Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia Pilot
Gue tarik napas dalam-dalam buat menenangkan diri dan meletakan gelas itu pelan-pelan di wastafel.
“Gue udah selesai ngerjain tugas,” balas gue, sambil menelan ludah dalam-dalam melewati tenggorokan. Gue menatap ke piring-piring yang sekarang sudah rapi di rak. “Piring-piringnya kotor.”
Dia senyum.
Gue rasa.
Begitu bibirnya mulai melengkung ke atas, tiba-tiba langsung balik lagi jadi garis lurus.
“Semuanya udah pulang,” katanya, kasih isyarat kalau gue boleh pergi dari apartemennya.
Dia lihat jus jeruk yang masih ada di meja, terus dia ambil dan taruh lagi di kulkas.
“Maaf,” gumam gue. “Gue haus.”
Dia berbalik dan menghadap gue, bahunya menempel ke kulkas, terus menyilangkan tangan di dadanya. “Gue enggak peduli kalo lo minum jus gue, Tia.”
Wow.
Kalimat itu terdengar seksi, anehnya.
Begitu juga caranya bicaranya. Tapi tetap enggak ada senyum.
Astaga, cowok ini.
Apa dia enggak sadar kalo ekspresi wajah itu harusnya bisa mewakili apa yang dia ucapkan?
Gue enggak mau dia lihat kekecewaan gue, jadi gue balik lagi ke wastafel. Gue pakai semprotan Cling buat bersihkan sisa-sisa busa ke saluran pembuangan. Gue rasa itu cukup tepat, melihat suasana aneh yang begitu canggung di dapurnya.
“Lo udah berapa lama tinggal di sini?” tanya gue berusaha menghilangkan keheningan sambil menghadap dia lagi.
“Empat tahun.”
Gue enggak tahu kenapa gue ketawa, tapi gue ketawa saja.
Dia angkat alis, bingung kenapa jawaban dia bikin gue ketawa.
“Gue cuma mikir apartemen lo...” Gue lihat ke arah ruang tamu, terus balik lagi ke dia. “Kayaknya kurang berwarna. Gue kira lo baru pindahan dan belum sempat buat ngedekor.”
Gue enggak bermaksud mengeluarkan kata-kata itu sebagai bullyan, tapi kenyataanya memang begitu.
Gue cuma berusaha bikin obrolan, tapi kayaknya gue malah bikin suasana makin canggung.
Matanya bergerak pelan mengelilingi apartemennya, mencerna komentar gue. Gue harap bisa menarik kata-kata gue kembali, tapi gue enggak bisa. Gue rasa itu cuma bikin keadaan menjadi lebih buruk.
"Kerjaan gue banyak banget," katanya. "Gue enggak pernah punya tamu, jadi kayaknya itu enggak terlalu prioritas buat gue."
Gue ingin tanya kenapa dia enggak pernah punya tamu, tapi ada beberapa pertanyaan yang kayaknya enggak boleh ditanya ke dia.
"Ngomong-ngomong soal tamu, ada apa sama Joshi??"
Tama mengangkat bahunya, menyandar ke kulkas. "Joshi itu cowok berengsek yang enggak punya rasa hormat sama istrinya," jawabnya datar.
Dia berbalik dan keluar dari dapur, menuju kamarnya. Dia tutup pintu kamar, tapi enggak sepenuhnya, jadi gue masih bisa dengar dia ngomong. "Gue cuma mau kasih tahu lo sebelum lo kepincut sama aktingnya."
"Gue enggak gampang kepincut sama akting," sahut gue. "Apalagi yang kayak Joshi."
"Bagus," katanya.
Bagus?
Tama enggak mau gue suka sama Joshi?
"Amio enggak bakal suka kalau lo mulai ada apa-apa sama dia."
Oh.
Dia enggak mau gue suka sama Joshi demi Amio.
Tapi kenapa gue malah kecewa, ya?
Tama keluar lagi dari kamarnya, dan sekarang dia enggak pakai jeans sama kaos lagi.
Dia pakai celana bahan dan kemeja putih yang masih belum dikancing.
"Lo pilot?" tanya gue, sedikit bingung. Meski suara gue kedengaran agak kagum.
Dia mengangguk dan jalan ke kamar mandi yang berada di dekat dapur. "Gue kenal Amio dari situ," balasnya. "Kita dulu sama-sama sekolah penerbangan."
Dia balik lagi ke dapur bawa keranjang cucian dan menaruhnya di meja. "Dia orang baik."
Kemejanya masih belum dikancing. Gue memperhatikan perutnya.
Ya ampun, dia punya V-line.
Itu garis indah di tubuh cowok yang melintang di otot perut mereka, terus hilang ke dalam jeans seolah-olah menunjuk ke sebuah titik rahasia.
Ya Tuhan, Tia, lo memperhatikan dengan cermat ke arah selangkangannya!
Dia mulai mengancingi kemejanya, jadi entah bagaimana gue dapat kekuatan super dan paksa mata gue buat balik menatap ke wajahnya.
Tapi kenapa itu malah bikin gue terkesan?
Gue enggak terkesan waktu tahu Joshi juga pilot.
Tapi, gue enggak tahu apakah Joshi juga pilot yang suka cuci baju sambil pamer perut six-pack. Cowok yang cuci baju sambil pamer perut six-pack dan jadi pilot memang benar-benar keren menurut gue.
Sekarang Tama lengkap dengan pakaian Pilotnya. Dia lagi memasang sepatu, dan gue memperhatikan dia kayak lagi lihat teater, dan dia pemeran utamanya.
“Memangnya lo aman?” tanya gue, akhirnya bisa menemukan satu pikiran jernih. “Lo barusan minum-minum sama teman-teman lo, dan sekarang lo mau terbangin pesawat komersil?”
Tama menarik jaketnya yang berlogo maskapai, terus ambil tas hitam yang sudah siap dari lantai. “Gue cuma minum air putih malam ini,” katanya sebelum keluar dari dapur. “Gue enggak terlalu suka minum. Dan gue jelas enggak minum pas malam gue kerja.”
Gue ketawa dan mengikuti dia ke ruang tamu. Jalan ke meja buat mengambil barang-barang gue. “Kayaknya lo lupa, deh, gimana kita ketemu,” jelas gue. “Hari pertama gue pindahan? Ada yang tidur di lorong?”
Dia buka pintu depan buat kasih jalan gue keluar. “Gue enggak tahu lo lagi ngomongin apa, Tia,” balasnya.
“Kita ketemu di lorong ini. Ingat?”
Gue enggak bisa menebak dia bercanda atau enggak, soalnya enggak ada senyum atau kilauan di matanya.
Dia menutup pintu di belakang kita. Gue kasih balik kunci apartemennya, dan dia mengunci pintunya.
Gue jalan ke pintu apartemen gue dan membukanya.
“Tia??”
Gue hampir pura-pura enggak dengar biar dia panggil nama gue lagi. Tapi, gue malah putar badan dan menghadap dia.
“Maksud lo, malam itu lo nemuin gue di lorong ini? Enggak mungkin.”
Ada sesuatu yang enggak terucap di matanya, dan mungkin juga di suaranya.
Dia berdiri di depan pintu apartemennya, siap buat jalan ke arah lift. Dia menunggu buat lihat apakah gue bakal ngomong sesuatu atau enggak.
Harusnya gue bilang selamat tinggal.
Mungkin gue harus bilang semoga penerbangannya aman.
Atau gue harusnya cuma bilang selamat malam.
“Gue punya saksi, kok, kalau lo gulung-gulung di depan pintu apartemen abang gue. Yesica, iya, lo tanya aja sendiri sama Yesica kalau enggak percaya?”
Iya.
Gue benar-benar memilih buat mengucapkan kalimat itu daripada yang lain.
Sialnya kenapa gue malah ngomong itu?
Postur tubuhnya langsung berubah. Ekspresinya membeku, sepertinya kata-kata gue barusan enggak sengaja menyetrum dia.
Dia mungkin bingung kenapa gue ngomong begitu, soalnya jelas dia enggak ingat apa-apa soal malam itu.
Cepat, Tia.
Cari cara buat menutupinya.
“Lo kira gue itu seseorang yang namanya Yesica,” jelas gue dengan buru-buru, mencoba menjelaskan keanehan ini sebaik mungkin.
“Gue cuma mikir mungkin ada sesuatu yang terjadi di antara lo berdua, dan itu kenapa... ya, gitu.”
Tama menarik napas dalam-dalam, tapi dia mencoba buat menutupi.
Gue berhasil masuk ke ranah sensitif dia.
Sepertinya Yesica itu topik yang enggak boleh dibahas.
“Bye, Tia,” katanya sambil berbalik badan.
Gue enggak bisa mengerti apa yang barusan terjadi.
Apa gue bikin dia malu?
Bikin dia marah?
Bikin dia sedih?
Apa pun yang gue lakukan, gue benci perasaan ini.
Kecanggungan yang saat ini memenuhi ruang antara pintu gue dan lift yang sekarang dia lagi berdiri di depannya.
Gue masuk ke apartemen gue dan tutup pintu, tapi kecanggungan itu seperti menempel di mana-mana. Enggak cuma di lorong tapi di setiap inci dinding kamar gue.