NovelToon NovelToon
Shan Tand Dan Tahu Ajaib

Shan Tand Dan Tahu Ajaib

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat / Epik Petualangan / Ilmu Kanuragan / Kultivasi Modern
Popularitas:284
Nilai: 5
Nama Author: Fauzy Husain Bsb

Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?

padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.

Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?

ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pangeran Ponggol

Shantand merasa Jantungnya berdebar lebih cepat. Bahkan dia merasa tangannya sedikit berkeringat.

"Maaf, tapi... di mana rumahmu?" tanyanya, mencoba tetap tenang meskipun suaranya sedikit bergetar.

Silvana tersenyum tipis—anggun seperti biasa. Tatapannya tenang, sulit ditebak.

"Gampang sebenarnya," katanya santai. "Mari, kamu bisa antar aku pulang. Rumahku tidak jauh kok."

Shantand nyaris terpeleset kursinya.

Maksudnya… sekarang?!

Bu Pinah yang sedang mengemasi dagangan hanya bisa tersenyum tipis, mengamati perubahan ekspresi Shantand yang sudah jelas-jelas "kena" pesona Silvana.

"Hati-hati di jalan, ya," kata Bu Pinah sambil tersenyum penuh arti.

"Eh? Ah... iya, Bu..." Shantand buru-buru mengambil keranjang dagangannya.

Sementara itu, Rafaela si kucing putih justru merasakan perasaan yang sama seperti Shantand.

Jika Shantand bisa lebih dekat dengan Neng Silvana... berarti dia juga bisa lebih dekat dengan Mas Bhaskara yang agung!

Rafaela mengeong pelan, mendekati kaki Silvana. Matanya berbinar penuh antisipasi.

Hari ini benar-benar hari yang luar biasa!

*****

Langkah kaki Shantand terasa lebih ringan meskipun dadanya berdebar. Ia berjalan di samping Silvana, mengiringinya pulang, sementara suasana kota di sekitar mereka semakin menghidupkan perjalanan ini.

Jalanan utama yang mereka lalui diliputi aktivitas kota yang sibuk.

Lalu-lalang kereta kuda berderak di atas jalan berbatu, terkadang memercikkan sedikit lumpur saat melewati genangan air sisa hujan semalam.

Para pedagang kaki lima dengan suara lantang menawarkan dagangan mereka—mulai dari kain sutra, rempah-rempah, hingga kudapan manis yang menggoda selera.

Anak-anak kecil berlari-lari di antara kerumunan, bermain layang-layang sederhana yang mereka buat sendiri.

Para ibu-ibu sibuk memilih ikan segar di pasar, sementara beberapa pria berpakaian rapi terlihat bercakap serius di dekat kedai teh.

Shantand sesekali melirik Silvana, tapi gadis itu tetap berjalan dengan anggun, seolah sudah terbiasa melewati hiruk-pikuk kota ini.

Namun begitu mereka berbelok melewati sebuah gerbang besar, suasana berubah drastis.

Jalanan ramai mulai berganti dengan jalan setapak yang lebih tenang, dipenuhi pepohonan rindang.

Dan kemudian… Shantand tertegun.

Di depannya berdiri sebuah rumah besar yang begitu indah dan megah.

Dindingnya tinggi, dengan ukiran kayu yang rumit di setiap sudut. Jendelanya besar dan elegan, dengan tirai lembut yang menjuntai anggun. Di halaman depan, sebuah taman luas tertata dengan sempurna, lengkap dengan kolam ikan kecil yang airnya memantulkan cahaya senja.

"Ini…" Shantand menelan ludah. “…rumahmu?”

Silvana menoleh, tersenyum tipis, seakan tidak menyadari kemewahan yang membuat Shantand terkesima.

"Ini rumahku… maksudku, rumah ayah dan ibuku," katanya dengan nada ringan, seolah ini bukan hal yang istimewa.

Sebelum Shantand bisa merespons, seorang wanita paruh baya dengan pakaian rapi berjalan menghampiri mereka. Pelayan rumah itu.

"Bu Ndaru," Silvana berkata dengan lembut. "Ini temanku, namanya Shantand. Kalau besok-besok dia mengantar pesanan tahu, tolong terima, ya."

Pelayan bernama Bu Ndaru itu langsung melihat Shantand dengan penuh perhatian.

Sejenak matanya menyipit, lalu ia mengangguk. "Nggih, siap, Neng."

Namun, sorot matanya mengandung rasa penasaran dan kekaguman.

“Kalau ada laki-laki seusianya yang berani diajak ke rumah ini… berarti dia pasti bukan orang sembarangan,” pikir Bu Ndaru.

Tapi sebelum Shantand sempat memproses apa yang terjadi, suara deheman terdengar dari arah pintu masuk.

"Ehem…"

Sebuah suara berat—tenang namun berwibawa—menghentikan langkah mereka.

Seorang pria jangkung dengan sorot mata tajam dan penuh wibawa berdiri di sana. Pakaian kelabunya mewah namun tetap sederhana, mencerminkan seseorang yang memiliki otoritas namun tak suka berlebihan.

"Ada tamu kenapa tidak diajak masuk rumah, anakku?"

Shantand langsung menegang.

Silvana menoleh, senyumnya hangat namun tetap terjaga. “Ayah… perkenalkan, ini Shantand. Dia yang memasok ikan asin di warung Bu Pinah.”

Shantand menunduk sopan, sementara sang ayah menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba menilai siapa sebenarnya pemuda di hadapannya.

 

Suasana yang semula hanya penuh debaran kecil di hati Shantand, kini berubah menjadi sesuatu yang lebih dahsyat.

"Maaf, Tuan Pangeran," ujar Bu Ndaru tiba-tiba, suaranya merendah.

Pelayan itu sedikit berjongkok, menundukkan kepala dengan penuh hormat, tak berani menatap langsung ke arah pria berwibawa itu.

Shantand yang masih berdiri langsung kaget.

Seolah petir menyambar di siang bolong, kepalanya seketika penuh pertanyaan.

"Pangeran?"

Jantungnya langsung berpacu lebih cepat dari sebelumnya.

Dengan kikuk, ia spontan mengikuti gerakan Bu Ndaru, menundukkan tubuhnya, meskipun gerakannya terasa canggung.

"Ah… eh… maaf, saya tidak tahu kalau ini adalah rumah pangeran…!" katanya gugup, suaranya agak bergetar.

Pangeran Ponggol, yang selama ini tak ia duga keberadaannya, kini berdiri tepat di hadapannya.

Sosok pria itu memang memancarkan aura berbeda.

🔹 Posturnya tegap, lebih tinggi dari kebanyakan pria seusianya.

🔹 Matanya tajam, seperti sedang menilai seseorang dalam sekali pandang.

🔹 Pakaiannya sederhana namun berkualitas tinggi, dengan jubah kelabu berbordir halus di bagian lengannya—sesuatu yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang berdarah biru.

Nama itu—Pangeran Ponggol—mulai terdengar asing di telinga Shantand, tetapi juga terasa akrab.

Kerajaan Pagersakti yang dipimpin oleh Raja Besar Wawung Laksono!

Sebuah kerajaan yang ia dengar sejak kecil, dikenal sebagai salah satu kerajaan yang masih kuat di zamannya. Dan kini, tanpa ia sadari, ia berdiri di depan seorang pangeran dari kerajaan itu!

Sementara Shantand masih mencoba mengendalikan kepanikannya, Silvana hanya tersenyum tipis, seolah ini bukan hal besar.

"Ayah, Shantand tidak tahu siapa dirimu sebelumnya," kata Silvana, suaranya tetap lembut dan tenang.

Pangeran Ponggol melirik putrinya sejenak, lalu kembali menatap Shantand.

Seakan menyelidiki sesuatu.

Satu alisnya terangkat sedikit.

Lalu, setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad bagi Shantand, Pangeran Ponggol akhirnya tersenyum kecil.

"Kau tidak perlu terlalu canggung, anak muda," katanya dengan suara berat yang tenang namun memiliki bobot.

"Jangan terlalu cepat menunduk hanya karena sebuah gelar. Nilai seseorang bukan dari sebutannya, tapi dari tindakannya."

Shantand mengangkat kepalanya perlahan, masih agak tegang.

Tapi, ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan sang pangeran.

Sorotnya… bukan sekadar menilai, tetapi seakan… mengenali sesuatu.

Seperti mencari sesuatu yang lebih dalam pada dirinya.

Dan itu membuat Shantand semakin penasaran—dan lebih gugup.

 

Shantand berusaha tetap tenang, tapi hatinya kacau.

Dia tahu harus segera berpamit.

> "Saya harus melanjutkan tugas saya yang lain," katanya.

Padahal, berat sekali rasanya pergi dari Silvana.

Sementara itu, di balik kaki Silvana, kucing Rafaela merasakan hal yang sama.

Ia menatap kepergian Shantand dengan gelisah.

Ada rasa kehilangan yang aneh, sama seperti dulu…

Tapi ini bukan waktunya untuk terbawa emosi.

Saat Shantand semakin menjauh, Pangeran Ponggol akhirnya berbicara.

"Dia pria sederhana yang menarik," katanya tenang.

"Tapi aku ingin menasihati anakku… Dia memiliki banyak musuh."

Silvana mengernyit bingung.

"Maksud Ayah?"

Pangeran Ponggol tersenyum tipis, lalu mengingatkan:

"Kamu ingat insiden di warung Bu Pinah sebulan lalu?"

Silvana mengangguk. Tentu saja ia ingat.

Pangeran Ponggol memandangnya serius.

"Dialah anak yang beruntung mendapatkan sobekan kitab Delapan Mata Angin…"

DEG!

Silvana terkejut, sekaligus kagum.

Itu kitab yang diburu oleh seluruh dunia persilatan!

Tapi kejutan belum selesai.

Pangeran Ponggol tersenyum lebih dalam.

"Dan kamu mungkin akan lebih terkejut lagi…"

Silvana menahan napas.

"Dia adalah adik seperguruan dari Paman Gondil."

‼️ APA?!

Silvana hampir tersedak napasnya sendiri.

"Gimana ceritanya?!"

Paman Gondil… si Harimau Besar!

Penguasa Hutan Cangcorang.

Tak ada satu pun hewan—bahkan singa sekalipun—yang berani bermain gila dengannya!

Dan…

Ternyata dia adalah kakak seperguruan dari Shantand yang lugu dan sederhana itu?

Silvana memandang ke arah Shantand yang telah jauh.

Tiba-tiba, sosoknya terasa berbeda.

💭 "Hmm… ini menarik."

Sementara itu, Pangeran Ponggol hanya tersenyum aneh.

"Yah… gurunya adalah pendekar nomor satu di zamannya…" katanya pelan.

"Dan wujudnya… terlalu agung untuk bisa kita lihat."

*****

1
Guchuko
Cerita yang menarik dan bikin geregetan. Semangat terus thor!
Fauzy Husain Bsb: ashiap.. thanks 😊
total 1 replies
L3xi♡
Jatuh cinta sama plot twistnya, bikin penasaran terus 🤯
Fauzy Husain Bsb: trima kasih kk/Grin//Smile/
total 1 replies
Fauzy Husain Bsb
ini adalah kisah konyol ttg reinkarnasi yg absurd, yok di coret 2 😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!