Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Zhea sialan! Zhea gila! Zhea menyebalkan! Awas kau wanita gendut! Jika nanti aku sudah menjadi istrinya Zavier ... akan kubalas semua perbuatanmu. Akan kubuat kau dan keluargamu itu menderita dan bersujud di kakiku! Tunggu saja iblis betina!" geram Elara sambil memukul-mukul setir mobilnya.
Dia sengaja menepikan mobilnya di pinggir jalan demi mengeluarkan emosinya yang tertahan sejak tadi.
Dia ingin mengamuk di depan Zhea, tapi terlalu gengsi.
"Tenang Ela! Tenang. Jangan terpancing. Sebentar lagi, kamu akan menjadi istri orang kaya. Jangan mengumbar emosi, nanti wajahmu banyak keriputnya. Relaks, oke." Elara menarik napas secara perlahan, lalu membuangnya.
Dia pun kembali melajukan mobilnya.
____
"Zhea ... kamu yakin mau menginap di rumah mertuamu? Mama kok khawatir kamu dikasari sama Zavier," kesah Zahrani sambil mengusap pipi cucunya yang terlelap di gendongan sang anak.
"Yakin, Ma. Udah ... Mama nggak usah terlalu khawatir. Insya Allah, aku akan baik-bail saja. Aku berangkat dulu ya?" Zhea meraih tangan Zahrani, menciumnya, lalu masuk ke dalam taksi online yang dipesannya.
Sang adik tidak bisa mengantar karena ada pertemuan dengan rekan bisnisnya.
"Hati-hati, Zhea! Kalau ada apa-apa, segera hubungi Mama atau Rafly!" teriak Zahrani berpesan.
"Iya, Ma."
_____
Rumah keluarga Dinata dipenuhi suara lantunan doa. Para tetangga dan kerabat duduk bersila, melingkar, sementara aroma kopi hitam dan kue basah mengisi sela-sela keheningan.
Di tengah kerumunan itu, Zavier menunduk khusyuk, kedua tangannya terkatup rapat. Meski matanya tampak tegar, sembap halus di pelupuknya tak bisa disembunyikan. Ini hari pertamanya mendoakan sang ayah tanpa bisa lagi menyentuh, tanpa bisa lagi mendengar suara baritonnya.
Setiap kali nama Soni disebut dalam doa, napas Zavier seperti tersangkut. Rasa bersalah itu tak bisa hilang.
Usai bacaan tahlil bergema 'aamiin', beberapa kerabat menepuk pundaknya, memberi kekuatan. Zavier hanya mengangguk kecil, menahan suara yang hampir pecah. Bukan hanya karena sedih, tapi juga karena dosa yang tidak seorang pun tahu.
Namun di balik pintu kamar yang tertutup rapat, duka yang lebih dalam sedang bersemayam.
Rindu duduk di sudut kamar dengan wajah yang pucat. Matanya bengkak, kepalanya bersandar pada lutut, seperti separuh jiwanya ikut dikubur bersama suaminya. Ia tak sanggup mendengar doa-doa di luar. Setiap kalimat terasa seperti pisau yang mengingatkannya bahwa Soni tidak akan kembali.
Di sampingnya, Arin menangis tanpa suara. Bahunya bergetar kecil, seolah jika ia bersuara sedikit saja, seluruh kesedihan akan meledak tanpa bisa dibendung.
Ketika pintu perlahan terbuka, kepala keduanya terangkat sedikit, walau tak benar-benar menoleh.
Zhea masuk pelan, menggendong Zheza. Bayi itu tertidur, pipinya menempel pada dada ibunya. Dengan langkah hati-hati, Zhea mendekat dan duduk di lantai, sejajar dengan mereka. "Ma, Rin ..." Suara Zhea lembut, tidak menggurui, tidak memaksa.
Rindu mengusap mata dengan gemetar. "Maaf ... Mama belum kuat keluar. Tadi dengar suara orang saja rasanya sesak."
"Nggak apa-apa, Ma," balas Zhea, suaranya pelan. "Semua orang pasti ngerti. Kehilangan Papa ... bukan hal yang mudah."
Arin akhirnya menoleh. "Kak ... rumah ini sekarang suasananya beda. Sepi. Aku nggak bisa lagi denger suara Papa."
Zhea menahan napas, dadanya ikut sesak melihat adik iparnya yang biasanya ceria kini seperti kehilangan arah. Ia mengusap kepala Arin dengan lembut. "Rin ... Papa memang sudah pergi. Tapi cintanya nggak ikut hilang. Dia ada di sini ..." Zhea menepuk pelan dada Arin. "Dan di sini." Ia menyentuh dahi gadis itu. "Setiap kamu ingat dia, kamu sebenarnya sedang bersamanya."
Arin menangis lagi, kali ini lebih pelan, sambil menunduk pada pangkuan Zhea.
Rindu menatap Zheza, bayi mungil yang bahkan belum mengerti apa itu kehilangan. "Kasihan kamu, Nak ... kini kamu udah nggak punya kakek ..."
Zhea tersenyum tipis, meski matanya berkaca-kaca. "Nanti, saat Zheza sudah mengerti ... aku akan ceritakan semuanya tentang Papa yang suka bercanda, yang suaranya besar tapi hatinya lembut. Dan sayang sekali sama Zheza."
Rindu terisak lagi, tapi ada sedikit kehangatan di air matanya kini.
Di luar kamar, doa-doa kembali dibacakan. Zavier sesekali menoleh ke arah pintu kamar ibunya yang terbuka sedikit, dia tahu adik dan ibunya belum siap. Tapi ketika ia melihat bayangan Zhea mengayun-ayun pelan tubuh kecil Zheza sambil menghibur keluarganya, sesuatu di dada Zavier bergetar. Ada rasa syukur ... dan rasa sakit lain yang tak bisa dijelaskan, mengingat hubungan mereka sebentar lagi akan berakhir.
Namun malam itu, perpisahan, perceraian, dan luka-luka di antara mereka seperti mereda sementara. Karena hari itu bukan tentang mereka.
Hari itu adalah tentang Soni. Tentang doa, kehilangan, dan keluarga yang berusaha saling menguatkan dalam diam.
Tamu terakhir baru saja keluar dari rumah. Pintu menutup perlahan, menyisakan keheningan yang terlalu berat untuk rumah yang sedang berkabung. Zavier menghela napas panjang, otot rahangnya mengencang. Hari ini melelahkan ... bukan hanya karena tahlilan, tapi karena perasaannya sendiri yang campur aduk.
Ketika ia berjalan ke ruang tengah, ia mendapati Zhea sedang berdiri sambil menggoyang-goyangkan Zheza yang mulai rewel. Rambut Zhea sedikit berantakan, wajahnya tampak lelah, namun matanya tetap tajam seperti biasa.
Zavier berdiri tak jauh darinya. "Zhea," panggilnya.
Zhea menoleh cepat. "Apa?"
Nada itu langsung memantik sesuatu dalam dada Zavier ... dingin, menjaga jarak, seolah mereka sedang berbicara sebagai orang asing.
Zavier menahan diri. "Sini aku gendong Zheza. Dia kenapa rewel?"
"Nggak usah. Zheza capek, kayaknya," jawab Zhea datar. "Dari tadi banyak orang masuk kamar, suara berisik. Dia jadi sulit tidur."
Zavier mengangguk sekali, lalu mengulurkan tangan. "Sini."
Zhea memeluk Zheza sedikit lebih erat. "Nggak usah. Dia baru mau tidur."
Reaksi itu membuat Zavier menegakkan tubuh. Matanya menyipit sedikit. "Aku ayahnya."
"Aku tahu," balas Zhea, kali ini lebih dingin. "Tapi bukannya kamu udah nggak peduli ya, sama Zheza? Malam itu ... kamu mengatakannya dengan suara lantang." Kalimat itu seperti tamparan halus tapi tepat sasaran.
Zavier mengepalkan tangan. "Waktu itu aku lagi emosi, Zhea!"
Zhea mengangkat dagu, "Udahlah, Zavier. Mending kamu masuk kamar. Istirahat."
Suasana berubah seketika. Tegang. Padat. Bahkan udara di antara mereka seperti mengeras.
"Tapi aku mau gendong Zheza." Zavier berkata pelan namun tajam.
Zhea mengembuskan napas, "Zheza udah mau tidur. Besok lagi aja menggendongnya."
"Kamu selalu saja keras kepala," dengus Zavier murka.
"Siapa yang keras kepala?" Nada suara Zhea masih datar. "Nggak kebalik, ya?" sindirnya. "Udahlah, Zavier. Aku nggak mau berdebat." Zhea beranjak, meninggalkan Zavier begitu saja.
Pintu kamar Zavier terbanting cukup keras ketika ia masuk. Ia tidak peduli jika suaranya terdengar sampai ruang tengah. Napasnya berat ... pendek dan tajam seperti orang yang berusaha menahan ledakan.
Begitu pintu menutup, ia menyapu meja dengan lengan, membuat gelas kosong dan beberapa tisu jatuh ke lantai.
"Kenapa sih Zhea selalu keras kepala?!" Zavier berseru, menendang kursi kecil di dekat ranjang. Kursi itu meleset dan menabrak lemari.
Ia menarik rambutnya frustrasi, bolak-balik berjalan di lantai kamar yang dingin.
"Aku cuma mau gendong anakku sendiri! Apa susahnya? Si Zhea malah nggak ngasih izin!" Suaranya pecah, penuh amarah yang tadi ia tahan di depan banyak orang.
Napasnya tersengal. Dadanya naik turun cepat. Perasaan terhina, dilangkahi, diremehkan ... semua bercampur menjadi satu.
"Dia selalu merasa paling tersakiti, terzalimi dan aku selalu jadi orang yang salah," geramnya sambil mengarahkan tinju ke tembok, memukulnya sekali. Tidak kuat, tapi cukup membuatnya meringis.
Ia menunduk, mendukung tubuh pada kedua lutut, mencoba meredakan gelombang emosi. Tapi semakin ia mencoba tenang, semakin amarah itu menguasainya.
Dan di tengah kekacauan itu, pikiran Zavier melompat ke satu nama.
Elara.
Wajahnya yang selalu tersenyum manis muncul di benaknya. Cara Elara berbicara lembut, cara ia memegang tangan Zavier dan cara ia mengiyakan semua permintaannya tanpa penolakan sedikit pun ... sangat jauh dari sikap Zhea yang penuh batas dan perhitungan, itu menurut Zavier.
Lelaki berkoko hitam itu menarik napas panjang dan mengusap wajahnya.
"Aku punya Elara ..." batinnya mulai berbisik, menghibur dirinya sendiri. "Elara nggak pernah bikin aku marah kayak gini." Ia menjatuhkan tubuh ke tepi ranjang, memandangi lantai kosong. "Dia jauh lebih baik dari Zhea. Elara nggak pemarah. Nggak pernah menaikkan suara. Dia lembut ... perhatian, pintar memuaskanku di ranjang, dan dandanannya selalu modis." Ada jeda.
Tatapannya mengeras. Cara ia membenarkan dirinya sendiri semakin mengalir lancar. "Dan Elara pasti akan ngasih aku keluarga yang lebih baik. Anak yang lebih baik." Dadanya naik turun, penuh aura gelap yang ia bangun sendiri. "Anak laki-laki ..." Ia mengepalkan tangan. "Bukan anak perempuan seperti Zheza."
Kalimat itu menggantung di udara kamar yang sunyi, seperti racun yang mencemari pikirannya sendiri.
Zavier menatap tangannya ... tangan yang tadi ingin menggendong putrinya, tapi ditahan. Rasa sakit yang campur aduk antara ego terluka, kemarahan, dan rasa kehilangan yang tidak ia akui, membuat pikirannya semakin kabur.
Ia memejamkan mata, menelan emosi yang pahit.
Seminggu lagi ia akan menikahi Elara.
Seminggu lagi hidupnya akan berubah ... setidaknya itu keyakinan yang ia pakai untuk menenangkan dirinya.
Namun di balik pikirannya yang membara, ada satu rasa kecil yang ia abaikan ... rasa bersalah yang perlahan menyelinap, meski ia pura-pura tidak mendengarnya.
memang cocok mereka berdua sama-sama iblis
gimana yah reaksi zavier kalau lihat El lagi kuda" sama laki laki lain
seperti istrimu yg melihat mu pasti booom like nuklir