Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Cahaya di Tengah Kegelapan
Kilauan merah semakin terang, menyingkap makhluk-makhluk besar yang melata di atas pasir dengan kecepatan luar biasa. Tubuh mereka seperti bercahaya, namun cahaya itu tidak membawa kehangatan—hanya ancaman. Suara raungan mereka menggema, menciptakan tekanan di udara yang membuat Ayla sulit bernapas.
Kael berdiri tegak, pedangnya berkilauan di bawah sinar aneh dari langit. Ia menoleh pada Ayla dengan tatapan tegas. “Tetap di belakangku. Jika sesuatu terjadi, lari secepat mungkin.”
Ayla menggeleng keras. “Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Kael membuka mulut untuk membalas, tapi makhluk-makhluk itu sudah terlalu dekat. Satu dari mereka melompat ke arah Kael, cakarnya yang tajam menciptakan garis api di udara. Kael mengayunkan pedangnya dengan cekatan, memotong serangan itu di tengah jalan. Sisa-sisa api beterbangan ke udara, sementara makhluk itu jatuh ke pasir dengan raungan kesakitan.
Namun, lebih banyak yang datang.
Ayla mencoba menenangkan napasnya, mengingat pelatihan yang diberikan Tuan Eldric. Ia mengangkat tangannya, memusatkan pikirannya. Perlahan, cahaya lembut mulai memancar dari telapak tangannya, menggema di sekitar mereka. Cahaya itu seperti perisai yang melindungi mereka dari serangan yang datang.
“Ayla, kau melakukannya!” seru Kael, suara kagum bercampur lega.
Ayla hampir tersenyum, tapi ia tahu ini bukan waktunya untuk lengah. Ia memfokuskan energinya, membentuk dinding cahaya yang lebih besar di sekitar mereka. Namun, setiap kali makhluk itu menyerang, kekuatannya terasa terkuras.
Kael berjuang melindungi mereka, menghalau makhluk yang berhasil menembus perisai Ayla. Setiap gerakannya tajam dan penuh determinasi, tapi ia tahu mereka tidak bisa bertahan lama.
“Ini terlalu banyak,” gumam Kael, napasnya berat. Ia menoleh pada Ayla. “Kau harus pergi. Aku akan menahan mereka.”
Ayla mendekat, tatapannya penuh amarah dan tekad. “Aku bilang aku tidak akan meninggalkanmu, Kael. Jangan pernah memintaku melakukan itu lagi.”
Kael tertegun, kehilangan kata-kata. Ada sesuatu dalam suara Ayla yang membuat semua keraguan dalam dirinya menghilang.
Namun, sebelum mereka bisa merencanakan langkah berikutnya, cahaya terang muncul di horizon. Suara nyanyian lembut terdengar, seperti ribuan suara yang bersatu dalam harmoni. Makhluk-makhluk itu tiba-tiba berhenti menyerang, tubuh mereka gemetar sebelum akhirnya melarikan diri ke dalam kegelapan.
Kael dan Ayla berdiri terpaku, menatap sosok yang muncul dari cahaya itu. Seorang wanita dengan rambut panjang berwarna perak dan mata yang bersinar seperti bintang. Ia melangkah mendekat, mengenakan jubah putih yang berkibar lembut di angin.
“Ayla dan Kael,” katanya, suaranya lembut namun penuh wibawa. “Kalian telah membuktikan keberanian kalian.”
“Siapa kau?” tanya Kael dengan nada waspada, masih menggenggam pedangnya erat.
Wanita itu tersenyum kecil. “Namaku Lyara. Aku penjaga gerbang antara dunia kalian dan dunia ini.”
Ayla memandang Lyara dengan takjub. “Kau tahu siapa kami?”
“Tentu,” jawab Lyara. “Kalian adalah bagian dari takdir yang lebih besar. Kekuatanmu, Ayla, adalah kunci untuk mengusir kegelapan yang dibawa Noir. Dan kau, Kael, adalah pelindungnya, meski hatimu sendiri terjebak dalam keraguan.”
Kael mengepalkan tangan, menundukkan kepala sejenak. “Apa maksudmu?”
“Kau meragukan dirimu sendiri,” kata Lyara, nadanya lembut namun tegas. “Tapi kekuatan sejati tidak datang dari pedang atau sihir, melainkan dari kepercayaan dan cinta.”
Ayla menoleh pada Kael, menyentuh lengannya. “Kael, aku percaya padamu. Kau tidak perlu sempurna. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri.”
Kael mengangkat wajahnya, menatap Ayla dengan mata yang mulai kembali bersinar.
Lyara melanjutkan, “Kalian akan menghadapi ujian yang lebih berat, tetapi ingatlah, hanya dengan bersatu kalian bisa mengalahkan kegelapan.”
Cahaya di sekeliling Lyara mulai memudar, dan sebelum mereka sempat bertanya lebih banyak, ia menghilang, meninggalkan keheningan yang damai.
Kael menoleh pada Ayla, menghela napas panjang. “Kurasa takdir kita tidak akan pernah mudah.”
Ayla tersenyum kecil. “Tapi kita punya satu sama lain. Itu cukup.”
Mereka berdiri di bawah langit malam yang kini kembali tenang, merasakan angin dingin yang membawa ketenangan sementara. Meski perjalanan mereka masih panjang, untuk sesaat, mereka merasa lebih kuat—bukan karena kekuatan sihir atau senjata, tapi karena keyakinan pada satu sama lain.
Setelah Lyara menghilang, keheningan di sekitar mereka terasa seperti selimut hangat yang melindungi dari dinginnya malam. Kael menyarungkan pedangnya, lalu menatap Ayla yang masih terdiam, memandangi langit tempat Lyara muncul.
“Semua ini terasa seperti mimpi,” gumam Ayla pelan, matanya sedikit berkabut. “Kadang aku berpikir, apa aku benar-benar bisa menghadapi semua ini?”
Kael berjalan mendekat, menunduk sedikit agar bisa sejajar dengan pandangannya. “Kau bisa, Ayla. Kau sudah melangkah sejauh ini, menghadapi ketakutanmu, dan itu sudah lebih dari cukup bukti.”
Ayla menoleh padanya, melihat ketulusan di mata Kael. Dalam heningnya malam, ia merasa ada dorongan kuat di dadanya untuk berkata lebih banyak. Namun, lidahnya terasa kelu.
“Kael,” akhirnya ia berkata, “jika aku gagal… jika sesuatu terjadi padaku…”
Kael mengangkat tangan, menghentikannya. “Jangan bicara seperti itu. Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu. Kita akan melewati semua ini bersama.”
“Aku hanya ingin kau tahu,” Ayla melanjutkan, suaranya melembut, “bahwa aku bersyukur kau ada di sini. Bersamamu, dunia ini terasa lebih ringan meski semua tampak mustahil.”
Kael terdiam, tatapannya melembut. Ia menyentuh bahu Ayla, lalu dengan hati-hati menariknya ke dalam pelukan. Awalnya Ayla kaku, tapi kemudian ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan itu.
“Kau juga membuatku percaya pada sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri, Ayla,” Kael berbisik. “Kita tidak hanya bertarung untuk dunia ini, tapi juga untuk apa yang kita miliki bersama.”
Pelukan itu tak berlangsung lama, tapi cukup untuk menenangkan hati mereka yang dipenuhi ketegangan.
Saat mereka melepaskan diri, Kael memandang Ayla dengan senyum kecil. “Kita perlu istirahat. Besok mungkin akan menjadi hari yang lebih berat.”
Ayla mengangguk. Mereka menata tempat untuk tidur di bawah naungan batu besar, dengan sisa-sisa cahaya dari bintang yang perlahan meredup.
Sebelum memejamkan mata, Ayla memikirkan kata-kata Lyara—tentang kepercayaan, cinta, dan takdir mereka. Ia tahu perjalanan ini akan sulit, tetapi ia juga merasa bahwa selama Kael ada di sisinya, ia memiliki kekuatan untuk terus melangkah.
Kael, di sisi lain, duduk diam beberapa saat, memandang Ayla yang mulai terlelap. Ada janji yang ia buat dalam hatinya malam itu—janji untuk melindungi Ayla tidak hanya dari ancaman luar, tapi juga dari rasa takut yang mungkin menguasai dirinya sendiri.
Malam itu berlalu dengan tenang, meski bayangan Noir dan ancaman yang lebih besar masih mengintai di kejauhan.
Malam berlalu dengan kesunyian yang menenangkan, seolah dunia memberikan mereka waktu untuk bernapas sejenak. Di bawah langit penuh bintang, Ayla dan Kael tertidur dekat satu sama lain, saling mengandalkan kehangatan untuk melawan dinginnya malam. Namun jauh di balik cakrawala, kegelapan bergerak pelan, menunggu saatnya untuk menyerang. Cahaya harapan mungkin telah menyinari jalan mereka, tapi bayangan Noir tidak akan membiarkan mereka melangkah tanpa perlawanan. Di tengah heningnya malam itu, perjalanan baru telah menanti, membawa mereka lebih dekat pada takdir yang telah digariskan.