Di dunia yang penuh intrik dan kekuasaan, Liora, seorang wanita penerjemah dan juru informasi negara yang terkenal karena ketegasan dan sikap dinginnya, harus bekerja sama dengan Darren, seorang komandan utama perang negara yang dikenal dengan kepemimpinan yang brutal dan ketakutan yang ditimbulkannya di seluruh negeri. Keduanya adalah sosok yang tampaknya tak terkalahkan dalam bidang mereka, tetapi takdir membawa mereka ke dalam situasi yang menguji batas emosi dan tekad mereka. Saat suatu misi penting yang melibatkan mereka berdua berjalan tidak sesuai rencana, keduanya terjebak dalam sebuah tragedi yang mengguncang segala hal yang mereka percayai. Sebuah insiden yang mengubah segalanya, membawa mereka pada kenyataan pahit yang sulit diterima. Seiring waktu, mereka dipaksa untuk menghadapi kenyataan. Namun, apakah mereka mampu melepaskan kebencian dan luka lama, ataukah tragedi ini akan menjadi titik balik yang memisahkan mereka selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Markas The Iron Hand
Langkah Liora tiba-tiba terhenti, membuat Darren dan Andes saling menatap bingung. Mereka ikut menghentikan langkah, mengikuti gerakan Liora yang tampak menyatu dengan gelapnya malam di Sierra.
"Ada apa?" bisik Darren pelan, nyaris tak terdengar. Pandangannya bergantian antara Andes dan Liora, mencari jawaban yang mungkin tersembunyi di raut wajah mereka. Andes, yang sama penasaran, ikut memusatkan tatapannya pada Liora.
"Dengarkan baik-baik," jawab Liora dengan suara yang lebih pelan dari bisikan. Suaranya terdengar tegas meski hampir hilang dalam udara malam.
Darren dan Andes segera terdiam, mengikuti instruksinya tanpa banyak tanya. Keduanya menajamkan pendengaran, berusaha menangkap setiap suara samar yang mungkin tersembunyi di sekitar mereka. Mereka berdiri mematung, berusaha memahami apa yang membuat Liora mendadak berhenti, seolah ada sesuatu di kegelapan Sierra yang hanya dirinya yang mampu merasakannya.
"Langkah seseorang," gumam Andes pelan, membuat Darren mengangguk, mengamini dugaannya.
"Aku akan memeriksanya. Kalian tunggu di sini," ujar Darren dengan nada tegas. Tanpa menunggu jawaban, dia segera melangkah menuju sumber suara, menghilang di antara bayangan gelap.
Darren menyelinap perlahan, langkahnya hampir tak bersuara saat melewati tumbuhan besar yang membentuk semak-semak lebat. Dia menyipitkan mata, mencoba menembus kegelapan yang pekat di depannya. Namun, pandangannya seketika membelalak saat menangkap apa yang ada di hadapannya.
Jantungnya berdegup kencang. Apa yang dia lihat di sana membuatnya terkejut bukan main. Tidak salah lagi, ini serius. Mereka benar-benar menemukan markas musuh.
Darren berbalik perlahan, mengarahkan pandangannya pada Liora dan Andes yang terus memperhatikannya dengan wajah penuh penasaran. Tanpa bicara, dia menunjuk ke depan dengan gerakan tangannya yang tegas, sorot matanya penuh ketajaman.
Liora dan Andes saling bertukar pandang, mencoba membaca situasi dari isyarat Darren. Sesaat kemudian, Darren mendekati mereka, langkahnya pelan namun mantap, hingga jarak di antara mereka semakin dekat.
"Aku melihat banyak penjaga di depan," bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar, tatapannya bergantian menyisir wajah Liora dan Andes, memastikan mereka memahami keseriusan situasi ini. "Mereka menjaga markas mereka."
Liora dengan sigap mengamati kompas di tangannya sambil melirik layar ponselnya. Jarinya bergerak cepat, menekan beberapa kali untuk menandai lokasi tersebut dengan akurat, memastikan titik itu tersimpan dengan baik agar mereka bisa melacaknya nanti.
"Ini berada di bagian selatan," ujar Liora dengan nada pelan namun serius. Tatapannya tetap fokus pada layar, memastikan informasi itu tepat. "Cukup jauh dari markas kita," lanjutnya, mengangkat wajah untuk melihat reaksi Darren dan Andes.
"Kita harus kembali dan segera melaporkan ini kepada komandan besar," ujar Andes dengan nada penuh keyakinan. "Yang terpenting, kita sudah menemukan lokasi markas mereka."
Tanpa membuang waktu, mereka bertiga mulai melangkah dengan hati-hati, menyusuri jalan kembali menuju markas. Setiap langkah terasa berat namun penuh tekad, kesadaran akan pentingnya informasi ini membuat mereka semakin waspada.
Malam itu menjadi titik penting dalam misi mereka. Mereka berhasil mengungkap lokasi markas musuh, membawa mereka lebih dekat pada keberhasilan yang selama ini diupayakan.
"Benarkah?" tanya komandan besar dengan nada penuh antusias. Wajahnya langsung berbinar saat mendengar kabar bahwa mereka berhasil menemukan lokasi markas musuh. Rekan-rekan lainnya juga tampak bersemangat, mendengarkan laporan dengan perhatian penuh.
"Mereka sangat banyak," ujar Darren, suaranya sedikit berat saat mengingat apa yang dilihatnya. "Penjagaannya ketat, dengan begitu banyak penjaga di setiap sudut. Pertahanan mereka terlihat sangat baik dan sulit ditembus."
Mendengar itu, komandan besar terdiam sejenak. Wajahnya berubah serius, mencerna setiap kata yang diucapkan Darren. Sesuatu jelas sedang direncanakannya, tetapi dia belum mengungkapkan apa pun.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" tanya Lucian sambil melangkah mendekat, mencoba bergabung dalam pembicaraan. Namun, tak ada yang langsung menjawab. Suasana hening, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
Lucian menghela napas panjang, jelas kesal karena merasa diabaikan. Tatapannya menyapu satu per satu wajah mereka, berharap ada yang merespons.
"Apapun yang terjadi, kita tidak mungkin kembali atau keluar dari sini. Itu akan jauh lebih berbahaya," ujar Liora akhirnya, memecah keheningan. Suaranya terdengar tegas, penuh keyakinan, membuat semua orang refleks meliriknya sejenak. Kalimatnya seolah memberi arah, menarik perhatian mereka pada situasi yang sebenarnya.
"Apa yang dikatakan Liora benar juga," sahut Andes, mengangguk pelan sambil mencerna dengan serius. "Kita tidak mungkin keluar dari Sierra dan kembali ke kota untuk merekrut lebih banyak pasukan atau senjata. Itu justru akan semakin berbahaya. Mau tidak mau, kita harus menghadapi mereka dengan persiapan yang sudah kita buat."
Dia memandang rekan-rekannya, memastikan mereka semua sepakat dengan langkah ini. Namun, pertanyaan selanjutnya muncul.
"Lalu, bagaimana kita akan memulai penyerangan?" tanya komandan besar, suara berat dengan sedikit kebingungan. Terlihat jelas bahwa dia setuju dengan keputusan untuk melanjutkan, tetapi masih ragu bagaimana langkah pertama dalam penyerangan ini seharusnya dilakukan.
Di tempat lain, tepatnya di markas Iron the Hand, penjagaan begitu ketat dan penuh kewaspadaan. Di ruang yang lebih gelap dari ruangan lainnya, yang terasa seperti ruang penyiksaan, suasana begitu suram dengan hanya ada cahaya lampu remang-remang yang memancar dari sudut-sudut ruangan. Iron duduk dengan tenang, menyesap kopi dengan penuh ketenangan, meski di dalam hatinya ada keraguan yang mendalam.
Tatapannya tetap tertuju pada sosok yang berdiri di hadapannya. Seorang perempuan yang tampak berbeda dari wanita pada umumnya—rambutnya pendek, dan kulitnya sedikit lebih gelap dari kebanyakan orang. Namun, yang paling mencolok adalah tatapannya, yang begitu tajam dan menusuk, seolah bisa menembus hingga ke inti hati.
Dia berdiri tegak, matanya tidak berkedip, menatap Iron yang tetap diam, seolah menunggu sebuah keputusan penting yang tak terucapkan.
"Kau yakin bisa melakukan tugas ini?" tanya Iron tiba-tiba, suaranya datar dan langsung tanpa basa-basi, menguji keteguhan orang yang ada di hadapannya.
Seseorang itu mengangkat kepalanya sedikit, topi hitamnya sedikit bergeser, memperlihatkan mata tajam yang penuh fokus. Tatapannya yang tajam seperti pisau itu langsung menyentuh Iron, seolah menantang setiap kata yang keluar dari mulutnya. Sosok ini selalu mengenakan scarf gelap yang senada dengan pakaian yang dikenakannya, menambah kesan misterius dan tegas.
"Kau meragukanku?" tanyanya, suara pelannya terdengar tajam, seakan bisa memotong ketegangan di antara mereka.
Mendengar jawaban itu, Iron tersenyum miring, ekspresinya sulit dibaca. Di sampingnya, Jero yang sejak tadi berdiri terdiam, kini sedikit mengalihkan pandangannya, mencermati interaksi mereka dengan penuh perhatian.
"Baiklah, baiklah. Kau memang terkenal di dunia gelap seperti ini. Pembunuh bayaran yang tidak pernah gagal menjalankan misinya," sahut Iron dengan nada penuh makna, seolah menegaskan reputasinya yang tak terbantahkan di dunia yang penuh rahasia ini.
Seseorang itu tetap diam, hanya memerhatikan dengan seksama orang yang telah menyewa jasanya untuk terlibat dalam misinya. Ini memang pekerjaan yang sudah lama digelutinya, dan dia sudah cukup ahli dalam hal ini. Siapapun yang tahu latar belakangnya, pasti tidak akan menyangka, karena semuanya begitu samar. Identitasnya di dunia gelap sangatlah kabur, hampir tak pernah diketahui secara pasti. Namun, satu hal yang jelas—dia dikenal karena jasanya yang selalu membuahkan hasil.