Masih berstatus perawan di usia yang tak lagi muda ternyata tidak mudah bagi seorang gadis bernama Inayah. Dia lahir di sebuah kota kecil yang memiliki julukan Kota Intan, namun kini lebih dikenal dengan Kota Dodol, Garut.
Tidak semanis dodol, kehidupan yang dijalani Inayah justru kebalikannya. Gadis yang lahir tiga puluh tahun yang lalu itu terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tidak tahan dengan gunjingan tetangga bahkan keluarga yang mencap dirinya sebagai perawan tua. Dua adiknya yang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan bahkan sudah memiliki kekasih padahal mereka masih kuliah dan bersekolah, berbeda jauh dengan Inayah yang sampai di usia kepala tiga belum pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan dicintai, jangankan untuk menikah, kekasih pun tiada pasca peristiwa pahit yang dialaminya.
Bagaimana perjuangan Inayah di tempat baru? Akankah dia menemukan kedamaian? Dan akankah jodohnya segera datang?
Luangkan waktu untuk membaca kisah Inayah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Inayah
"Assalamu'alaikum." hari ini Inayah pulang ke rumah paling awal dibanding kedua adiknya.
Didapatinya rumah masih gelap padahal sebentar lagi Maghrib. Biasanya Ibu sudah ada di rumah dan sudah menyalakan semua lampu di rumah sederhana mereka.
Inayah memasuki rumahnya, pintu depan sudah tidak dikunci itu artinya ibunya sudah pulang. Saat di jalan, Inayah sempat menanyakan keberadaan kedua adiknya dan keduanya kompak menjawab jika mereka masih berada di luar dan belum pulang.
"Bu ..." tak ada sahutan, Inayah mencari keberadaan sang ibu ke ruang tengah lalu dapur namun tak kunjung didapatinya. Sampai sayup-sayup Inayah mendengar isak tangis dari suara yang familiar untuknya dari arah kamar yang khusus di jadikan mushala di rumah mereka.
Tanpa menyalakan lampu, Inayah berjalan ke arah mushala rumah mereka yang tidak jauh dari kamar sang ibu.
Hati Inayah mencelos saat didapatinya sang ibu tengah bersimpuh di atas sajadah dengan bahu yang berguncang.
"Ibu ..."
"Hah ..." Ibu terperanjat, saking larutnya dalam do'a dan tangis Ibu Ani sampai tidak menyadari kedatangan putri sulungnya.
"Teteh ...teteh sudah pulang." Ibu buru-buru mengusap wajahnya yang basah, sungguh dia tidak ingin terlihat rapuh di hadapan putrinya. Ibu pun sangat tahu jika dalam hal ini Inayahlah yang paling terluka.
Luka yang ditorehkan oleh mantan calon menantunya sangat dalam, ibu tidak ingin menambah rasa bersalah di hati anaknya jika melihat dirinya bersedih.
"Maafkan Inay Bu ..." Inayah tak mampu lagi menahan tangisnya, dia tahu apa yang tengah ditangisi ibunya.
"Teteh ...maafkan ibu."
"Aku yang harus ibu maafkan, karena semua yang terjadi padaku Ibu, Indira dan juga Irfan jadi turut menanggungnya. Maafkan aku, Bu."
Ibu Ani tak lagi mampu menyembunyikan tangisnya, rasanya sesak sekali dalam dadanya mendengar permohonan maaf dari putri sulungnya. Putrinya yang terluka.
Di penghujung senja, kedua wanita beda generasi itu menangis bersama dan saling memeluk. Keduanya seolah saling menguatkan lewat pelukan itu. Berharap setelah tangisan itu usai kelegaan mereka dapat rasakan.
Tidak hanya Ibu Ani yang selalu mendengar gunjingan tentang putri sulungnya, tapi Inayah juga sering mendengar saat orang-orang menggunjingkannya.
"Assalamu'alaikum." suara Indira terdengar oleh keduanya.
Perlahan Inayah melerai pelukannya dari sang ibu, diusapnya wajah sang ibu yang basah padahal air matanya saja masih terus mengalir membasahi pipinya.
"Wa'alaikumsalam. Dira sudah pulang? Ibu sama teteh di Mushala." teriak Inayah agak keras agar sang adik tidak mencarinya.
Malam pun dilalui Inayah seperti biasanya, sepi dan tanpa kantuk. Padahal seharian ini pekerjaannya cukup melelahkan. Inayah berharap saat pulang ke rumah rasa lelah akan membuatnya tertidur dengan nyenyak, tapi ternyata tidak. Setiap malamnya dia akan terjaga seperti biasanya.
Ting ...
Tepat di jam sebelas malam terdengar notifikasi pesan masuk di ponsel Inayah. Dari layar ponselnya Inayah bisa melihat jika pesan yang masuk daei nomor kontak baru yang tidak terdaftar di ponselnya.
Ting ...
Awalnya Inayah mengabaikan, namun notifikasi pesan masuk kembali terdengar dan ternyata masih dari nomor ponsel yang sama.
'Assalamu'alaikum Inayah, ini Aa. Aa ada di luar rumahmu, bisakah kita bertemu sebentar saja. Aa rindu.'
'Sebentar saja Nay, Aa ingin bertemu.'
Deg ...
Jantung Inayah rasanya mau copot saja, setiap kata yang dia baca seketika membuat pikirannya menyimpulkan jika Farhan adalah pengirimnya.
Inayah mengerutkan keningnya, apa maksud laki-laki itu mengiriminya pesan seperti ini.
'Aa tahu Aa salah dengan meninggalkanmu di hari pernikahan kita, tapi percayalah Nay, cinta Aa hanya untuk Inayah seorang.'
Sebuah pesan kembali masuk dari nomor itu. Membaca pesan yang ketiga seketika Inayah merasa mual, rasanya ingin memuntahkan isi perutnya membaca pernyataan cinta laki-laki pengkhianat itu.
Tanpa pikir panjang, Inayah langsung menghapus semua pesan itu dan memblokir nomornya tanpa membalas, dia tidak mau lagi terlibat hal apapun dengan Farhan atau pun keluarganya. Bagi Inayah saat ini Farhan sudah menjadi serpihan masa lalu yang harus dia kubur di ruang penglupaan dan tidak pernah lagi dibuka bahkan diingatnya.
"Dasar orang gila!" maki Inayah, menerima pesan-pesan dari nomor tidak dikenal yang diyakininya adalah nomor Farhan bukannya tersentuh, justru membuatnya tidak tahan untuk memaki orang itu.
Fokus Inayah saat ini adalah bagaimana membuat keluarganya kembali bahagia, tidak terlalu lama terpengaruh dengan kejadian yang menimpanya dan tidak membuat mereka sedih berkepanjangan.
Pagi menyapa, setelah bergelut dengan carut marut pikirannya Inayah yang tertidur di atas sajadah setelah bermunajat di sepertiga malam terakhir kembali terbangun saat mendengar kumandang adzan subuh dari mesjid yang tidak jauh dari rumahnya.
Ting pesan masuk dari seseorang yang sangat dikenalnya membuat Inayah menyunggingkan senyum. Dia pun mendial nomor yang mengiriminya pesan itu memutuskan untuk meneleponnya.
"Assalamu'alaikum"
"Inayyyyyyy...." pekik seseorang di seberang telepon membuat Inayah menjauhkan ponsel yang menempel di telinganya.
"Rina apa kabar?"
"Aku baik Inay, justru aku yang mencemaskanmu? Maaf aku baru bisa menghubungimu. Kamu baik-baik saja kan? Aku dengar pernikahan kamu ..."
"Iya Rina, aku dan dia ternyata tidak berjodoh." sendu suara Inayah terdengar jelas oleh sahabatnya dia pun menurunkan intonasi suaranya tidak seantusias tadi.
"Aku turut menyesalkan Nay, harusnya Farhan tidak melakukan itu sama kamu, kamu itu terlalu baik, terlalu berharga untuk disia-siakan."
Rina adalah sahabat Inayah di kampung, mereka bersahabat sejak SD sampai SMP, saat Inayah memutuskan untuk kuliah karena mendapat beasiswa. Rina lebih memilih ikut bibinya bekerja di Jakarta sebagai penjaga toko dan sampai saat ini sahabatnya itu masih bekerja di toko yang sama bahkan kini sudah menjadi supervisor karena prestasi kerjanya sangat baik.
Meskipun mereka berpisah tapi komunikasi keduanya terjaga hingga kini. Rina sempat menyesal karena tidak bisa hadir saat Inayah menikah karena dia harus ikut pimpinannya tugas ke luar kota. Dan ternyata sepulangnya bertugas Rina baru tahu dari adiknya di kampung jika pernikahan Inayah batal.
Rina sangat tahu seperti apa seriusnya hubungan Inayah dan Farhan, apalagi Rina dan Farhan berasal dari kampung yang sama, hanya berbeda kecamatan dengan Inayah. Yang Rina tahu Farhan adalah laki-laki yang baik dan setia. Makanya saat mendengar kabar dari adiknya jika Farhan batal menikah dengan Inayah dan malah menikah dengan wanita lain. Rina sungguh syok dan buru-buru menghubungi sahabatnya itu saat dirinya sudah kembali dari luar kota.
Obrolan mereka terus berlanjut hingga hampir jan enam lebih, keduanya memutuskan panggilan karena masing-masing harus bersiap menuju tempat kerja masing-masing dan berjanji akan kembali bertelepon nanti malam.
"Bu, Dira, Irfan, maafkan teteh ya ..." Inayah menjeda ucapannya. Rutinitas pagi mereka adalah wajib sarapan bersama, hal yang diterapkan oleh almarhum Bapak. Meskipun keluarga mereka terbilang keluarga sederhana tetapi kehangatan keluarga selalu terjaga salah satunya melalui kebersamaan mereka.
Dulu Bapak tidak pernah mengizinkan siapapun keluar dari rumah dalam keadaan perut kosong. Sarapan bersama pun menjadi hal wajib yang harus diikuti semua anggota rumah. Kebiasaan itu sampai saat ini masih dilakukan, hal yang membuat mereka lega tatkala didikan Bapak mampu mereka amalkan.
Inayah sudah lebih dulu selesai sarapannya, makanan di piring Ibu, Indira dan Irfan juga sudah tampak habis makanya Inayah berani memulai obrolan.
"Maaf kenapa Teh?" irfan hang mengambil sepotong buah melon yang sudah diiris oleh Inayah menjeda dengan bertanya.
"Karena kejadian kemarin kita semua jadi terdampak. Teteh tahu para tetangga bahkan keluarga masih suka membicarakan perihal gagalnya pernikahan teteh. Bahkan ada yang bilang jika teteh bisa jadi pembawa sial. " Inayah menelan ludahnya saat mengatakan itu.
Kemarin saat pulang dan mampir ke warung tetangganya dia tidak sengaja mendengar beberapa orang memperbincangkannya, salah satu diantara mereka ada bilang jika Inayah bisa saja jadi pembawa sial bukan hanya buat keluarganya tapi juga buat kampung mereka.
"Teteh mau mengundurkan diri dari sekolah dan mencari pekerjaan lain."
"Kerja apa?" Irfan yang menyahut,
"Maksud teteh mau berhenti ngajar?" belum sempat menjawab pertanyaan Irfan, Indira menyusul dnegan pertanyaan baru yang langsung dijawab Inayah dengan anggukan kepala.
"Teteh yakin?" timpal Ibu ragu. Ibu sangat tahu bagaimana perjuangan Inayah untuk menjadi seorang guru.
"Iya Bu, rencananya Teteh mau ikut Rina kerja di Jakarta." jelas Inayah menjawab pertanyaan Irfan dan Ibu sekaligus.
padahal aku pengen pas baca Inayah ketemu sama siapa ya thor...🤔🤔🤔🤔🤔 aku kok lupa🤦🏻♀️