Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.
mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
Suara minyak panas bercampur ikan yang baru masuk ke kuali terdengar nyaring. Artha baru saja membuka mata mencium aroma sedap dari arah dapur. Perut mendadak keroncongan. Membuang selimut yang membalut tubuh, dia lekas beranjak
dari pembaringan menuju di mana asal bau berada.
"Sudah mateng, Nai?" tanya Artha tanpa dosa. Telapak tangannya menutup mulut yang menganga karena kuapan, lalu mengangkat kedua tangan ke atas seperti sedang melakukan gerakan mengeliat.
Naira yang mendengar suara Artha berbalik. Matanya melotot kesal setelah menyaksikan lelaki itu dengan tidak tahu malu hanya mengenakan celana bokser saja, membiarkan tubuhnya terekspose tanpa penutup.
"Lo gila apa, Ta! Enggak tahu malu." Naira berbalik setelah mengatakannya, memunggungi
Artha untuk melanjutkan acara masaknya.
Artha terkekeh pelan. Bukannya segera mengenakan pakaian, dia malah meletakkan tangan pada meja pantry dan melihat Naira memasak.
"Lebay lo! Bukannya udah biasa liat cowok begini?"
Naira mendengkus, menatap tajam Artha sembari mengangkat spatula.
"Pake baju, nggak? Gue goreng juga lo!"
"Busyet, punya bini galak amat! Untung lo udah
nikah sama gue. Kalau enggak ...."
"Kalau enggak, kenapa?" tanya Naira, menyela
perkataan Artha.
"Gue yakin lo jadi perawan tua."
"Astaga, Artha!"
Naira tak tahan lagi. Dia hendak memukul Artha menggunakan spatula panas, tetapi pria itu langsung masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya.
"Jangan marah-marah mulu, Nai. Cepet tua loh nanti!" terdengar teriakan ArArtha dari dalam
kamar mandi yang makin terdengar menyebalkan.
Naira menggebrak pintu berbahan aluminium, menciptakan suara bising di dalam ruangan sempit itu.
"Keluar lo, Ta! Jangan sembunyi!" teriak Naira.
"Lo mau apa, Nai. Gue udah lepas celana. Gue nggak mau buka. Gue takut lo nafsu terus ngambil perjaka gue."
"Astaga!" Naira semakin kesal. Artha selalu
membuat moodnya buyar. Dia mengentakkan kaki, lalu kembali ke arah kompor untuk menyelesaikan masakannya.
Baru saja Naira tenang berkutat dengan
perlengkapan dapur, ArArtha kembali mengganggunya.
"Nai!" Lagi, ArArtha memanggil dari arah kamar
mandi.
Naira malas sekali menjawab. Namun, tetap
saja gadis itu menanggapi dengan deheman.
"Gue pake sikat gigi lo!"
"Apa?" Sontak mata Naira membulat. Dia kembali ke arah kamar mandi, mengetuk-ngetuk pintunya.
"Pake yang baru, Ta. Jangan pake sikat gigi gue! Jorok amat sih lo!"
"Kelamaan. Udah kepake," jawab ArArtha tanpa rasa berdosa.
"Gue juga pake handuk lo!"
Naira menghela napas kasar. Sehari bersama Artha sudah membuat kepalanya pusing. Bagaimana jika setiap hari harus hidup bersama pria itu?
"Lo cepet balik, gih! Gak usah jagain gue di rumah ini lagi," kata Naira sembari memukul pintu kamar mandi.
Artha hanya terkekeh di dalam. Dia tak menyangka pagi-pagi sudah mendapat hiburan baru. Padahal sebelumnya sangat kesal ketika Siena menyuruhnya menjaga Naira, mencemaskan gadis itu jika dirumah sendirian. Nyatanya tinggal bersama cewek yang Artha anggap aneh itu tidak terlalu membosankan.
Sekitar pukul enam pagi, ArArtha dan Naira sudah bersiap di depan meja makan. Bukan meja makan besar, hanya sebuah meja persegi yang terbuat dari kayu dengan plastik bermotif di bagian atasnya sebagai pelapis.
"Kok lo udah pake seragam aja? Bukannya
semalam lo nggak bawa baju?"
"Ada tadi yang nganterin," jawab Artha sembari mendaratkan pantatnya pada salah satu kursi plastik.
Naira mengambil nasi untuk diletakkan di atas piringnya sendiri, tak lupa ikan nila seekor serta sayur bayam. Dia duduk lagi setelahnya untuk menikmati masakan yang sudah disiapkan sejak
pagi-pagi buta.
Artha yang sejak tadi menunggu dengan piring kosong di meja menatap makanan Naira. Dia menunggu dilayani layaknya Siena saat mengambilkan bagian makanan Ravindra. Nyatanya menunggu sejak tadi, Naira tak kunjung mengambilkan makanan untuknya.
"Nai, mana bagian gue?"
Naira yang nyaris memasukkan suapan ke dalam mulutnya berhenti seketika, lalu berkata,
"Punya tangan? Ambil sendiri!"
"Punya!" jawab Artha. Namun, bukannya mengambil makanan yang tersedia di meja makan, lelaki itu malah mengambil piring Naira dan menggantinya dengan piring kosong miliknya.
Benar-benar cowok menebalkan.
"Ta, punya gue! Lo bisa nggak sih nggak ganggu
gue sebentar aja!"
"Enggak!" jawab Artha cepat.
"Buruan makan, Nai! Gue nggak mau telat!" Dia berkata seolah sejak tadi Naira yang lelet. Jelas saja Naira semakin dongkol. Mau tidak mau dia mengambil piring milik Artha, lantas mengambil makanan yang lain untuk segera menyarap makan pagi mereka sebelum berangkat sekolah.
Hanya butuh lima belas menit, makanan di piring masing-masing telah tandas tak bersisa. Tinggal duri ikan dan potongan cabe bekas sambal.
"Lumayan juga masakan lo!" Artha mengusap perutnya yang kekenyangan. Awalnya dia tak terlalu suka makanan sederhana seperti itu. Berhubung perutnya sudah lapar, semua makanan yang ada di depan mata rasanya lebih nikmat.
Naira melirik sekilas ke arah Artha, enggan menanggapi perkataan lelaki itu. Tangannya sibuk mengemasi piring-piring kotor, dan menyimpan makanan sisa pada tempatnya.
Saat Naira melewati Artha, pandangan Artha tertuju pada rok abu-abu Naira yang tampak seperti bekas stikan jarum. Keningnya berkerut. Perasaan saat terakhir bertemu menggunakan seragam yang sama, kondisi rok Naira baik-baik saja. Jelas saja Artha merasa heran.
"Nai!"
"Hemm."
Hanya deheman yang keluar dari bibir Naira. Tangannya cekatan membasuh piring yang sudah
penuh busa, meletakkan pada rak di sebelahnya.
"Seragam lo kenapa?"
Tangan yang masih basah langsung menutupi bagian belakang yang tampak jelas bekas jahitan tangan. Ada hal yang sepertinya sengaja Naira
sembunyikan dari Artha.
"Sobek lagi, ya?" tanyanya cemas.
Artha berjalan mendekat, berjongkok tepat di belakang rok Naira, membuka tangan yang sejak tadi menutupi rok tersebut agar terlihat jelas olehnya. Jahitannya cukup banyak. Tidak hanya pada satu tempat, melainkan banyak tempat. Hal itu jelas memuat kening Artha berkerut heran.
"Lo nggak punya seragam lain?" Mengabaikan
pertanyaan Naira, Artha kembali melemparkan pertanyaan.
Naira menggeleng.
"Kalau ada seragam lain, enggak mungkin gue masih pake seragam ini, kan?" Seharusnya pertanyaan itu tidak perlu dipertanyakan.
Bola mata tajam Artha mengarah lekat ke arah Naira, menatap gadis itu suram. Ternyata miris sekali kehidupan Naira. Di rumah, Artha sering kali merusakkan banyak seragam, tetapi dalam hitungan menit dia bisa mendapatkan seragam baru. Tapi Naira dengan susah payah menambal dan menjahit seragam yang sudah tak layak pakai agar bisa dipergunakan kembali. Melihat itu, Artha menjadi tak tega.
"Bolos, yuk!" kata Artha tiba-tiba.
"Hah! Maksud lo?"
"Gue lagi males berangkat. Gue anter lo beli seragam baru!" Awalnya Naira merasa terharu, tetap kemudian dia memukul pelan kepala Artha yang masih berjongkok di depannya.
"Auh, kualat lo, Nai! Durhaka sama suami!" Artha mengeluh sembari mengusap-usap kepalanya.
Naira merengut. Giliran seperti ini Artha selalu mengingatkan akan statusnya. Lelaki itu sepertinya suka sekali memanfaatkan posisinya untuk menindas.
"Lo pengen gue nggak naik kelas? Nilai gue udah jelek. Jangan membuat absensi gue ikut ikutan jelek. Udah, ayo berangkat! Kerjaan gue udah selesai."
Tak lagi memedulikan Artha yang belum bangkit dari posisi berjongkok, Naira berjalan melewati lelaki itu untuk mengambil tas yang sudah dipersiapkan sejak semalam.
"Buruan, Ta!" teriaknya lagi yang langsung membuat Artha bangkit dari sana.
Sekitar pukul tujuh kurang lima belas menit, motor Artha sudah memasuki area parkir sekolah. Naira turun dari motor sport merah yang saat ini menjadi perhatian banyak siswa, termasuk sepasang mata yang sedang menatap Naira dengan perasaan kesal.
"Lihat, tuh, Lit! Masak gebetan lo sekarang boncengan sama Naira?" bisik-bisik salah seorang dari mereka yang kini sedang duduk-duduk pada bangku taman.
"Berani banget, tuh, cewek!" ucap yang lain.
Thalita merah padam. Pelajaran yang kemarin dia berikan pada Naira sepertinya tidak membuat gadis miskin itu jera. Parahnya, Naira sekarang
semakin lengket pada Artha.
"Artha itu terlalu baik. Dia hanya kasihan sama uler keket itu. Lo tahu, kan, kalau Naira sangat miskin. Paling-paling sekarang keluarga Artha lagi bantuin keuangan keluarga Naira. Pokoknya cewek itu hanya menjual tampang miskinnya untuk menarik perhatian cowok-cowok tajir."
"Tapi tetep aja dia selangkah lebih maju dari lo. Apa pernah Artha ngajakin lo boncengan pake motor dia?" Rachel, sekretaris OSIS bertanya dengan nada menyindir. Dia juga kagum sama Artha. Hanya saja tidak menyukai sifat Thalita yang merasa dialah yang paling layak bersanding dengan Artha. Padahal dirinya jika dibandingin dengan Thalita jauh lebih baik. Menurutnya!
"Ini semua soal waktu. Gue bukan hanya bisa dibonceng Artha pake motor dia. Tapi gue bakal bikin Artha nembak gue di depan semua orang di sekolah ini. Gue janji!"
Sinta, teman sebangku Thalita mencolek lengan gadis itu.
"Lo yakin? Kayaknya Artha lebih tertarik pada Naira, deh!"
"Ssssstttt! Lo tuh sahabat siapa, sih?" celetuk Thalita kesal.
"Nggak ada jajan gratis buat lo nanti siang!" Gadis itu langsung pergi dengan membawa wajah kesal.
Sinta yang diancam langsung meringis.
"Gue bercanda kali, Lit! Ya kali gue temenan sama cewek miskin dan nggak punya otak kayak si Naira itu," katanya seraya berlari menyusul Thalita yang tampak sudah teramat kesal.
Sesampainya di kelas, walaupun Artha dan
Naira berangkat bareng, tak membuat keduanya masuk kelas bersamaan. Artha sengaja menyuruh Naira mendahuluinya, tak ingin hubungan mereka terlalu mencolok di depan publik. Sangat kacau andai semua warga sekolah tahu jika dirinya dan Naira sebenarnya sudah sah menjadi pasangan suami-istri. Bisa-bisa mereka akan menjadi trending topik, dibicarakan oleh seluruh warga sekolah.
Lagi, pelajaran matematika berada pada urutan jam pertama. Baru saja Naira mendaratkan pantat di bangku kayu, menyimpan tas pada belakang punggungnya, bel berbunyi nyaring. Tidak menunggu waktu lama karena semua murid dipastikan sudah berada di kelas dalam kondisi siap belajar.
Pak Malik masuk dengan beberapa buku di tangan. Kaca mata tebal yang selalu bertengger di hidungnya yang sedikit pesek menjadi ciri khas guru tersebut saat mengajar.
"Hari ini kita mulai belajar tentang Matriks. Kalian tahu apa itu matriks?" tanya Pak Malik memulai pembelajaran.
Semua bibir bungkam, tak berani menjawab atau sekedar mengangguk. Hanya ada keheningan
yang melingkupi seluruh penghuni kelas. Melihat tiada reaksi dari siswanya, Pak Malik melanjutkan.
"Matriks adalah susunan bilangan real atau kompleks yang disusun dalam baris ...." Cukup panjang penjelasan yang diuraikan oleh Pak Malik. Semua menyimak dengan menulis catatan kecil di buku tulis masing-masing tentang materi penting
yang disampaikan.
Seperti biasa, setelah memberikan materi, Pak Malik tak lupa memberi tugas dan soal-soal yang
membuat semua murid malas belajar matematika.
"Ah, kapan gue terbebas dari matematika!" Dimas melenguh setelah menggerakkan badannya memutar ke kanan dan ke kiri. Seakan-akan mendengar penjelasan Pak Malik membuat otot-otot sendinya terasa kaku.
Ahmad, teman sebangkunya hanya menggeleng ringan. Pasalnya sikap Dimas sejak tadi menjadi
perhatian guru matematikanya itu.
"Dimas, bicara apa kamu?" tanya Pak Malik
yang rupanya memiliki pendengaran cukup tajam.
"Anu, Pak. Anu ...." Dimas mendadak gelagapan. Semua mata tertuju padanya, dan tentu saja membuatnya semakin salah tingkah.
"Anu-anu! Yang jelas kalau ngomong!"
Mendadak dia menelan ludah. Punya guru galak memang makan hati. Dia berusaha tersenyum walaupun datar.
"Anu, Pak, Saya mendadak cinta matematika," ucapnya yang langsung mendapat sorakan teman-temannnya.
"Huuuu...."
"Modus-modus."
"Hush!" Pak Malik memukul meja menggunakan penggaris kayu. Saat itu juga suasana gaduh sekeika berubah hening.
"Kali ini tugasnya bukan sembarang tugas. Buat kelompok yang beranggotakan 4 orang. Tidak boleh kurang. Tulis dalam kertas nama setiap anggota. Saya akan berikan tugasnya setelah kalian mendapatkan kelompok yang tepat. Berhubung saya ada rapat dengan para guru, jadi pelajaran saya akhiri. Jangan berisik! Tetap di tempat sambil nyari teman kelompok. Mengerti?"
Wajah pasi semua anak yang membenci pelajaran matematika mendadak cerah. Akhirnya penderitaan berakhir dalam waktu lebih singkat
dari biasanya.
"Mengerti, Pak!" jawab semua siswa yang nyaris
bersamaan.
Tampak Pak Malik merapikan semua buku dan perlengkapan mengajarnya. Beliau berlalu dari kelas setelah menyampaikan semua hal yang perlu disampaikan. Kini semua siswa tampak
mengembuskan napas lega.
"Bebas!" seru mereka, tampak senang.
Thalita membawa buku catatan kecil, mendekati
Artha yang duduk bersandar sambil menekur smartphone di tangannya. Dengan penuh percaya diri, gadis itu duduk di samping Alka yang memang bangkunya kosong.
"Hai!" Mencoba berbasa-basi, Thalita menyapa
Artha dengan ramah.
Tatapan Artha mengarah pada wajah cantik dengan hidung mancung di sebelahnya. Dia hanya
menjawab singkat.
"Ya!" Wajah Thalita berseri. Tangan mengangsurkan buku catatan kecil pada Artha.
“Lo udah ada temen kelompok, belum?"
"Belum."
"Lo mau jadi inti grup gue. Lo bakal jadi ketua kelompoknya. Gue letakkan nama lo paling atas," ucapnya seakan sedang menawarkan dagangan.
Begitu manis dan persuasif.
"Apa untungnya jadi ketua kelompok?"
"Ya, lo yang bakal ngatur kelompok kita bakal gimana nantinya. Gue percaya sama kemampuan lo. Gue yakin lo bisa membuat kelompok kita jadi yang paling hebat." Thalita berupaya membujuk dengan segala janji manisnya.
"Memang Pak Malik ngasih tugas apaan?" Artha mengangkat kedua alisnya, bersandar gagah pada
kursi kayu sembari bersedekap dada setelah menyimpan ponselnya di dalam saku.
"Emm, itu ...." Thalita juga tak tahu apa tugas yang akan Pak Malik berikan. Baginya, asal ada kesempatan dekat-dekat dengan Artha semua alasan tak jadi soal.
"Pak Malik belum ngasih clue, sih. Tapi gue yakin kalau tugas itu nggak akan berat jika tim dengan anggota terbaik kayak kita bersatu. Jadi gimana, Ta? Lo mau kan jadi tim inti di kelompok gue?" tanyanya lagi dengan penuh harap. Walaupun dia sangat percaya diri jika tawarannya ini nggak bakal ditolak Artha.
"Okey. Terserah lo!"