“Lo cantik banget, sumpah,” bisiknya. “Gue gak bisa berhenti mikirin lo. Pingin banget lakuin ini sama lo. Padahal gue tahu, gue gak seharusnya kayak gini.”
Tangan gue masih main-main di perutnya yang berotot itu. “Kenapa lo merasa gak boleh lakuin itu sama gue?”
Dia kelihatan kayak lagi disiksa batin gara-gara pertanyaan itu. “Kayak yang udah gue bilang ... gue gak ngambil apa yang bukan milik gue.”
Tiba-tiba perutnya bunyi kencang di bawah tangan gue, dan kita berdua ketawa.
“Oke. Kita stop di sini dulu. Itu tadi cuma ciuman. Sekarang gue kasih makan lo, terus lo bisa kasih tahu gue alasan kenapa kita gak boleh ciuman lagi.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
White Party
Semua yang Jully lakukan itu jauh banget dari kata berteman.
“Dia bukan tipe Ailsa, dan memang kita nggak berteman,” gue angkat bahu santai. Tatapan gue ketemu sama Papa, terus gue batuk kecil, mencoba kelihatan tenang. “Tapi ya, yang datang tuh bukan Jully. Yang datang Caspian. Dia lagi mampir ke kota, pingin lihat kafe sama apartemen Ailsa.”
Meja langsung hening. Gue nengok ke arah Kakek, berharap dia bakal nimbrung buat mencairkan suasana. Tapi ternyata Papa yang duluan buka suara.
“Ngapain dia tiba-tiba ke kota? Dia baru saja kelar dari rehab, dan kita sudah bayarin apartemen dia buat enam bulan ke depan. Itu kan perjanjiannya. Selesain program, hidup bersih selama enam bulan, baru deh kita omongin soal dia bisa balik ke rumah atau nggak. Tapi ya jelas, dia langgar perjanjian itu lagi.” Papa gue mengelap mulut pakai serbet, rahangnya kelihatan kencang, dan gue langsung sadar kalau dia tegang banget cuma gara-gara nama Caspian disebut.
“Sekarang dia tinggal jauh banget dari sini, dan dia kangen keluarga. Dia cuma mampir pas weekend. Sekarang dia sudah dapat kerjaan dan minggu ini mulai kerja. Ailsa cerita soal kafe Ailsa, dan dia pingin kasih kejutan. Dia udah berubah, Pa dan kelihatan kayak Caspian yang dulu. Dia pingin balik lagi dalam waktu dekat, dan Ailsa janji bakal ngomong sama kalian soal itu. Menurut Ailsa, aturan enam bulan itu sudah nggak masuk akal. Dia sudah nyelesain programnya. Dia kangen keluarga. Dia kangen kalian,” papar gue panjang lebar sambil melirik Mama dan Papa bolak-balik.
Mereka sama sekali nggak pernah jenguk Caspian waktu dia di rehab. Mereka benar-benar nge-cut off dia. Cuma gue sama Kakek yang sempat jenguk dia.
“Kamu sendirian sama dia?” suara Papa sekarang dingin banget, lebih keras dari biasanya.
“Papa nanya, Ailsa sendirian sama kakak Ailsa sendiri di apartemen? Serius nih? Ya iyalah, Ailsa sendirian. Ailsa nggak takut sama Caspian, tapi kayaknya kalian deh yang takut.”
Gue bersandar di kursi, menyilangkan tangan di dada. Gue sebel banget lihat keluarga ini kayak kebelah jadi dua.
Kakek langsung batuk kecil, coba menenangkan suasana.
“Udah ya, yuk kita tenang dulu. Ada hal-hal yang belum kamu tahu, Ailsa. Ini bukan cerita yang bisa Kakek ceritain, tapi Caspian sudah bikin keluarga ini sakit hati banget. Dan sekarang dia harus berusaha mendapatkan kepercayaan orang tuanya lagi. Tapi satu hal yang bisa Kakek bilang ... mereka sudah dukung kamu sama Caspian lebih lama dari kebanyakan orang tua di luar sana. Caspian sudah bikin masalah besar buat keluarga ini beberapa tahun terakhir.”
Mereka semua jelas-jelas menyimpan rahasia besar waktu gue masih sekolah. Tapi entah kenapa, nggak ada yang mau cerita. Tapi satu hal yang pasti, ada yang berubah sejak terakhir Caspian ketemu Mama Papa.
“Sekarang dia kerja keras buat ngidupin dirinya sendiri. Dia itu pecandu. Itu bukan salah dia. Dia lagi sakit!” suara gue mulai berat, ada gumpalan di tenggorokan.
Capek banget rasanya terus-terusan membela Caspian. Gue cuma pingin suatu hari nanti dia benar-benar buktiin kalau gue nggak salah naruh harapan ke dia. Tapi sudah berapa kali sih gue bilang dia berubah, terus dia kumat lagi secepat itu juga.
“Tapi suatu saat, dia harus mulai tanggung jawab, Ailsa. Dia pecandu, dan kita sudah kirim dia ke rehab delapan kali. Kita bayarin semua program. Tapi dia tetap saja nyakitin keluarga ini, dan sekarang Mama sudah nggak percaya lagi sama dia,” kata Mama, matanya mulai berkaca-kaca. Dan sumpah, gue benci banget lihat Mama sedih cuma gara-gara gue sebut nama Caspian. Tapi gue harus coba. Soalnya gue tahu, sebenarnya dia juga kangen sama Caspian.
Kita semua kangen dia.
“Ailsa mengerti kok. Tapi dukungan dari kita tuh bakal bantu penyembuhan dia.”
“Dia sudah dapat dukungan finansial dari kita. Sisanya, dia harus berusaha sendiri, pelan-pelan,” kata Papa sambil menimpuk serbet ke meja. Kayaknya topik ini benar-benar bikin selera makannya ilang. “Kita dengarin kok, dan bakal kita pikirin. Tapi sekarang Papa minta satu hal.”
“Oke,” jawab gue, sambil telan gumpalan gede di tenggorokan.
“Papa nggak mau kamu ketemu Caspian sendirian. Itu nggak aman, terserah kamu percaya atau nggak. Kalau dia hubungin kamu, kasih tahu kita, dan kita yang atur buat temanin kamu.”
Nggak sempurna sih, tapi juga bukan jawaban paling buruk. Setidaknya Papa nggak tutup kemungkinan buat ketemu Caspian suatu hari nanti. Itu sudah lumayan ada kemajuan.
“Oke, bisa kok. Mungkin nanti pas dia balik, kita bisa makan malam bareng sekeluarga.”
Mama Papa saling tatap. Gue nggak mengerti itu tatapan apa, tapi ekspresi Mama kayak … kosong dan menyisakan bekas. Gue jadi mikir, bakal ada nggak ya hari di mana membicarakan soal kakak gue nggak bikin semuanya berat banget.
“Kita lihat dulu gimana dia kerja di tempat barunya, baru kita pikirin langkah selanjutnya,” kata Mama pelan. “Gimana kalau sekarang kita bahas soal White Party?”
“Wah, itu bagian favorit Nenek,” kata Nenek dengan senyum lebar.
Royal Blossom White Party itu acara tahunan keluarga gue di kota ini, dari gue kecil sudah ada. Nenek sama Mama yang selalu mengurusnya, mereka bikin perayaan yang megah, sekalian jadi acara amal juga. Semua orang di kota pasti datang.
Mama biasanya menyiapkan acara ini berbulan-bulan sebelumnya, dan tiap tahun acaranya makin ramai dan makin keren.
“Tahun ini Mama bakal undang beberapa band juga buat tampil. Pasti seru banget buat anak-anak muda di kota ini.” Mama ketawa kecil.
"Ailsa senang banget bisa tinggal di sini lagi tahun ini, jadi Ailsa bisa bantuin Mama kapan aja Mama butuh," jawab gue.
"Pastinya. Mama juga senang banget kamu bisa bantuin," kata Nyokap sambil senyum.
"Rasanya enak banget cucu cewek kita balik ke rumah," tambah Kakek.
Dan iya, memang enak rasanya bisa pulang. Tapi sekarang, gue harus cari cara biar keluarga ini bisa bersatu lagi.