“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Syanas melangkah keluar kamar dengan langkah yang lebih mantap, mencoba mengabaikan berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya.
Ia tahu dirinya harus bertemu Sahnum seperti perintah Kahfi, walau hatinya masih enggan. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seorang perempuan paruh baya yang sedang merapikan pakaiannya. Seperti ingin berjalan keluar. Aminah. Ibu mertuanya.
“Nak Syanaaaas,” panggil Aminah dengan nada hangat, membuat Syanas terpaksa menghentikan langkah dan tersenyum kecil. Aminah mendekat perlahan, wajahnya penuh keibuan.
“Kalau masih capek, istirahat aja dulu. Nggak usah terlalu memaksakan diri,” ucap Aminah lembut.
Syanas yang tak biasa diperlakukan selembut ini, hanya bisa mengangguk pelan. “Tapi gus Kahfi bilang aku harus berkeliling dulu mengenal tempat ini Bu.”
Aminah tertawa kecil, suara itu seperti musik yang menenangkan telinga. “Kahfi hanya memerintahkan begitu kalau kamu sudah merasa sanggup. Kalau belum, istirahat aja dulu. Kamu baru aja mengalami banyak hal, pasti masih syok.”
Aminah meraih tangan Syanas, mengelus lembut. “Maaf ya anakku. Kahfi memang sedikit keras. Tapi percayalah, dia selalu punya niat baik. Itu caranya melindungi orang-orang yang ia sayangi.”
Syanas terdiam. Kata-kata itu terasa asing tapi hangat di hatinya. Tidak seperti ibunya, Aminah berbicara tanpa tekanan, tanpa tuntutan. Kata-katanya penuh ketulusan, seolah benar-benar peduli pada perasaan Syanas.
“Aku yang seharusnya minta maaf Bu. Tadi pagi aku terlalu heboh. Aku benar-benar nggak siap dengan semua ini, pernikahan mendadak, transaksi yang ibuku buat dengan gus Kahfi.”
Aminah tersenyum, kali ini lebih lebar. Ia mengelus bahu Syanas, memberikan rasa nyaman yang hampir tidak pernah Syanas rasakan dari ibunya sendiri.
“Nggak apa-apa nak. Wajar kalau kamu merasa syok. Hidup memang nggak selalu berjalan kayak yang kita harapkan. Tapi ingat, semua yang terjadi pasti ada maksudnya. Terkadang yang kita anggap cobaan, justru bisa membawa berkah jika kita menjalaninya dengan sabar.”
Syanas menatap Aminah dengan perasaan campur aduk memenuhi hatinya. Kata-kata Aminah terasa seperti beban berat yang dihias dengan indah. Berat untuk diterima, tapi mustahil diabaikan.
“Perlahan aja anakku,” lanjut Aminah dengan suara lembutnya. “Nggak ada yang menuntut kamu untuk berubah secepat itu. Yang penting, niatkan semuanya karena Allah. Kalau kamu butuh bantuan, kami semua di sini siap mendukungmu.”
Syanas hanya bisa mengangguk lagi, merasa seperti terperangkap dalam perasaan hangat dan dingin sekaligus. “Iya Bu,” ucapnya pelan, meskipun hatinya masih penuh keraguan.
Aminah tersenyum, merapikan sedikit hijab Syanas sebelum melangkah pergi. “Kalau ada apa-apa, langsung bilang ya nak. Jangan dipendam sendiri. Ibu ada urusan di luar. Ibu duluan.”
Syanas hanya mengangguk dengan ia terus menatap punggung Aminah yang menjauh. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti memiliki sosok ibu yang benar-benar peduli. Namun di balik semua itu, hatinya tetap bergemuruh, mengingat betapa rumit situasi ini.
Sahnum keluar dari kamar dengan langkah santai. Perempuan itu tampak segar dalam balutan hijab sederhana yang membuat auranya terlihat anggun. Pandangannya langsung tertuju pada Syanas yang sedang berdiri agak ragu di depan tangga.
“Mbak Syanas! Yuk, aku temenin keliling,” ucap Sahnum dengan nada ceria, seolah-olah ini adalah rutinitas yang selalu ia nantikan.
Syanas mengangguk dengan senyum tipis. Meskipun ada rasa terpaksa di hatinya, ia tahu ini adalah bagian dari rencana untuk memahami tempat ini dan orang-orang di sekitarnya.
Dengan langkah ringan, Sahnum berjalan lebih dulu, sementara Syanas mengikutinya. Meski hati Syanas masih penuh pertanyaan tentang bagaimana ia bisa bertahan di lingkungan ini, ia memutuskan untuk menjalani apa yang ada di depan matanya untuk saat ini.
Area pesantren yang mereka lalui tampak asri dan tertata rapi. Para santri berlalu-lalang dengan aktivitas masing-masing.
Suara tawa kecil terdengar dari arah taman, sementara di sudut lain beberapa santri terlihat serius mendiskusikan sesuatu.
Sahnum menunjuk ke sebuah aula besar di sisi kanan. “Itu aula utama. Biasanya ada pengajian atau kajian rutin setiap malam Jumat. Mbak bisa ikut kalau mau.”
Syanas hanya tersenyum saja.
Di sisi lain, Sahnum terus memberikan penjelasan dengan penuh semangat. “Di sebelah sana ada asrama santriwati. Mereka ramah-ramah mbak. Kalau mbak mau ngobrol atau cari teman, coba aja ke sana.”
Syanas mengangguk sambil menyimpan informasi itu di pikirannya. Sahnum punya cara bicara yang membuat suasana terasa nyaman, meskipun Syanas masih merasa asing dengan lingkungan ini.
Sahnum berhenti sejenak di depan taman kecil yang dikelilingi bunga warna-warni. Ia menoleh pada Syanas. “Aku tau mungkin mbak masih canggung. Tapi aku yakin, kalau mbak terbiasa, tempat ini bakal terasa kayak rumah.”
Syanas menatap Sahnum sejenak. Ada kehangatan dalam kata-katanya, sesuatu yang mengingatkan Syanas pada kehangatan seorang saudara. “Gue benar-benar menghargai bantuan lo.”
Sahnum tersenyum lebar. “Yuk, aku tunjukin lagi tempat lain. Kita belum ke lapangan olahraga.”
Syanas mengikuti langkah Sahnum tanpa banyak bicara, kali ini dengan hati yang sedikit lebih tenang. Mungkin, menjalani hari di lingkungan ini tidak akan seburuk yang ia bayangkan.
Atau setidaknya, ia akan mencoba bertahan hingga rencana yang lebih besar bisa ia susun dengan matang.
Seorang santriwati muda dengan jilbab merah muda menghentikan langkahnya saat melihat mereka. Matanya berbinar penasaran. Ia melambaikan tangan pada Sahnum, lalu mendekat.
“Selamat pagi ustazah! Lagi keliling ya?” sapanya ceria, sebelum pandangannya beralih pada Syanas. “Ini siapa ustadzah?"
Sahnum tersenyum lebar, lalu memperkenalkan Syanas dengan santai. “Oh, ini mbak Syanas, istri gus Kahfi.”
Santriwati itu terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Sahnum. Senyum di wajahnya perlahan berubah kikuk. “Istri gus Kahfi?” ulangnya, setengah tidak percaya.
Syanas hanya tersenyum kecil, merasa tidak perlu memberikan komentar. Namun, ia menyadari ada perubahan ekspresi pada wajah gadis itu, campuran antara kaget dan kecewa.
“Iya, mbak Syanas ini baru semalam ke sini. Sekarang ini ustazah mau memperkenalkan lingkungan pesantren sama dia,” lanjut Sahnum dengan nada riang.
Santriwati itu mengangguk dengan senyum yang dipaksakan, lalu pamit dengan cepat. Namun, sebelum pergi, ia sempat menoleh lagi, seolah ingin memastikan bahwa yang ia dengar memang benar.
Belum jauh mereka berjalan, seorang pria muda yang sedang menyapu halaman masjid melambaikan tangan ke arah Sahnum. “Ustazah! Mau ke mana pagi-pagi?” tanyanya.
Sahnum menghentikan langkah, memberikan sapaan hangat. “Mau keliling ustadz. Memperkenalkan lingkungan ini pada mbak Syanas, istrinya gus Kahfi.”
Pria itu menghentikan sapuannya, matanya melebar. “Oh, istri gus Kahfi?”
“Iya,” jawab Sahnum santai.
Taufik tersenyum kaku, lalu menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Selamat datang mbak Syanas,” ucapnya. Namun, ada nada canggung dalam suaranya.
Syanas hanya tersenyum saja. Ia mulai merasa aneh dengan reaksi orang-orang di sini.
Sahnum melanjutkan langkahnya, mengajak Syanas menuju lapangan kecil di belakang pesantren.
Namun, lagi-lagi mereka dihentikan oleh dua santriwati yang terlihat sedang menyiram tanaman. Salah satu dari mereka menyipitkan mata, lalu berseru, “Ustazah jalan-jalan sama siapa ini?”
Sahnum menghentikan langkah, menoleh, dan tersenyum ramah. “Ini mbak Syanas, istri gus Kahfi.”
Reaksi kedua gadis itu hampir sama, terdiam sejenak, kemudian saling bertukar pandang. Salah satu dari mereka memberanikan diri bertanya, “Jadi gus Kahfi sudah menikah ya Ustazah?”
“Iya sudah,” jawab Sahnum santai, seperti menganggap itu hal biasa.
Mereka hanya tersenyum kecil, meski jelas ada kekecewaan di wajah mereka. Salah satu dari mereka bahkan berbisik pelan kepada temannya, tapi cukup terdengar oleh Syanas, “Ya ampun, patah hati nasional nih.”
Syanas menahan tawa kecil di dalam hati, meskipun ia sebenarnya merasa sedikit bingung dengan reaksi semua orang.
Setelah beberapa saat, Sahnum kembali melanjutkan perjalanan. “Jangan kaget ya mbak. Kak Kahfi itu memang banyak penggemarnya di sini.”
“Penggemar?” ulang Syanas dengan alis terangkat.
Sahnum tersenyum. “Iya. Banyak santriwati dan bahkan santri yang kagum sama beliau. Jadi ya, mungkin mereka kaget saat tau kak Kahfi sudah menikah.”
Syanas hanya mendengus pelan, tidak tahu harus merasa bangga atau justru semakin tertekan. Namun, satu hal yang jelas, Kahfi memang bukan orang biasa di tempat ini.
“Tenang aja mbak,” lanjut Sahnum dengan nada menenangkan. “Lama-lama mereka bakal terbiasa. Mbak tinggal jadi diri sendiri aja.”
Syanas mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa tugas untuk menjadi diri sendiri di tempat ini tidak semudah itu. Tapi, demi menjaga kesan baik di depan Sahnum dan seluruh pesantren, ia memutuskan untuk bermain peran lebih baik lagi.
“Sekarang, yuk kita ke dapur umum. Biasanya banyak yang lagi masak pagi-pagi begini. Mereka pasti senang kenalan sama Mbak,” ajak Sahnum lagi.
Syanas hanya bisa mengangguk dan mengikuti, mencoba menguatkan diri untuk menghadapi lebih banyak pertanyaan dan senyuman penuh arti dari orang-orang di pesantren ini.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..