Andai .... kata yang sering kali diucapkan di saat semua sudah berlalu. Di saat hal yang kita ingin gapain tersandung kenyataan dan takdir yang tidak bisa terelakan. Kadang aku berpikir andai saja waktu itu ibuku tidak meninggal, apakah aku masih bisa bersamanya? ataukah justru jika ibuku hidup kala itu aku bahkan tidak akan pernah dekat dengannya.
Ahhh ... mau bagaimana lagi, aku hanyalah sebuah wayang dari sang dalang maha kuasa. Mengikuti alur cerita tanpa tau akhirnya akan seperti apa.
Kini, aku hanya harus menikmati apa yang tertinggal dari masa-masa yang indah itu. Bukan berarti hari ini tidak indah, hanya saja hari akan terasa lebih cerah jika awan mendung itu sedikit saja pergi dari langitku yang tidak luas ini. Tapi setidaknya awan itu kadang melindungiku dari teriknya matahari yang mungkin saja membuatku terbakar. Hahaha lucu sekali. Aku bahkan kadang mencaci tapi selalu bersyukur atas apa yang aku caci dan aku sesali.
Hai, aku Ara. Mau tau kisahku seperti apa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamah Mput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahes
"Kalian tau gak? Katanya ada guru baru di sekolah kita?" ucap salah satu siswa yang saat itu sedang makan di kantin bersama yang lainnya.
Aku bersama kedua sahabatku pun ada di sana. Kami hanya menyimak dari bangku sebrang sambil makan mie ayam.
"Iya, katanya guru olah raga pengganti pak Reza. Ganteng katanya sih, tapi entahlah."
Yah, begitulah obrolan anak-anak cewek kalau udah gosipin guru baru terutama jika guru itu pria.
"Udah selesai tugas Lo?" tanyaku pada Hilda. Dia hanya menjawab dengan nafas berat. Tanpa dijelaskan pun aku mengerti jika tugasnya belum selesai.
"Woiiiii, woiiii, gue punya tebakan nih. Siapa yang bisa nebak gue traktir selama seminggu!"
Nah, itu si biang onar di sekolah kami. Namanya Rahes. Dia anak paling kaya di sini, iya paling kaya jika tidak dibandingkan denganku. Aku? Iya, lupa, aku bahkan tidak punya orang tua. Meski tinggal dalam rumah mewah, itu bukan milikku sepenuhnya.
Tawaran itu selalu membuat semua orang terpikat. Mereka berkerumun untuk mendengarkan apa yang akan dilontarkan Rahes.
"Yang paling banyak menjawab dia yang akan gue traktir, ok!"
"siappp, siappp."
"Dengerin nih. Yang pertama ... Es es apa yang paling melelahkan?"
Mereka semua terlihat berpikir keras demi makan gratis selama sepekan. Ada yang mencoba menjawab namun semuanya ditolak oleh Rahes.
"Estafet dari Jogja ke Banten!" celetuk seseorang.
"Yah, itu gue terima. Lo dapet satu poin."
"Yeaayyy!" rona bahagia jelas terlihat di wajah anak itu. Sementara yang lain sibuk bertepuk tangan.
"Yang kedua. Bis, bis apa yang suka bertengger di atas pohon?"
Kembali suara hening tanda mereka sedang berpikir, beberapa detik kemudian banyak suara bermunculan mencoba mengeluarkan jawaban mereka. Tidak ada yang diterima.
"Muak gue. Balik kelas yuk!" Hilda yang kesal karena tugasnya belum selesai mengajak kami kembali ke kelas.
"Gue!" aku mengangkat tangan. Semua berbalik badan dan menatapku.
"Apa jawabannya?"
"Bisa monyet, bisa juga burung, bisa juga Lo kan temen nya monyet," ujarku sambil berlalu. Mereka tertawa terbahak-bahak, sementara wajah Rahes terlihat begitu kesal mendengar jawaban dariku.
Dia yang berdiri di atas meja langsung meloncat dan mengejarku yang sudah berjalan terlebih dahulu.
"Heh!" Rahes menarik tangan hingga menghentikan langkah kakiku. Hilda dan Ayumi pun terhenti karena kami memang saling bergandengan tangan. Saking kerasnya dia menarik tanganku hingga badanku berbalik, bahkan rambutku menutupi hampir sebagian wajah.
"ishhhh, apaan sih? sakit tau!"
"Lo yang apaan?" ujarnya sambil menunjuk wajahku dengan telunjuknya.
"Becandaan doang kali, serius amat hidup Lo!" Ayumi mencoba membelaku.
"Becanda ada tempatnya, Ra. Gue gak suka diketawain di depan banyak orang."
"Lo gak suka diketawain tapi Lo bersikap udah kek ronggeng monyet tau! Lo pikir dengan sikap Lo kayak tadi itu, keren? Kagak!" aku berusaha bersikap tenang.
"Tau apa Lo? buktinya mereka suka."
"Suka duit Lo maksudnya?"
"Sssttttt, Ra udah yuk ah."
"Dasar sodaku!" ledek Rahes dengan penuh percaya diri.
Aku dan kedua sahabatku saling melirik sebelum kami tertawa terbahak-bahak. Hal itu membuat Rahes kebingungan sendiri.
"Napa Lo ketawa?" tanya nya masih belum sadar.
"Sodaku? Lo pikir gue fanta, ada sodanya?"
Aku menarik tangan Hilda dan Ayumi, kami bergegas kembali masuk ke kelas sebelum jam istirahat kedua ini habis.
Saat sekolah, pelajaran apa yang membuat kalian begitu bad mood? Bagiku, mata pelajaran sejarah adalah pelajaran yang sungguh sangat ingin aku hapus dari dunia ini.
"Baiklah, jika kalian tidak mengerti bisa tanyakan pada teman kalian. Bapak akhiri kelas sampai di sini, dan jangan lupa tugas Minggu depan harus sudah selesai."
"Baik, Pak." Kami menjawab kompak.
"Lo ngerti?" tanya Rahes pada Edo yang duduk sebangku dengannya. mereka duduk tepat di belakang bangkuku.
"Kagak." jawab Edo polos. Aku dan yang lain tertawa. Yah, itulah kenapa mereka berteman, keduanya sama-sama bodoh dan ya bisa dibilang memang kosong.
Jam berikutnya kami hanya mendapatkan tugas karena guru yang seharunya masuk berhalangan hadir. Meski begitu, bukan berati kelas boleh bubar. Kami tetap harus berada di dalam kelas sampai bel jam pulang berbunyi.
Tuing ... Tuing ... Kepalaku sedikit tertarik beberapa kali ke belakang. Aku tahu itu kerjaan Rahes yang menarik rambutku. Aku hanya bisa menghela nafas dalam dengan semua kelakuan dia selama ini. menyebalkan memang.
Semakin di diamkan, tingkahnya semakin menjadi.
Brakkkkkk!
"Diem gak Lo!" bentakku setelah menggebrak meja. Rahes dan sekutunya hanya tertawa. Semakin menyebalkan.
"Sodaku," ujarnya. Meski namaku Ara, aku tahu siapa yang dia maksud.
"Tebak-tebakan yuk."
"Ogah!"
"Kalau burung dan ikan saling jatuh cinta, di mana mereka akan tinggal?" tanyanya sedikit lantang.
"Di tukang pecel lele Lamongan!" bentakku. Lagi-lagi dia dan sekutunya tertawa puas.
"Lucu, lucu, lucu. Lagi ya. Kalau diujung laut, ada apa?"
"Huruf T."
"Hah?! Kok bisa?"
Aku memutar bola mata mendengar pernyataan konyol darinya, kok bisa sih dia nanya 'kok bisa?' astagaaaaa
"Ra, nengok dong."
Aku masih bergeming tidak mengindahkan ucapannya. Namun, bukan Rahes namanya jika tidak punya akal untuk membuatku terpaksa menuruti kemauan dia yang receh dan sangat gak penting itu. Dia menggoyang kursiku perlahan dan konstan.
"Apa sih, Lo?"
"Kalau di mata gue, ada apa?" tanyanya dengan wajah berseri dan berbinar.
"Kotoran!" ucapku seraya langsung kembali berbalik.
"Ra, seriusan!" tanyanya sambil menendang kursiku lagi.
"Tanya aja sama si bolot samping Lo itu."
"Eh, coba liat kata gue. Emang di mata gue ada kotoran?" tanyanya pada Edo.
"Iya, noh diujung mata kanan."
"Beneran?"
"Asli, kocak!"
Ayumi dan aku tertawa geli. Ada saja ulah yang dilakukan Rahes Mahendra Winata itu. Teman yang menyebalkan tapi dia selalu membuat aku tertawa dalam keadaan apapun.
Teman-teman di kelas tau jika aku dan dia memang seperti kucing dan anjing. Bukan lagi seperti Tom and Jerry. Mungkin aku Tom dan dia Spike kali ya.
Drrttttttt. Ponsellu bergetar. Satu pesan masuk.
"Abang tidak bisa jemput, Alan yang akan jemput kamu."
Deg!
Entahlah, jika sudah berhubungan dengan Kak Alan, jantungku selalu berdetak tidak seperti biasanya. Dia yang jarang, atau mungkin tidak pernah bicara denganku, dan selalu melihat dengan sinis membuatku sangat tidak nyaman.
Meski aku tahu kenapa dia begitu, dan aku bisa memaklumi, tapi tetap saja aku merasa sangat gugup dan takut padanya.
Aku membalas emot menangis deras pada Bryan.
Bel kepulangan yang seharusnya menjadi hal yang aku tunggu karena seharian diganggu Rahes, kini terasa seperti suara sirine kematian buatku.
"Kamu kenapa lemes banget sih? Kurang vitamin? Sini aku gibeng biar lebih semangat," ledek Rahes yang berjalan tepat di sampingku.
"Apa sih, Lo?" tanyaku sambil melayangkan tangan seolah akan menonjok dia. Rahes tertawa sambil menghindar.
Sementara di sebrang sana.