Aku mematung.
Darah.
Darah mulai mengalir dari kepala kakek, membasahi tanah di bawahnya.
Aku panik. Nafasku terasa berat. Tanganku mulai gemetar. Aku tidak tahu harus melakukan apa.
Aku mencoba berbicara, tapi suaraku tercekat di tenggorokan.
Aku ingin berteriak, tapi tubuhku tidak bisa bergerak.
Lalu akhirnya, tubuhku bereaksi dengan sendirinya.
Aku menarik napas dalam-dalam dan berteriak sekuat tenaga.
"Kakeekkkk!! Tolong!!!"
Suaraku menggema di sepanjang lereng gunung.
Aku tidak tahu apakah ada yang mendengar, tapi aku terus berteriak.
Beberapa menit kemudian, aku mendengar suara langkah kaki berlari mendekat. Beberapa tetangga yang sedang berkebun di kaki gunung segera naik ke atas setelah mendengar suaraku.
"Ya Allah! Kakek jatuh!" seru salah satu tetangga dengan wajah panik.
Mereka segera mengangkat tubuh kakek, mencoba menghentikan darah yang mengalir dari kepalanya. Salah satu dari mereka menyuruhku turun dan mencari bantuan.
Tapi tubuhku masih gemetar.
Aku harus lari ke rumah. Aku harus memberitahu Mamah.
Aku menguatkan diriku dan mulai berlari turun dari gunung. Nafasku tersengal, dada terasa sesak, dan kepalaku mulai pusing.
Aku tidak pernah berlari menuruni gunung secepat ini sebelumnya.
Aku menahan air mata yang ingin terjatuh, aku tidak boleh menangis.
Aku tidak peduli dengan ranting-ranting yang menggores kakiku, atau tanah yang licin di bawah sepatuku. Aku hanya tahu bahwa aku harus sampai di rumah.
Saat sampai di halaman belakang rumah, aku melihat Mamah yang sedang berdiri di dapur.
Aku berteriak, suaraku pecah karena tangisan.
"Mahh!! Kakek jatuh!!"
Mama menoleh, wajahnya langsung berubah panik.
"Putri kenapa kamu gak bisa jaga kakek!"
Aku tidak bisa lagi berkata apa-apa. Nafasku tercekat. Badanku mulai melemas.
Aku berlari kesana-kemari mencari bantuan. Sedangkan mamahku melihat kakek dari belakang rumah, mamahku histeris pada saat itu.
Begitu aku pulang, aku langsung melihat sudah ada banyak sekali orang yang menolong kakek. Mamah ku ditenangkan oleh ibu-ibu tetanggaku. Sedangkan aku masih menahan air mata ku,melihat dari kejauhan.
Papah dan nenek ku ada di sawah, jadi ada beberapa orang yang menjemput nya untuk pulang.
Aku berlari ke kamar. Aku merasa seperti tenggelam dalam kepanikan yang tak bisa kukendalikan.
Tanganku mencengkeram dadaku, mencoba mencari udara, tapi rasanya seperti tidak ada cukup oksigen di sekitar.
Aku tahu ini bukan sekadar ketakutan biasa.
...
Aku tidak ingat banyak hal setelah itu.
Yang kuingat hanya kepanikan. Nafasku yang tersengal. Dunia yang terasa berputar. Tanganku yang mencengkeram dadaku dengan erat, seolah-olah itu bisa menghentikan perasaan sekarat yang tiba-tiba menyerangku.
Tetangga yang membawa kakek turun dari gunung sudah tiba di rumah. Aku mendengar seseorang berkata bahwa kakek harus segera dibawa ke rumah sakit. Aku melihat sekilas wajah kakek yang pucat, tubuhnya terbaring lemah di atas kain yang dijadikan tandu darurat.
Darah di belakang kepala nya masih terlihat.
Aku menutup mulutku dengan tangan, mencoba menahan tangis, tapi isakanku pecah begitu saja.
Rumah sakit
Di ruang tunggu, aku duduk dengan tubuh gemetar. Aku melihat dokter dan perawat sibuk masuk ke dalam ruang gawat darurat tempat kakek dibawa.
Aku menatap lantai.
Kejadian tadi terus terputar di kepalaku.
Aku melihat darah di tanah. Aku mendengar suara tubuh kakek jatuh. Aku merasakan ketakutan itu merayap naik ke tenggorokanku.
Aku tidak bisa menghilangkan bayangan itu dari pikiranku.
Aku ingin berhenti berpikir. Aku ingin berhenti merasakan semuanya.
Tapi aku tidak bisa.
...
Beberapa jam kemudian, seorang dokter keluar dari ruang gawat darurat.
"Keluarga dari Bapak Kusnadi?"
Papah langsung berdiri, wajahnya penuh kekhawatiran. "Saya, Dok! Bagaimana keadaan ayah saya?"
Dokter itu tersenyum kecil, meskipun wajahnya tetap serius. "Kondisinya stabil sekarang. Kami sudah menghentikan pendarahannya, tapi beliau mengalami benturan keras di kepala. Kami akan memantau kondisinya dalam beberapa hari ke depan."
Papah menghela napas lega,
"Kami bisa melihat beliau sekarang?" tanya nya pelan dengan suara bergetar.
Dokter mengangguk. "Silakan, tapi jangan berisik. Beliau masih perlu banyak istirahat."
Aku masuk ke ruang perawatan dengan langkah ragu. Kakek terbaring di atas ranjang rumah sakit, wajahnya pucat, dengan perban melilit di kepalanya.
Aku tidak bisa menahan rasa bersalah yang menekan dadaku.
Seharusnya aku bisa melakukan sesuatu. Seharusnya aku tidak hanya diam tadi.
Nenek duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan kakek dengan mata berkaca-kaca. "Cepet sembuh ya, kek."
"Putri..." katanya pelan.
Aku menggigit bibirku. Nenek mengangkat tangannya, mencoba menggapai tanganku.
"Kamu baik-baik aja?" tanya nenek dengan suara lemah.
Aku mengangguk cepat,
"Jangan menyalahkan diri sendiri..." kata Nenek.
Tapi bagaimana bisa aku tidak menyalahkan diriku sendiri?
Aku adalah orang yang terakhir bersama kakek sebelum dia jatuh.
Aku yang mengikuti dia hari ini.
Aku yang seharusnya bisa melakukan sesuatu lebih cepat.
...
Aku pulang ke rumah larut malam. Aku tidak bisa tidur.
Setiap kali aku memejamkan mata, aku kembali melihat kakek jatuh. Aku kembali mendengar suaraku sendiri berteriak di gunung.
Aku menarik napas dalam-dalam. Tanganku masih gemetar meskipun aku sudah berusaha menenangkannya.
Aku menggenggam selimut erat-erat.
Aku merasa aneh.
Aku merasa... takut.
Tapi lebih dari itu, aku merasa sesuatu dalam diriku mulai berubah.
Aku tidak tahu perubahan seperti apa.
Tapi aku bisa merasakannya.
________________________________
"Sesuatu terjadi akhir-akhir ini. Sesuatu dalam diriku berubah. Aku hanya belum tahu apakah itu sesuatu yang baik, atau justru awal dari sesuatu yang buruk."
________________________________