Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Ruang Pertemuan yang Tegang
Pagi itu, Adara tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Masih jam tujuh pagi, namun ia sudah berada di meja kerjanya, merapikan tumpukan dokumen yang akan dibawa ke rapat besar perusahaan. Udara pagi yang dingin tidak mampu meredakan kegelisahan di dalam hatinya. Hari ini, pertemuan penting akan berlangsung di ruang rapat utama, dan ini bukan hanya sekadar rapat biasa. Arga, sang CEO, telah menekankan pentingnya pertemuan ini sejak minggu lalu.
Adara bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Aura ketegangan sudah terasa sejak ia melangkah masuk ke gedung kantor. Beberapa kolega yang biasanya menyapanya pagi-pagi tampak lebih sibuk dari biasanya, bahkan ada yang tampak gugup. Ada desas-desus bahwa beberapa keputusan besar akan diambil hari ini—keputusan yang bisa mengubah arah perusahaan, mungkin bahkan kehidupan beberapa karyawan.
"Adara, sudah siap untuk rapat?" tanya Rani, rekan kerjanya yang duduk di meja sebelah. Rani menatap Adara dengan sorot mata khawatir, menambah beban di pikirannya.
"Saya sudah menyiapkan semuanya," jawab Adara sambil tersenyum tipis. Namun, di dalam hatinya, ada kecemasan yang tak bisa ia abaikan. Arga, sang CEO, tampak semakin sulit ditebak akhir-akhir ini. Meski mereka semakin dekat dalam beberapa minggu terakhir, Adara tahu bahwa di balik pesona dan karisma Arga, ada seorang pria yang membawa beban besar di pundaknya. Dan hari ini, beban itu tampaknya akan mencapai puncaknya.
Setengah jam kemudian, seluruh anggota direksi mulai berkumpul di ruang rapat utama. Ruang tersebut luas, dengan dinding kaca yang memungkinkan cahaya matahari pagi menyinari ruangan. Namun, kehangatan sinar matahari tidak mampu mengusir rasa dingin yang menjalar di ruangan itu. Adara duduk di kursi samping, persis di sebelah tempat duduk Arga, siap membantu jika dibutuhkan.
Arga masuk beberapa menit kemudian. Seperti biasa, ia tampil memukau dengan setelan jas hitam yang sempurna, rambutnya tersisir rapi, dan sorot matanya yang tajam. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari dirinya hari ini. Matanya tampak lebih gelap, seakan menyimpan amarah atau mungkin kekhawatiran yang mendalam.
Setelah beberapa saat, Arga mengambil tempat duduknya di ujung meja. Ia memandang setiap orang yang hadir di ruangan itu dengan serius. Semua percakapan kecil segera berhenti, dan suasana hening menyelimuti ruangan.
“Baiklah, terima kasih sudah datang lebih awal,” suara Arga memecah keheningan. Suaranya terdengar tegas, namun ada sedikit nada dingin yang tidak biasa. “Kita semua tahu bahwa pertemuan ini sangat penting. Beberapa bulan terakhir, kita telah menghadapi tantangan besar, baik secara internal maupun eksternal. Tapi saya ingin kita fokus pada bagaimana kita bisa memperbaiki keadaan.”
Arga melanjutkan penjelasan mengenai tantangan yang dihadapi perusahaan, mulai dari penurunan penjualan hingga persaingan ketat dari perusahaan lain. Adara dengan sigap menyerahkan dokumen pendukung setiap kali Arga menyebutkan laporan keuangan atau data yang relevan. Tangannya gemetar sedikit, tapi ia berusaha tetap tenang. Suasana di ruangan itu begitu tegang hingga setiap kata yang keluar dari mulut Arga terasa berat.
Namun, ketegangan yang lebih besar datang ketika salah satu direktur, Pak Rendi, mulai mempertanyakan keputusan-keputusan Arga. "Dengan segala hormat, Tuan Arga, saya rasa strategi yang kita jalankan selama ini tidak lagi relevan. Pasar sudah berubah, dan kita belum bergerak cepat untuk menyesuaikan diri."
Suasana semakin memanas ketika beberapa direktur lain mulai ikut campur. Mereka mengkritik berbagai aspek manajemen perusahaan. Setiap kritik yang dilontarkan tampaknya menghantam Arga dengan keras, namun ia tetap tenang di luar. Adara, yang duduk di sampingnya, bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuhnya. Arga menahan diri, tetapi amarah itu tampaknya siap meledak kapan saja.
“Jadi, menurut Anda semua, saya gagal memimpin perusahaan ini?” suara Arga terdengar tajam, tetapi tetap tenang. Matanya menyapu seluruh ruangan, menantang siapa pun yang berani menjawab. Ruangan itu langsung hening. Tidak ada yang berani menjawab pertanyaannya. Semua orang tampak menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pak Rendi akhirnya memberanikan diri untuk berbicara lagi, meskipun suaranya terdengar lebih hati-hati kali ini. "Bukan itu maksud kami, Tuan Arga. Kami hanya merasa bahwa mungkin kita perlu mempertimbangkan pendekatan yang berbeda. Mungkin, dengan pandangan baru dari luar, kita bisa menemukan solusi yang lebih baik."
Adara bisa merasakan Arga semakin tegang. Dalam beberapa minggu terakhir, ia tahu betapa Arga berjuang keras untuk menjaga keseimbangan perusahaan. Arga adalah tipe pria yang tidak suka dianggap gagal, dan kritik ini jelas menyentuh egonya. Meski begitu, ia tetap berusaha mempertahankan ketenangannya di hadapan direksi.
“Kita tidak membutuhkan pandangan dari luar,” jawab Arga dingin. “Saya tahu apa yang terbaik untuk perusahaan ini. Dan jika ada yang merasa tidak sejalan dengan visi saya, pintu keluar selalu terbuka.”
Nada ancaman dalam suara Arga membuat suasana semakin mencekam. Beberapa direktur tampak tidak nyaman, sementara yang lain saling berpandangan, seolah mencari dukungan satu sama lain. Adara merasa situasinya bisa memburuk kapan saja.
Ketegangan semakin terasa ketika Arga tiba-tiba berdiri dan berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke kota. Ia menatap keluar, memunggungi semua orang di ruangan itu. Suasana sunyi, hanya terdengar detak jam yang pelan namun terasa menghantui.
"Perusahaan ini dibangun dari bawah oleh keluarga saya," Arga mulai berbicara lagi, kali ini suaranya lebih lembut, tetapi penuh dengan emosi yang tertahan. "Saya telah mengorbankan banyak hal untuk sampai di sini. Jadi, ketika saya mengatakan saya tahu apa yang terbaik, saya tidak mengatakannya tanpa alasan."
Adara memandang Arga dengan cemas. Ia bisa melihat bahwa di balik ketegasan dan kemarahan Arga, ada rasa frustrasi yang mendalam. Arga memikul beban yang sangat berat, dan Adara tahu bahwa perasaan itu mungkin membuatnya semakin sulit untuk berpikir jernih.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Arga akhirnya berbalik kembali menghadap meja rapat. "Saya akan mempertimbangkan masukan kalian," katanya dingin. "Tapi ingatlah, ini adalah tanggung jawab saya. Jika ada yang ingin menantang keputusan saya, lakukanlah di tempat yang seharusnya."
Pertemuan itu berakhir dengan suasana yang masih tegang. Para direktur keluar dari ruangan satu per satu, meninggalkan Adara dan Arga di dalam ruangan yang kini terasa semakin sempit oleh ketegangan emosional. Adara berdiri, hendak mengambil dokumen-dokumen yang berserakan di meja, tetapi tangannya terhenti ketika ia melihat Arga masih berdiri di depan jendela, menatap kosong ke luar.
"Arga..." Adara memanggil pelan, tetapi ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Di balik sosok pria kuat itu, ada seseorang yang sedang terluka.
Tanpa berpikir panjang, Adara mendekati Arga dan berdiri di sampingnya. "Kau tahu, kau tidak sendirian dalam semua ini," bisiknya, berharap bisa memberikan sedikit penghiburan.
Arga tidak menjawab, tapi ia akhirnya menoleh dan menatap Adara dengan sorot mata yang lembut, meskipun rasa sakit masih terlihat jelas. "Terima kasih, Adara," ucapnya lirih.
Dan untuk pertama kalinya, Adara melihat sisi lain dari Arga—sisi yang rapuh, yang terperangkap di antara harapan dan beban tanggung jawab yang berat.