Jessy, 30th seorang wanita jenius ber-IQ tinggi, hidup dalam kemewahan meski jarang keluar rumah. Lima tahun lalu, ia menikah dengan Bram, pria sederhana yang awalnya terlihat baik, namun selalu membenarkan keluarganya. Selama lima tahun, Jessy mengabdi tanpa dihargai, terutama karena belum dikaruniai anak.
Hingga suatu hari, Bram membawa pulang seorang wanita, mengaku sebagai sepupu jauh. Namun, kenyataannya, wanita itu adalah gundiknya, dan keluarganya mengetahui semuanya. Pengkhianatan itu berujung tragis—Jessy kecelakaan hingga tewas.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Ia terbangun beberapa bulan sebelum kematiannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengkhianatan Bram
Jessy baru saja keluar dari ruang konsultasi dengan hati yang masih dipenuhi berbagai pikiran. Dengan amplop hasil tes kesuburan di tangannya, ia berniat langsung pulang. Namun, ketika melewati bagian dokter kandungan (Obgyn), langkahnya mendadak terhenti.
Jessy merasa tubuhnya membeku di tempat. Pandangannya tak lepas dari sosok Bram yang keluar dari ruangan dokter kandungan—bersama Fina.
"Apa-apaan ini? Kenapa dia ada di sini dengan Fina?" gumamnya dalam hati, merasakan dadanya semakin sesak.
Matanya tak salah lihat. Fina tersenyum cerah sambil menoleh ke arah Bram, dan yang lebih mengejutkan, Bram merangkul pinggangnya dengan santai. Mereka terlihat begitu akrab, begitu mesra… seolah-olah mereka adalah pasangan.
Darah Jessy langsung berdesir. Tangannya mengepal erat amplop yang ia pegang, tetapi ia menahan diri agar tidak langsung menghampiri mereka.
"Apakah selama ini yang ia lakukan?!"
Bibirnya terasa kelu. Napasnya memburu mulai tidak beraturan, namun ia tidak bisa mengamuk begitu saja. Ia perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah memastikan Bram dan Fina sudah pergi cukup jauh, Jessy melangkah mendekati ruangan dokter kandungan. Di depan ruangan, masih ada seorang perawat yang sedang merapikan beberapa berkas di meja.
"Permisi, saya ingin bertanya," ujar Jessy dengan suara yang hampir bergetar.
Perawat itu menoleh dan tersenyum ramah. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?"
Dengan suara yang ia coba buat setenang mungkin, Jessy bertanya, "Tadi yang keluar dari ruangan dokter, wanita yang barusan itu, Fina… boleh saya tahu, dia periksa apa?"
Perawat itu menoleh, sedikit ragu. "Maaf, Bu, itu termasuk privasi pasien."
Jessy menarik napas, lalu berkata dengan nada lebih lembut, "Saya kenal dia. Dia saudara suami saya."
Perawat itu menatapnya beberapa detik, lalu akhirnya berkata, "Oh, begitu. Dia tadi datang untuk pemeriksaan kehamilan."
"H-hamil?" Jessy tergagap karena syok.
Perawat itu mengangguk. "Iya, Bu. Dia positif hamil, usia kandungannya baru beberapa minggu."
Jessy merasakan tubuhnya mulai lemas, pandangannya berputar. Namun, ia tetap mencoba menenangkan dirinya. "Tapi dia… belum menikah," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Perawat itu mengerutkan kening, lalu berkata, "Mana mungkin, Bu? Tadi dia datang bersama suaminya."
JEDDER!!!
Jessy membeku di tempat. Jantungnya terasa nyaris berhenti berdetak.
"Suaminya?" tanyanya dengan suara nyaris berbisik.
Perawat itu mengangguk sambil tersenyum ramah. "Iya. Pria yang tadi bersamanya, yang memegang pinggangnya. Saya kira Ibu tahu. Mereka terlihat sangat bahagia."
Jessy mundur satu langkah. Dadanya sesak, napasnya berat. Pandangannya terasa berputar, seolah dunia tiba-tiba menjadi gelap.
Jessy menggigit bibirnya kuat-kuat, mencoba menahan gejolak di hatinya. Ia merasa mual, bukan karena sakit maag seperti yang dikatakan dokter sebelumnya, tetapi karena rasa sakit yang lebih dalam—pengkhianatan.
Bram yang bahkan tadi malam dan tadi pagi yang meminta maaf.
"Jadi ini alasannya?" pikir Jessy, matanya mulai memanas.
Tangannya gemetar saat menggenggam amplop hasil tes kesuburan yang baru saja ia dapatkan. Hasil yang membuktikan bahwa selama ini bukan dirinya yang memiliki masalah, tetapi Bram.
Namun sekarang, ada wanita lain yang mengandung anaknya?
"Bram… Apa yang sudah kamu lakukan?" Jessy berbisik pada dirinya sendiri, perasaan sakit dan pengkhianatan memenuhi hatinya.
Sejenak, pikirannya dipenuhi oleh ingatan bagaimana Bram yang akhir-akhir ini selalu menghindari percakapan tentang kehamilan, bagaimana ia selalu terlihat gelisah setiap kali Jessy menyinggung soal memiliki anak, padahal mama dan adik nya selalu menyindirnya.
"Jadi apakah selama ini dia sibuk dengan Fina? Dia bahkan tidak menjengukku di rumah sakit, tapi justru menemani wanita itu ke dokter kandungan? Jadi berapa lama hubungan mereka?"
Sebuah tawa getir lolos dari bibirnya. Betapa bodohnya ia selama ini.
Perawat tampak mulai curiga dengan ekspresi Jessy yang berubah drastis. "Ibu baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir.
Jessy tersentak, buru-buru mengangguk dan memaksakan senyum. "Ya… Saya baik-baik saja. Terima kasih atas informasinya," ucapnya sebelum segera melangkah pergi.
Kakinya terasa berat, tapi hatinya lebih sakit.
"Bram… Kau sudah keterlaluan."
Jessy mengeratkan genggaman tangannya saat berjalan keluar dari rumah sakit. Dadanya masih terasa sesak, pikirannya kacau. Ia tidak bisa begitu saja menuduh tanpa bukti. Jika ingin lepas dari Bram dan mendapatkan keadilan, ia harus memiliki bukti perselingkuhan mereka.
"Aku sudah menghabiskan lima tahun hidupku di rumah itu… bekerja keras, mengurus semuanya, hanya untuk dikhianati seperti ini?" pikirnya pahit.
Ia masih belum bisa percaya. Apakah Mama Ella dan Molly tahu tentang hubungan Bram dan Fina? Atau mereka juga telah membohonginya selama ini?
Jessy merogoh ponselnya, berniat menghubungi Chika. Namun, ia mengurungkan niatnya. Ia butuh waktu untuk berpikir jernih. Jika ia bertindak gegabah sekarang, bisa saja Bram malah membalikkan keadaan dan menyalahkannya.
"Aku harus mengumpulkan bukti. Aku tidak boleh bertindak hanya berdasarkan emosi."
Jessy melangkah menuju taksi yang menunggunya di depan rumah sakit. Namun, sebelum masuk, ia menoleh kembali ke gedung itu. Tatapan matanya dipenuhi tekad.
"Fina… kau bilang dia sepupu jauh? Aku sudah tidak percaya lagi."
Jessy masuk ke dalam taksi dan menyebutkan alamat rumah. Di dalam perjalanan, pikirannya mulai menyusun rencana.
Ia harus mencari tahu sejak kapan Bram dan Fina menjalin hubungan. Ia juga harus memastikan apakah Mama Ella dan Molly mengetahui hal ini atau tidak. Jika mereka memang tahu, berarti selama ini ia benar-benar hidup di tengah-tengah orang yang hanya memperlakukannya sebagai beban.
"Aku tidak akan tinggal diam." Jessy menggigit bibirnya. "Aku akan membuat mereka membayar semua ini."
Sesampai nya di depan rumah, Jessy mengatur napasnya sebelum melangkah masuk ke dalam rumah. Ia tidak ingin menunjukkan kegelisahannya, tidak sekarang.
Begitu pintu terbuka, suara tawa riang langsung menyambutnya. Dari ruang tamu, ia melihat Bram duduk santai, tertawa bersama Fina, Molly, dan Mama Ella. Pemandangan itu terasa begitu menusuk baginya, tapi ia menggigit bibirnya, menahan emosinya agar tidak meledak begitu saja.
Saat Bram menyadari kehadirannya, ekspresi pria itu berubah. Ia langsung mengendurkan duduknya, yang sebelumnya begitu dekat dengan Fina. Dengan cepat, ia bangkit dan berjalan mendekati Jessy.
"Jadi kau masih punya sedikit rasa bersalah?" pikir Jessy sinis dalam hati.
Namun, di luar, ia tetap mempertahankan ekspresi netral. Ia tidak boleh menunjukkan kalau ia tahu sesuatu.
"Kau baru pulang?" tanya Bram, suaranya terdengar biasa, seolah tidak ada yang salah.
Jessy mengangguk pelan, lalu menutup pintu di belakangnya. "Ya, aku pergi sebentar."
Fina, yang duduk di sofa, tersenyum manis. "Mbak Jessy, kau ke mana saja? Kami sedang membicarakan sesuatu yang seru di sini."
Jessy menatapnya sekilas. Wajah Fina terlihat begitu polos, seolah ia tidak menyembunyikan apapun. "Begitu ya? Sayang sekali aku melewatkannya."
Mama Ella melirik Jessy dari ujung mata. "Kau kemana sih? Lama sekali. Bukannya masih sakit?"
Jessy tersenyum tipis. "Aku hanya keluar sebentar untuk menghirup udara segar."
Bram mengerutkan kening. "Kau pergi sendiri?"
Jessy menatapnya dalam-dalam. Ia ingin tahu apakah pria itu benar-benar peduli atau hanya berpura-pura.
"Kenapa? Kau khawatir?" tanyanya, suaranya lembut tapi menusuk.
Bram terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Tentu saja aku khawatir. Kau baru saja keluar dari rumah sakit."
Jessy menahan tawa sinisnya. "Lucu sekali, karena saat aku di rumah sakit, kau bahkan tidak pernah datang menjengukku."
Ruangan itu mendadak sunyi. Molly dan Fina saling bertukar pandang, sementara Mama Ella berdehem pelan, mencoba mengalihkan suasana.
"Sudahlah, Jessy. Bram sibuk, kau kan tahu sendiri," kata Mama Ella dengan nada malas.
Jessy hanya tersenyum kecil. Ia tahu mereka akan selalu membela Bram. Tapi tidak masalah. Biarkan mereka menganggapnya bodoh—untuk saat ini.
"Aku lelah. Aku ke kamar dulu," ucapnya akhirnya, melangkah melewati Bram tanpa menunggu jawaban.
Namun, sebelum ia benar-benar pergi, ia mendengar suara Fina yang tertawa pelan.
"Mas Bram, nanti kita lanjutkan pembicaraan kita ya," ucapnya, nada suaranya lembut dan penuh makna.
Jessy mengepalkan tangannya.
klau dah di cerai baru menyesal Bram,,,,,,
tetap semangat terus