Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8. Tekad dan Rindu
Di dalam hatinya, Dante tahu bahwa Amara bukan sekadar wanita "sementara" bagi hidupnya. Namun, ia juga tahu bahwa membantah keputusan neneknya bukan hal yang mudah. Setiap kata Nyonya Laurent merupakan keputusan yang jarang digugat di keluarga mereka. Dalam diam, Dante mulai merencanakan langkah selanjutnya. Jika ia ingin mempertahankan Amara di sisinya, ia harus mencari cara untuk meyakinkan neneknya, membuktikan bahwa Amara adalah pilihan yang tepat bukan hanya bagi Nico tetapi juga bagi dirinya.
Meski begitu, Dante menyadari bahwa jalan menuju kebebasan perasaannya tidak akan mudah. Terlebih, Nyonya Laurent akan terus memperhatikan setiap langkah mereka, dan Mia mungkin akan segera hadir dalam hidupnya, menambah tekanan. Sementara itu, Dante memutuskan untuk tidak membuat keputusan tergesa-gesa, tetapi ia juga tidak ingin Amara terus-terusan merasa hanya menjadi bagian sementara dalam hidupnya.
Setelah pertemuan dengan Neneknya itu berakhir dengan sebuah ketengan yang tak terhindarkan,
Dante melangkah dengan penuh tekad menuju ruang ibunya, ia berpikir Amara masih akan menunggunya di sana. Kepalanya dipenuhi oleh keinginan untuk membuktikan diri. Namun, setibanya di tempat itu, Dante hanya menemukan ruangan itu kosong seperti biasanya. Sejenak perasaan kecewa menghampirinya, tetapi kemudian ia beranjak ke kamar Nico, berpikir mungkin Amara ada di sana.
Benar saja, di sana ia melihat Amara tertidur di kursi samping tempat tidur Nico, yang sudah terlelap. Wajah Amara tampak tenang, meski ada lingkar hitam samar di bawah matanya karena kelelahan. Dante mendekatinya dengan pelan, menarik selimut yang tersampir di sisi kursi dan menyelimutinya dengan hati-hati, takut membangunkannya. Ia berjongkok di depan kursi, memandanginya dengan penuh rasa, memperhatikan setiap detail wajah Amara yang kini tampak sangat dekat dengannya.
Dengan lembut, Dante merapikan beberapa helai anak rambut yang jatuh menutupi wajah Amara, ia lalu berbisik lirih, “Aku tahu … mungkin kau tak punya perasaan apa-apa padaku sekarang, tapi aku akan membuktikan bahwa aku pantas… dan aku bisa, Amara.”
Amara sebenarnya mendengar semua bisikan yang berisi harapan dan jani tersebut. Meski matanya terpejam, kata-kata Dante menusuk ke dalam hatinya. Ia tahu betapa besar usaha yang Dante lakukan sejak menikahinya, dan meskipun ia mencoba menjaga jarak, tak bisa disangkal bahwa ada rasa nyaman yang perlahan tumbuh berdampingan dengan keraguan di hatinya.
Setelah malam itu, Dante semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Ia mulai jarang pulang ke rumah, bahkan makan malam keluarga menjadi momen langka baginya. Bahkan ketika pulang pun sering sudah larut malam.
Dengan penuh dedikasi, Dante membentuk tim independen yang bekerja di bawah pengawasannya langsung. Ia juga merancang proyek bisnis baru yang penuh inovasi, berusaha menonjolkan sisi kepemimpinannya agar sang nenek melihat betapa pantas ia berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa perlu menikahi wanita yang dipilihkan. Setiap detik, setiap keputusan, ia buat dengan satu tujuan—membuktikan diri demi Amara.
Sementara itu, Amara tetap menjalani perannya di rumah dengan penuh perhatian, terutama bagi Nico, yang kini semakin terbiasa dengan kehadirannya. Terkadang, saat malam-malam ketika Dante pulang terlambat, Amara menyiapkan makanan di meja makan, meskipun tak ada jaminan apakah Dante akan melihatnya atau tidak.
Suatu malam, ketika Dante akhirnya pulang lebih awal, ia menemukan Amara tengah duduk di ruang tamu, memainkan biola untuk menghibur Nico yang tak bisa tidur. Suara biola itu menggema lembut, mengisi ruang dengan melodi yang membawa rasa damai.
Dante terpaku, menatap pemandangan di depannya; Amara yang anggun dengan senyum yang lembut, Nico yang menatap kagum, dan suasana rumah yang hangat. Di tengah lelahnya, ia merasa lega. Melihat pemandangan ini, ia merasakan sebuah kebahagiaan sederhana yang sudah lama ia rindukan.
Usai memainkan biola, Amara menoleh dan menyadari keberadaan Dante. Ia tersenyum tipis, sedikit canggung. “Kau pulang lebih awal hari ini?”
Dante mengangguk, berusaha menutupi rasa haru yang menghimpit dadanya. “Aku hanya ingin… melihat kalian. Mendengar musik itu rasanya seperti pulang ke rumah.”
Amara terdiam sejenak, merasa bingung dan tersentuh pada saat yang sama. Tanpa ia sadari, langkah Dante menuju impiannya juga semakin mendekatkan mereka. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak mungkin mengabaikan pengorbanan yang dilakukan pria ini, meskipun ia masih berusaha menahan perasaan yang kian tumbuh.
Setelah Dante jarang pulang beberapa waktu terakhir, Amara mulai merasakan kerinduan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Awalnya ia merasa lega karena jarak itu memberi kesempatan untuk menjaga hatinya agar tetap fokus pada tujuan yang sudah ia tanamkan. Namun, semakin jarang ia melihat Dante, semakin dalam ia merasakan kehampaan yang diam-diam muncul. Setiap kali Nico tertidur, dan malam terasa sunyi, ia akan duduk sendiri, merenungi betapa Dante mulai mengisi pikirannya tanpa ia sadari.
Suatu malam, ketika Nico sudah terlelap, Amara duduk di kursi dekat jendela kamar, memandangi langit malam yang tampak sepi. Ia menggenggam tangannya sendiri, mencoba menenangkan detak jantung yang tiba-tiba terasa tak tenang. Pikirannya terus melayang pada sosok Dante, senyum kecilnya, sorot mata lembut yang kadang menatapnya dengan penuh perhatian, dan bahkan caranya berusaha melindungi Amara meski yang ia tahu perasaannya belum terbalas
Suatu malam, rasa rindunya memuncak hingga membuatnya tak bisa tidur. Ia duduk di kursi dekat jendela, menatap ke luar sambil merasakan angin malam yang sepi dan dingin. Dalam diam, ia menggenggam tangannya sendiri, seolah berharap kehangatan Dante ada di sana. Setiap desiran angin, setiap bayangan malam yang hening, seakan membawa wajah Dante ke benaknya.
Akhirnya, ia mengambil biola yang disimpan di sudut ruangan, instrumen yang sering menjadi pelariannya saat hatinya terasa penuh dengan emosi yang sulit diungkapkan. Ia memainkan beberapa nada yang lembut, nada-nada yang terdengar seperti suara hatinya, penuh dengan kerinduan dan ketidaktentuan. Musik itu seakan menjadi ungkapan rahasia bagi perasaannya terhadap Dante, seolah-olah dia mengalirkan perasaannya yang tak terucap melalui setiap gesekan tersebut.
Amara yang sedang tenggelam dalam rindunya, antara alunan yang lembut dan wajah Dante di pelupuk matanya, dikejutkan oleh suara ponselnya. Matanya terbuka perlahan dan melirik sumber suara. Dari Dante, ia seketika meletakkan biola yang ada di tangannya dengan cepat.
Sebuah kejutan di tengah malam, tanpa bepikir panjang, ia menggeser tombol hijau di layar ponselnya. Terdengar suara Dante yang hangat menyambar kupingnya, "Amara, aku rindu" lirihnya.
amara terdiam, itulah suara yang ia rindukan, tapi sialnya Amara tidak bisa mengatakan apapun, lidahnya kelu namun dia juga rindu.
"Tidak adakah yang ingin kau katakan padaku?' Dante bertanya seperti mengharapkan sesuatu. Amara masih terdiam.
"Oke, sepertinya aku mengganggu tidurmu, aku tutup ya? Tidur lah yang nyenyak"
Dante hampir menggeser tombol, akhiri saat Amara menjawab, "Kapan kau pulang?"
Kali ini giliran Dante y ang terdiam. Pertanyaan itu bagaikan pupuk kehidupan bagi dunia dante yang kering. Lelaki itu tersenyum di sepanjang kesibukannya bekerja malam itu hanya dengan pertanyaan, "Kapan kau pulang?".