Seharusnya Marsha menikah dengan Joseph Sebastian Abraham, seorang duda dengan anak satu yang merupakan founder sekaligus CEO perusahaan kosmetik dan parfum ternama. Setidaknya, mereka saling mencintai.
Namun, takdir tak berpihak kepadanya. Ia harus menerima perjodohan dengan seorang Presdir yang merupakan rekan bisnis ayahnya.
Saat keluarga datang melamar, siapa sangka jika Giorgio Antonio Abraham adalah kakak kandung pria yang ia cintai.
Di waktu yang sama, hati Joseph hancur, karena ia terlanjur berjanji kepada putranya jika ia ingin menjadikan Marsha sebagai ibu sambungnya.
~Haaai, ini bukuku yang ke sekian, buku ini terinspirasi dengan CEO dan Presdir di dunia nyata. Meskipun begitu ini hanya cerita fiksi belaka. Baca sampai habis ya, Guys. Semoga suka dan selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Sang Presdir yang Tampan
—Kediaman Marsha Widya Tama—
Sore ini, gadis itu berjalan dengan langkah tergesa-gesa. Tampak kedua orang tuanya yang sedang sibuk mendekorasi ruang keluarga lalu mereka berpindah ke ruang makan. Dengan bantuan ART tentunya. Dan gadis itu melintas begitu saja.
Marsha dibesarkan dari kalangan pebisnis. Rumah mewah, pria kaya, bukan hal baru baginya.
Di usianya yang mulai menginjak dua puluh lima tahun, membuat sang ayah selalu resah dan mulai sering menjodoh-jodohkannya dengan para pria kaya, tentu saja sikap orang tuanya itu membuat gadis itu tak nyaman.
"Marsha, dari mana saja kamu? Sesore ini baru pulang! Mau Pak Jo saya pecat jadi sopir kamu?" Sang Ayah yang geram menegur dengan nada tinggi.
"Tadi ada meet and greet peluncuran novel aku, Pa," terang Marsha mencoba membuat ayahnya mengerti.
"Novel, novel lagi! Sekali-sekali mbok yo belajar bisnis. Belajar jualan, nulis itu gajinya receh! Gak ada masa depannya," cela Pak Tama tanpa ampun.
"Novel aku sudah difilmkan dan Papa masih gak mau mengakui? Oke gapapa, aku capek, mau mandi," sungut Marsha yang langsung berlalu begitu saja.
Ia bahkan tidak peduli meski ibu sambungnya sejak tadi memperhatikannya dengan tatapan tajam.
***
Jam dinding menunjukkan pukul 19.00 wib.
Marsha masih berbaring manja di atas kasur empuknya. Kemudian, ia dikejutkan dengan ketukan pintu yang terus menggedor tanpa henti.
"Marsha, tamunya sudah datang. Ayo lekas turun. Nanti papamu mengomel lagi," panggil ibu Tiri Marsha.
Mendengar suara teriakan itu, Marsha mendengus lelah, malas, dan bosan.
"Ya, sebentar lagi," sahutnya berkilah.
Kemudian, Marsha langsung turun dari ranjang dan bersiap. Di work in closet miliknya, ada banyak gaun malam berjajar rapih. Tetapi ia justru memilih pakaian dengan desain sederhana.
Mungkin, tak banyak waktu baginya untuk memilih, ia hanya mengambil asal, memasang riasan tipis di wajahnya lalu sambil setengah berlari ia menuruni tangga.
Bukan karena penasaran dengan sang pangeran tampan korban perjodohan sang ayah, tetapi Marsha hanya malas dan takut diomeli lagi.
"Aduh, maaf ya, Pa. Aku kecapek'an. Dan ... lupa," tukasnya sambil memasang ekspresi memelas.
Namun ekspresinya berubah kaget ketika ia menabrak tubuh kekar seseorang. Ya, ia berjalan tanpa melihat ke arah depan.
Setelan jas rapi, membuat penampilan pria di hadapannya sangat menawan. Aroma parfumnya, begitu familiar. Tapi Marsha lupa, ia seperti memiliki koleksi parfum dengan aroma yang sama.
Perlahan, gadis itu mulai mengangkat wajahnya. Mengamati setiap pahatan indah yang terpampang di hadapannya.
Garis tegas, dengan aksen kebulean, tak lantas meluluhkan hati Marsha. Benar kata Pak Jo, dia memang keturunan Jepang. Sangat menawan, nyaris mirip Reino Barack suami artis maju mundur cantik.
Bedanya, tubuh pria di hadapannya lebih kekar dan berotot. Menggambarkan pria yang rajin berolahraga.
"Kamu tidak apa-apa?" Tatapan matanya, mungkin saja mampu membuat wanita lain meleleh, tapi tidak dengan Marsha.
"Enggak," gumam Marsha kemudian melangkah menuju kursi di ruang makan.
Marsha langsung menarik kursi yang akan dia duduki, tetapi pria itu ternyata mendahului. Ia membantu menariknya, seolah ingin memberikan kesan perhatian di depan keluarga Marsha.
"Kenalin, dia Giorgio. Biasa dipanggil Gio. Rekan kerja papa. Siapa tahu kalian cocok," tandas ayah Marsha.
Terus terang saja, air muka gadis itu berubah pasi setelah mendengar kalimat perjodohan dari bibir ayahnya.
"Tapi, Pa ... Marsha itu masih gak mau ...."
Kalimat Marsha terpotong karena Gio langsung menghentikannya.
"Tunggu, mungkin ada baiknya kita bicara dulu secara pribadi sebentar. Baru kamu boleh menolak saya," ungkapnya.
Ayah Marsha terpukau dengan usaha yang ditunjukkan oleh pria itu. Biasanya, setiap pria yang dijodohkan selalu berakhir dengan penolakan dari putrinya.
Tetapi sepertinya, Giorgio memang pria berbeda dari kebanyakan pria di luar sana.
Marsha menghela napas berat.
"Kita makan malam dulu, baru bicara. Jangan bicara dengan perut kosong. Takutnya, bisa memengaruhi keputusan yang Anda ambil," tandasnya.
Gio tersenyum simpul, kemudian ia memberikan anggukan kepala sebagai jawabannya. Sesekali ia mencuri pandang, tetapi tak sekalipun Marsha menoleh ke arahnya. Mereka duduk di kursi yang letaknya bersebelahan.
Kemudian, mereka akhirnya makan malam bersama. Tak ada suara percakapan selama mereka sedang santap malam. Bahkan, denting nyaring sendok dan garpu pun nyaris tak ada.
***
Marsha melangkah menaiki anak tangga, mengajak Gio menuju balkon kamarnya. Bukan untuk tujuan buruk, melainkan mereka ingin lebih privasi.
Menghindari telinga nakal yang berusaha ingin menguping pembicaraan. Ya, gadis itu memang sudah hafal bagaimana sifat beberapa penghuni rumahnya.
"Biarkan pintunya tetap terbuka," pinta Marsha terlihat tegang.
Gio hanya mengangguk menuruti saat itu. Ia juga menyunggingkan senyuman ramah, siapa duga jika ternyata kenyataan sikapnya sebaliknya.
Di balkon kamar Marsha, terdapat sepasang kursi dan meja berbentuk bulat. Tempat ternyaman, yang biasa ia gunakan mencari inspirasi ketika ingin menulis.
Di tempat itulah akhirnya keduanya berbicara.
"Siapa dulu yang mau ngomong? Aku atau ...?" tanya Marsha.
Matanya terlihat berkaca-kaca. Bulir bening di pelupuk matanya nyaris lolos seandainya ia tak mampu menahannya.
"Perempuan lebih dulu," ujar Gio.
Seperti biasa, Marsha selalu berusaha menjaga agar tidak bertatapan mata dengan pria mata manapun. Kendatipun jika ia merasa kurang nyaman.
Namun, buku jemari Giorgio gesit menangkup dagu Marsha hingga wajah cantik yang dihiasi bulu-bulu halus di pipinya itu kini menghadap ke arahnya.
Membuat tatapan mata keduanya saling bertautan. Ada degup tak biasa yang gadis itu rasakan. Degup cepat bercampur rasa takut luar biasa.
Takut ia akan dinikahkan, lalu mimpinya untuk tetap menulis sirna. Ia tak mau. Ia tetap berusaha menahannya.
"Bisa kalau ngomong natap orangnya, biar lebih sopan!" seru Gio, tangannya masih menangkup dagu Marsha.
Mata Marsha masih berembun, ia hanya mengangguk saja sebagai jawaban.
Setelah menghela napas, barulah ia mulai bisa berbicara.
"Pertama. Kenapa kamu mau dijodohkan dengan saya? Kedua, saya tidak mau menikah," ketus Marsha menolaknya.
Terus terang saja, Gio benar-benar terkejut mendengarnya. Gadis itu masih menatapnya, tetapi sorot mata teduhnya berubah berubah sayu. Seolah benar-benar menggambarkan kesedihan mendalam.
Kening Gio berkerut setengah tak percaya. Selama ini, tak seorangpun berani menolaknya. Tetapi perempuan di depannya, secara terang-terangan mengatakan tidak.
"Ok, sebelumnya aku minta maaf karena sudah mengusik ketenangan hidup kamu. Sama seperti kamu, aku pun tidak memiliki minat untuk menikah dengan wanita manapun."
Mendengar pengakuan Gio, entah mengapa Marsha seperti terguncang. Tubuhnya nyaris terjatuh jika saja Gio tidak menopang bahunya.
"Lalu kenapa kamu datang?" Marsha meluapkan rasa kecewanya.
Kini, perasaan kesal dan bosan karena sering dijodohkan kepada sang Ayah berubah menjadi rasa kasihan. Ia merasa ayahnya dipermainkan. Tangannya mengepal, menyembunyikan amarah yang nyaris tidak mampu ia kendalikan.
"Sama seperti kamu, aku tidak mau keluargaku kecewa jika aku pulang dengan tangan kosong. Menikah sajalah denganku, setidaknya dengan begitu mereka akan lega. Dan berhenti untuk menjodoh-jodohkan kita lagi. Aku sangat paham apa rasanya menjadi kamu, karena aku juga merasakan hal yang sama."
Marsha menggeleng cepat.
"Tidak, pernikahan itu adalah hal yang sakral. Jangan ada permainan di dalamnya," tolak Marsha.
"Hanya untuk dua tahun, setelahnya... mari kita hidup bebas masing-masing," cetus Giorgio setengah memohon.
Marsha menghela menghela napas berat. Ia belum selesai berdiskusi, tetapi seorang ART berteriak memanggil Marsha.
"Non, Pak Tama pingsan!"
Marsha dan Gio segera berlari. Keduanya bergegas menghampiri Pak Tama, yang ternyata tubuhnya sudah dibaringkan di atas ranjang pribadinya.
Raut wajah lelaki paruh baya yang masih tampan itu tampak lelah, hingga seorang dokter datang memeriksanya.
"Wah, Bapak jangan capek dulu, ya. Jangan banyak pikiran, tekanan darahnya sangat tinggi. Harus istirahat total. Kalau tidak, ya bisa fatal," ungkap seorang dokter keluarga memberikan nasihatnya.
Ada ketegangan di raut wajah Marsha dan Gio, keduanya saling beradu pandang.
Lalu, sebuah keputusan ini pun dibuat. Marsha menyetujui permintaan Gio. Menjalani pernikahan paksaan, dan juga kepura-puraan.
Keduanya mengangguk sebagai isyarat dalam diam. Persetujuan.
Bersambung ....