"Berawal dari DM Instagram, lalu berujung sakit hati."
Khansa Aria Medina tidak pernah menyangka DM yang ia kirimkan untuk Alister Edward Ardonio berujung pada permasalahan yang rumit. Dengan munculnya pihak ketiga, Acha-panggilan Khansa-menyadari kenyataan bahwa ia bukanlah siapa-siapa bagi Al.
Acha hanyalah orang asing yang kebetulan berkenalan secara virtual.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belum Move On
Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi Bagas selain bermain basket. Meski jam istirahat sudah usai, dirinya, Al, dan teman-temannya yang lain masih berada di lapangan dengan bola basket di genggamannya. Mereka masih bermain basket karena jam pelajaran Bahasa Inggris ditiadakan. Beruntung guru mata pelajaran tersebut sedang dalam urusan sehingga hanya menitipkan tugas. Tentunya Bagas dan gerombolannya tidak mengerjakan tugas itu dan lebih memilih menghabiskan waktu di lapangan.
"Istirahat dulu Weh!" Bagas memberi instruksi. Ia berjalan mendekati Al yang sudah lebih dulu duduk di tribun. Ia mengambil botol minumnya lalu meneguk hingga tersisa setengah. "Gue kemarin lihat, lo follow Acha lagi. Lo tertarik sama dia, kan?" Bagas menatap Al dengan pandangan menggoda.
"Lo suka sama dia segitunya? Sampai tahu gue nge-follow dia lagi."
Bagas mengubah posisi duduknya menjadi tidur. Ia merebahkan dirinya di atas tribun dengan kaki yang ia letakkan di atas paha Al. Tentu saja Al langsung menepisnya kuat-kuat. "Nggak juga, ah! Dia slow respon banget, anjir."
Al tidak merespons apa-apa. Matanya memperhatikan beberapa temannya yang sedang bermain basket lagi. Topik yang dibahas Bagas membuatnya kehilangan selera untuk berbicara.
"Jadi, gimana? Lo akhirnya suka, nih?" tanya Bagas sambil terkekeh. Bagas tidak begitu sakit hati. Karena dari awal, ia tahu bahwa Acha tertarik pada sahabatnya. "Gas deketin, mumpung dianya juga suka. Dia nanyain lo mulu waktu kita ketemu."
"Mata lo," sentak Al. Ia heran dengan sifat Bagas dan Marlina yang hampir sama—yaitu suka menyimpulkan sendiri. "Dia cuman minta follback, ya gue follback. Toh, dia udah beli kue Nyokap gue."
Bagas mengangguk pelan. Kemudian, ia tampak berpikir lalu bertanya, "Lo tahu kan, kelakuan lo bisa bikin dia makin berharap? Gue yakin seratus persen, dia jingkrak-jingkrak waktu lo follback dia."
Al mengangkat bahunya tak acuh. Lalu, ia berdiri dan bersiap untuk bermain basket lagi. "Nggak peduli tuh. Dia yang punya perasaan, berarti dia yang harus bertanggung jawab dengan perasaan dia sendiri."
Bagas ikut beranjak dari tribun. Ia menyusul Al dan lainnya yang sudah berdiri di lapangan. Enam orang laki-laki itu berdiri sesuai dengan tim dan posisinya. Mereka kembali bermain basket.
Saat bola basket berada di tangan Al, otak Bagas tiba-tiba memikirkan sesuatu untuk memecah konsentrasi Al. Mereka berada di tim yang berbeda dan Al termasuk pemain yang susah ditaklukkan. Bagas langsung mendekati Al.
"Eh, Al. Gue boleh pinjem hape lo buat nge-chat Acha, nggak?"
Kalimat itu terdengar jelas di telinga Al. Al langsung memelototi Bagas. Tetapi karena matanya fokus pada Bagas, salah satu tim Bagas merebut bola dari tangannya. Al ingin merebutnya kembali, tetapi Fajar dengan gesit memasukkan bola ke dalam ring. Dan tim Bagas mencetak dua poin.
"Shit!" rutuk Al. Langsung saja, ia mendekati Bagas dan menarik kerah laki-laki itu dengan pelan. "Lo cari gara-gara, ya?"
"Fokus, Al!" teriak Fajar diikuti tawa teman-teman yang lain.
Bagas ikut tertawa, kemudian melepaskan tangan Al dari kerahnya. "Siapa suruh gampang gagal fokus?"
"Pokoknya nggak! Gue nggak mau minjemin hape gue lagi ke elo!" sentak Al. "Kalau ketahuan buka hape gue tanpa izin, gue gampar lo."
Bagas tertawa kencang. Sangat seru menggoda temannya yang satu ini. Ekspresi datar dan marahnya menjadi hiburan baginya.
***
Hari ini seharusnya bukan jadwal tim Cheers latihan. Tetapi mereka harus menambah jadwal latihan karena dalam beberapa minggu, mereka harus tampil di sebuah acara yang menampilkan penampilan seluruh tim Cheers dari berbagai sekolah di Jakarta. Bukan sebuah acara main-main karena gubernur mereka juga ikut menyaksikannya. Inilah yang menjadi alasan Acha dan teman-temannya berlatih di lapangan. Tidak peduli seberapa panas udara saat ini.
Latihan kali ini sedikit kesusahan karena ketua tim mereka—Angel—sedang berhalangan hadir. Sehingga Acha yang merupakan center harus sekaligus merangkap sebagai ketua. Ia benar-benar tegas dalam melatih teman-temannya. Tak boleh ada satu pun kesalahan kecil.
"Lo geser lagi! Jangan halangin temen yang di belakang!" Begitulah Acha menginstruksi teman-temannya. Agak sedikit melelahkan tetapi menyenangkan baginya.
Setelah dianggap cukup, Acha langsung membubarkan latihan. Lagi pula matahari hampir tenggelam dan mereka sudah latihan berjam-jam. Seketika, para anggota Cheers berjalan keluar dari lapangan. Sebagian memilih berganti baju lalu pulang, sebagian lainnya duduk di tribun sambil mengipasi tubuhnya yang kepanasan. Mereka yang duduk di tribun membentuk lingkaran sembari mengobrol—termasuk Acha.
"Aya, lo dari dulu kerjaannya menyendiri mulu," celetuk Laras saat melihat Aya duduk di pojok tribun. Kemudian, ia menggeser tubuhnya agar memberikan tempat kosong untuk Aya. "Sini, napa?"
Dengan ragu-ragu, Aya berdiri kemudian berpindah tempat ke samping Laras. Ia melayangkan senyum canggung pada empat perempuan di dekatnya.
"Lo giliran sama circle lo aja rame," ucap Dina yang kebetulan satu kelas dengannya.
"Abisnya, gue bingung gimana nimbrungnya." Aya terkekeh.
"Ya elah, kalau sama kita mah santuy aja, tinggal nimbrung." Acha menepuk-nepuk bahu Aya—berusaha terlihat akrab. "Kita juga satu angkatan."
Lalu, Mila yang dari tadi hanya diam langsung menunjukkan ponsel yang menampilkan sebuah foto. Terlihat Mila yang dirangkul erat oleh seorang laki-laki seumurannya dengan perawakan yang cukup tinggi. Mila memasang ekspresi cengar-cengir saat menunjukkannya. "Gue kemarin ketemu lagi sama doi. Seneng banget, ya Allah! Ketemunya jarang, tapi sekalinya ketemu, seru abis."
"Wih, akhirnya lo ketemu lagi," ucap Dina sedikit lega. Ia jadi teringat curhatan Mila seminggu lalu mengenai pacarnya yang jarang memberi kabar. "Habisnya beda sekolah, sih."
"Ngomong-ngomong soal beda sekolah, gue lagi punya gebetan juga." Kini, giliran Acha yang bercerita. Ia menyengir lebar karena teringat kejadian kemarin. Akhirnya, ia berhasil mendapat follback dari Al. "Cakep sumpah, tapi ya gitu ... cuek banget."
Laras menatap Acha dengan heran. "Ada cowok yang nyuekin Acha?!" Laras bukan heran karena Acha memiliki gebetan baru, tetapi justru heran karena laki-laki itu cuek pada temannya yang paling cantik satu angkatan.
Acha hanya mengangkat bahunya. Ia sendiri juga bingung mengapa Al terlihat sangat cuek padanya. Tetapi sifat cuek Al membuat Acha semakin terus ingin mengejar. "Anak Citra Harapan. Nggak begitu jauh dari sekolah kita, kan?"
"Anjir, spill dong! Mau tahu secakep apa?" pinta Dina menggebu-gebu. Ia yang paling suka mendengarkan kisah percintaan teman-temannya.
"Entar kalau udah jadian, baru gue spill, deh." Acha tertawa sembari menunjukkan aura misterius. "Doain jadian ya, Guys. Belum pernah pacaran, nih." Ia memasang ekspresi melas.
Dina menepuk-nepuk bahu Acha. "Bakal gue doain, dah!"
"Gue punya kenalan di Citra Harapan. Mungkin lo bisa minta bantuan temen gue buat deket sama gebetan lo," sahut Aya.
Laras bersemangat. "Nah, ide bagus tuh! Gas-in, Cha!"
Acha langsung teringat Bagas. Laki-laki itulah yang memberikan Acha informasi tentang Al—termasuk perihal Al yang belum move on. Ah, mengingatnya membuat ia kesal. "Tapi, bukannya lebih baik gue usaha sendiri?"
"Itu juga baik. Tapi, kalau beda sekolah, kan bagus kalau ada orang dalem, biar ngorek informasinya lebih gampang," jawab Aya. "Balik lagi ke elo sih, mau apa nggak."
"Nih, gue sebagai orang yang berpengalaman pacaran sama cowok yang beda sekolah mau kasih saran." Mila menepuk dadanya dengan bangga. "Mending perluas pergaulan lo di sekolah dia juga. Entar kalau ada info, kan gampang dapetinnya. Tapi, lo tetep harus jaga privasi dia alias nggak boleh terlalu nyari-nyari informasi. Berlebihan itu nggak baik, Bosque!"
"Setuju, apalagi beda sekolah, terus jarang ketemu. Entar kalau dia selingkuh ... ih, gimana dong?" Dina bergidik.
Acha mengangguk-angguk dengan pelan. Kemudian, ia memberikan jempol tangannya. "Okelah, entar gue pikirin lagi."
***
Hari-hari mulai berlalu. Marlina kembali membuka pre-order kue kering sehingga saat ini, ia sedang disibukkan membungkus kue-kue ke dalam stoples. Mumpung Al juga sedang senggang, ia memilih untuk membantu ibunya. Jadilah mereka berdua duduk di ruang tamu. Marlina membungkus stoples dengan isolasi, sementara Al memasukkan stoples ke dalam kantong plastik yang sudah diberi nama pembeli.
"Bunda pengen bikin kue bareng Acha." Tiba-tiba saja Marlina memecah keheningan dengan topik yang sangat Al hindari.
Al menghela napas. "Bunda kok bahas dia lagi?" Rasanya telinganya pegal mendengar nama yang sering diucapkan Marlina dan Bagas.
Marlina tersenyum. Tangannya tetap sibuk menempelkan isolasi pada stoples-stoples. "Ya, nggak apa-apa. Acha anaknya seru banget, ceria juga. Kalau chat sama Bunda nggak pernah kehabisan topik. Tapi, dia lagi sibuk belakangan ini. Jadi, masih nggak tahu deh, kapan buatnya."
"Bagus deh," gumam Al yang langsung diberi sinisan Marlina.
Al bukan benci atau tidak suka pada Acha. Gadis itu tidak pernah membuatnya marah. Hanya saja, Al sedikit risi sekaligus heran. Ia risi karena Acha berusaha untuk mendekatinya. Dan, ia heran mengapa dua manusia terdekatnya seperti terobsesi membahas gadis berumur tujuh belas tahun itu. Memang, apa spesialnya Acha? Apakah hanya karena kecantikannya sehingga Bagas dan Marlina sangat suka? Jujur, Al akui Acha memang cantik. Tetapi bukan berarti dapat membuatnya menyukainya.
"Oh, iya, Bunda baru inget. Bagas pernah cerita kalau ada yang suka kamu, ya? Itu Acha, bukan?" tanya Marlina.
Mau tak mau, Al menjawab dengan malas. "Iya deh, kayaknya. Al juga nggak tahu."
"Gimana sih, kok nggak tahu? Anak Bunda nggak peka amat," ledek Marlina sambil terkekeh geli. Rupanya, insting seorang ibu memang selalu benar. Marlina memang sudah menduga Acha menyukai Al. Bukan karena pertemuan mereka, tetapi karena Acha yang sangat antusias membahas Al dichat mereka. Selain itu, Marlina mengorek informasi tentang Acha dengan Al melalui Bagas. Ia bukan bermaksud terlalu kepo. Hanya saja, ia harus memastikan putranya tidak begitu terganggu dengan kehadiran Acha. "Bunda kasih restu kalau kamu—"
"Nggak, Bun!" Dengan cepat, Al memotong. "Acha sama Al cuman sebatas kenal di medsos aja. Sama sekali nggak se-akrab yang Bunda pikirkan."
"Emang Bunda pikirnya, kalian se-akrab apa?" Marlina terus-terusan menggoda putranya. Karena ia sudah membungkus stoples terakhir, Marlina langsung mengubah posisinya dengan menghadap ke arah Al. "Kamu kira, Bunda mikirnya kalian pacaran gitu?" Marlina mengulum senyum.
Al semakin kesal dibuatnya. Lantas, ia menyelesaikan stoples terakhir itu. "Al mau masuk kamar. Bunda jangan begadang. Kalau masih butuh bantuan, panggil Al aja." Al berdiri kemudian meninggalkan Marlina.
"Tunggu," ucap Marlina berhasil menghentikan langkah kaki Al. "Acha nggak apa-apa datang ke rumah? Kamu risih, nggak?"
"Terserah, asal datengnya waktu Al nggak ada di rumah," balas Al.
Dalam hati, Marlina mentertawakan tingkah anaknya. Ia ingin sekali tertawa keras tetapi ia tahan karena Al masih ada di sekitarnya. Ia tidak mau anaknya merasa terintimidasi sekaligus terledek.
Soal restu tadi, Marlina mengucapkannya setengah serius dan setengah bercanda. Tentu saja tidak mungkin seratus persen yakin. Marlina memang menyukai kepribadian Acha, tetapi belum tentu ia merestui Acha dengan Al. Apalagi mereka belum akrab—seperti yang dibilang putranya.
Marlina membuka ponselnya lalu melihat deretan pesan yang ia kirim pada Bagas beberapa waktu lalu.
[Marlina]
[Bagas.]
[Bagas]
[Ya, Bunda.]
[Cewek yang suka Al itu Acha, bukan?]
[Eh, kamu kenal Acha nggak ya?]
[Bagas]
[Lah iya, Bunda kok kenal Acha?]
[Marlina]
[Nanti kalau luang, Bunda cerita ya.]
***
Tangan Acha mengambil cairan putih di dalam sebuah botol. Cairan itu ia gosokkan ke kulitnya yang tidak ada satu pun jerawat. Selanjutnya, ia mengambil sebuah bungkus berisi sheet mask. Acha memasang lembaran yang basah itu ke wajahnya. Begitulah yang ia lakukan setiap malam. Merawat wajah menjadi hal yang wajib Acha lakukan. Kalau bukan dirinya, siapa lagi yang akan merawat tubuhnya?
Setelah dirasa masker itu menempel dengan sempurna, barulah Acha keluar dari kamar mandi lalu merebahkan dirinya di atas kasur. Acha menyandarkan kepalanya di bantal yang ia tata di sandaran kasur. Awalnya, ia memejamkan mata, tetapi bunyi notifikasi membuat dirinya langsung menatap ke arah ponsel yang terletak di dekat kaki. Dengan malas, ia mengambil kemudian membukanya.
[sorayaaa_]
[Gue mau ke Citra Harapan hari Kamis besok.]
[Lo mau ikut nggak?]
Acha mendapat DM dari Aya. Ia menatap layar ponselnya dengan cukup lama. Setelah berpikir, ia mengetikkan balasan.
[khansa.achaa]
[Boleh nih?]
[sorayaaa_]
[Boleh dong, entar berangkat barengan aja.]
[khansa.achaa]
[Naik mobil gue aja.]
Acha menawarkan Aya sebuah tumpangan. Ia ingat, Aya biasanya menggunakan angkutan umum atau ojek online. Daripada membuang uang untuk membayar jasa tersebut, lebih baik ia tawarkan mobilnya saja.
[sorayaaa_]
[Oke, terus gebetan lo siapa? Takutnya temen gue nggak kenal.]
[khansa.achaa]
[Entar aja gue kasih tahu.]
[Jadi, Kamis pulang sekolah ya?]
[sorayaaa_]
[Yoi.]
Setelah membaca pesan terakhir itu, Acha menaruh ponselnya di atas nakas. Ia merebahkan diri dengan masker yang masih menempel di kulit wajahnya. Rasanya akhir-akhir ini, hidupnya tampak tenang. Kemampuan Cheers-nya semakin meningkat hingga proses pedekatenya berjalan lancar. Memang awalnya sedikit tidak lancar—seperti Al meng-unfollow Instagram-nya dan tidak menyapanya ketika bertemu—tetapi akhirnya, kembali berjalan lancar. Bahkan ia sudah sempat melihat wajah Al di dunia nyata. Hubungannya dengan Marlina pun semakin dekat, jika dilihat dari pesan yang mereka kirimkan hampir setiap hari.
"Rada nyesel sih, nggak nyapa dia waktu itu. Tapi, kalau gue sapa terus dicuekin, malah lebih nyesel," gumam Acha sendiri. Ia kembali memosisikan tubuhnya seperti semula. Acha membayangkan ketika dirinya bertemu Al untuk kedua kalinya di sekolah. Entah apa yang akan mereka lakukan. Saling menyapa? Mengobrol? Sekilas tidak mungkin terjadi, tetapi siapa tahu Al akan meluluhkan hatinya? Tiba-tiba....
"Bentar, kalau Al tahu gue di sekolahnya, bukannya gue bakal dikatain stalker?" Acha langsung melotot memikirkannya. Ia langsung memikirkan alasan apa yang cocok digunakan apabila Al bertanya bagaimana Acha bisa berada di sekolahnya. "Bilang aja mau ketemu Bagas kali, ya? Eh, jangan, chat dia aja gue bales singkat. Masa bilang kebetulan?"
Kebetulan memang bisa menjadi alasan yang paling baik. Tetapi pertanyaannya, apakah Al percaya dengan alasan itu? Acha yakin sekali, Al tidak akan percaya dan situasi akan berakhir buruk. Setelah apa yang Acha lakukan selama ini, sudah terlihat sangat jelas bila Acha menyukai Al. Jika Al mengetahui dirinya berada di SMA Citra Harapan, mungkin Al berpikir bahwa Acha sangat agresif.
"Yah, gue emang rasa agresif. Tapi, gue nggak rela dikatain begitu kali!" ketus Acha. Tetapi bukan Acha namanya kalau menyerah begitu saja, ia pun memutar otak. Lalu, dalam dua menit, ia mendapat ide yang sedikit cemerlang. "Ya udah, bilang aja kalau gue nganter Aya buat ketemu sama temennya. Logis alasannya, kan?"
Karena tidak mau berpikir lebih keras lagi, ia segera menuntaskan kegiatan skincare-nya lalu kembali tidur.