Dominica Sophia Raviola Dexter, gadis cantik berusia 16 tahun itu merasa hidupnya tidak tenang karena selalu dipertemukan oleh seorang pria bernama Alexander Kai Devinter, pria yang berusia 12 tahun jauh di atas dirinya.
Alexander Kai Devinter, laki-laki berusia 28 tahun, pria single yang dingin dan menutup hati setelah kepergian sang kekasih, hingga orang tuanya nyaris kehilangan harapan memiliki menantu, mulai bangkit kembali dan mulai mengejar gadis yang membuatnya jatuh hati. Setelah pertemuan malam hari di sebuah pesta itu.
Bagai terikat sebuah benang takdir, keduanya selalu dipertemukan secara tidak sengaja.
Akankah Sophia menerima takdir cintanya, atau justru membuat takdir cintanya sendiri?
Don't Boom like!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Claudia Diaz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Kantor Polisi
“Argh!" entah sudah berapa kali Kai mengerang karena frustasi tidak dapat menghilangkan bayang-bayang malam itu, membuat hati, pikiran, serta penampilan pria tersebut tampak kacau, bahkan sangat kacau.
Ini merupakan kali pertama ada wanita yang membuat hidupnya sekacau ini. Semenjak kepergian Berlian 11 tahun silam.
“Ayolah, Kai. Fokuskan dirimu. Jangan memikirkan hal-hal yang tak penting, dia hanyalah gadis labil berusia 16 tahun!" marahnya pada diri sendiri.
Berkali-kali ia membuang napasnya dengan kasar, berharap pikirannya kembali normal. Akan tetapi, Kai tak ingin munafik. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana nikmatnya belahan daging itu, kala bibirnya menyapa bibir milik sang gadis, terasa lembut, manis, dan kenyal. Untuk sesaat Kai menemukan candu yang baru untuknya.
Jika dunia mengizinkan, ia ingin menikmati bibir itu lagi. Akan tetapi, pria itu mawas diri, tidak ada hubungan yang terjalin antara dia dan gadis itu. Sisi warasnya selalu mengingatkan untuk tidak berbuat hal gila yang berujung mempermalukan dirinya.
Tok! ... tok! ... tok! Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan nista Kai.
“Masuk!"
Tampak Raffi membuka pintu, “Oi, Bro!"
Kai tampak malas melihat sekretarisnya yang satu ini, “Ada apa?"
“Nih, berkas yang harus kau tandatangani," Raffi memberikan berkas yang harus ditandatangani pria berkulit tan itu. “Kenapa, sih denganmu. Masih memikirkan bungsu keluarga Dexter?"
“Diam!" sentak Kai.
“Ye, marah-marah terus. Kenapa lagi, hari ini aku bersedia membuka konseling untuk sahabatku tercinta ini," Raffi menawarkan bantuan.
“Tidak minat konseling, saranmu tidak bermutu soalnya," tolak Kai mentah-mentah.
“Brengsek kau, ya. Cih!" umpat Raffi sambil melempar pulpennya.
“Jika tidak ada yang kau sampaikan. Lebih baik kau keluar. Aku menggajimu untuk bekerja, bukan makan gaji buta dengan bergosip!"
“Iya-iya, kalau begitu saya permisi!" pamit Raffi, kemudian keluar ruangan dengan membanting pintu.
“Sangat tidak sopan," cibir Kai.
Ciuman itu memang bukan yang pertama kali untuknya. Dulu, saat ia masih remaja, Kai juga pernah berciuman dengan wanitanya, tentu saja rasanya sangat lembut dan perutnya merasa menggelitik. Dan itu sudah lama sekali tak merasakan itu. Dan kini, anehnya dia merasakan perasaan itu kembali. Perutnya terasa menggelitik, merasakan bibir semanis madu. Dan itu dari bibir seorang gadis berusia 16 tahun.
Itulah yang membuat Kai merasa gila. Rasanya ia begitu merindu akan kenikmatan bibir tersebut, tetapi apa alasan untuk bertemu di saat tak memiliki hubungan apa pun? Jangankan memiliki hubungan, kenal dekat pun tidak.
Haruskah ia menculik gadis itu? Maaf saja, dia tidak ingin berhadapan dengan seorang Kevin Dexter. Ia masih sayang nyawa.
Mengakrabkan diri dengan keluarga Dexter? Setahunya perusahaan sang ayah sedang menjalin kerjasama dengan perusahaan Dexter.
Dengan cepat ia menghubungi Raffi, “Halo?"
“Kenapa?"
“Kapan perusahaan kita mengadakan pertemuan dengan Dexter Corp?"
“Lusa, Pak."
“Ah, baiklah terima kasih," Kai menutup sambungan sepihak. Sementara di ruangan berbeda, Raffi hanya mencibir, “dasar modus!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Panasnya matahari yang menyinari lapangan outdoor terasa membakar kulit hingga ke tulang. Soya masih setia berdiri di sana menghadap ke arah bendera dan memberikan sikap hormat. Mulutnya menggerutu, menyalahkan tingkah bodohnya saat berada di kelas tadi.
“Mimpi sialan. Bagaimana bisa aku malah terbayang-bayang Paman itu? Dasar Paman tua predator. Jika aku bertemu dirinya, akan kupotong pisangnya. Lihat saja nanti!" ucap Soya sambil mengepalkan tangannya.
“Memang pisang siapa yang ingin kau potong?" seseorang menepuk pundaknya, membuat Soya terperanjat.
“Astaga, Jayden Si Casper. Bisa tidak, sih, tidak membuat orang kaget?"
“Tidak bisa. Lagipula kau seperti orang gila, sih. Bicara sendiri, membahas pisang lagi. Dasar otak kotor!"
“Aku memang harus melakukannya. Karena aku jadi korban pelecehan, kau tahu?!"
Jayden menolehkan kepalanya, ”Yang benar, kau tidak bercanda, kan?! Kasihan sekali orang itu. Di saat gairahnya sedang tinggi-tingginya, bukannya dapat wanita cantik, eh, malah dapat Pinguin Bantat."
Soya menggeram, ingin rasanya menghancurkan wajah temannya yang sok tampan itu, “Apa kau bilang, Pinguin Bantat?! Hei, aku tidak bantat, ya. Aku itu tinggi dan ideal. Untuk ukuran perempuan, tubuhku ini tubuh idaman para wanita. Dasar vampir sialan!"
“Aku tidak percaya," goda Jayden mencoba memancing emosi gadis di sampingnya.
Lagi-lagi tangan Soya mengepal. Dalam sekejap dirinya telah menghujani Jayden dengan pukulan mautnya.
Bugh! Bugh! Bugh!
“Casper sialan, mati saja sama. Kau hanya bisa memancing emosi seseorang saja, sini kau, aku akan membunuhmu!"
”Argh! ... ampun ... ampun! Sophia ini sakit, kau berniat membunuhku sungguhan, huh?!"
Wajah Jayden sudah memerah paru-paru terasa sempit, ia butuh pasokan udara saat ini juga. Demi Tuhan, kuncian kaki Soya sangat mematikan.
“Kau tega padaku, aku belum membawakan menantu idaman untuk Mommy dan Daddy, tolonglah beri aku kesempatan untuk menikmati hidup dalam bahtera rumah tangga, suatu hari nanti," mohon Jayden dengan wajah memelas. Seketika Soya berhenti dan melepaskan kunciannya.
”Cih, dasar jomlo, makanya cari pacar!" Soya memajukan bibirnya, bermaksud meledek sahabat kecilnya itu.
“Mirror please! Kaupikir kau punya pacar? Hubungan belum ada setahun saja sudah diselingkuhi," skakmat ucapan Jayden membuat Soya mati kutu.
Detik berikutnya sebuah sepatu melayang dan mendarat dengan tepat di kening Jayden. Sebuah umpatan meluncur dengan indah dari mulutnya, “Sakit, dog!"
“You're welcome,' balas Soya sambil mengambil sepatunya kembali. “Jay, kantin yuk?"
“Maaf, Anda siapa, ya?"
“Jangan sok. Kulempar lagi dengan sepatu, mau?"
“Hei, kau itu sedang dihukum. Dan ini belum masuk istirahat kedua," Jayden mengingatkan.
“Aku tidak peduli, lagipula tidak ada yang mengawasi, beliau sibuk mengajar dengan intonasi yang tak jelas dan membuat murid tertidur," Soya menarik tangan Jayden menuju kantin.
“Nasi kari satu dengan es teh, Bu!" pesan Soya. Ibu kantin itu hanya mengacungkan ibu jarinya. “Kau ingin pesan apa, Anak Muda?"
“Ah, samakan saja, Bu," jawab Jayden.
Sembari menunggu pesanan siap, Soya dan Jayden bermain ponsel. Tiba-tiba saja Jayden menepuk pundak gadis itu dengan sedikit berlebihan, “Soya, ada balapan nanti malam!"
“Biasa saja, dong. Sakit tahu! Omong-omong balapan apa?"
“Motor."
“Berapa?"
“Apanya?"
“Taruhan yang dipasang, bodoh!"
“Lima juta, ambil saja, ya! Ayolah, pasti Uncle mengizinkan!"
“Daddy tidak berada di luar negeri. Bagaimana aku bisa mengambil tawaran itu?"
“Lagipula aku sudah berjanji pada Daddy untuk tidak berbuat kenakalan lagi setelah insiden di diskotek semalam," jelas Soya.
“Kau masuk ke diskotek, kenapa kau masuk ke sana?"
“Aku melihat Richard sedang bermain dengan kupu-kupu malam di sana dan aku menghajarnya, kemudian memutuskan hubungan kami," Soya langsung menerima es teh ketika ibu kantin mengantar pesanan mereka.
“What the ... bajingan sekali!" komentar Jayden, tak menyangka jika kekasih sahabatnya sebrengsek itu.
“Itu dia, aku merasa frustasi karena pengkhianatan itu dan minum sampanye hingga mabuk dan menantang pria dewasa untuk berkelahi di sana ...."
“Goblok!"
Soya menatap kesal sang sahabat, “Jangan potong ceritaku, Vampir sialan!"
“Oke, maaf. Lanjutkan!"
“Dan setelah itu aku dibawa pergi oleh seorang pria, mungkin maksudnya untuk menolongku agar tidak dihajar oleh pria dewasa di sana, tetapi tetap saja dia yang melecehkanku. Dia menciumku di dalam mobilnya. Brengsek, bukan?"
“Masih untung hanya dicium, daripada dirudapaksa?"
“Sinting!"
“Apa yang salah dari ciuman, memang selama ini kau belum pernah berciuman dengan kekasihmu itu?" tanya Jayden penasaran.
Soya menggeleng, ini merupakan jawaban yang mengejutkan, hingga Jayden tersedak saat minum saking tak percayanya.
Brush!
“Uhuk! Serius kau belum pernah berciuman?" Jayden bertanya lagi yang masih dibalas dengan jawaban yang sama oleh Soya, “rugi!"
“Apanya yang rugi? Dasar otak udang! Justru aku bersyukur karena aku masih menjaga kesucianku. Aku tidak dinodai oleh lelaki brengsek itu!"
“Akan tetapi, bibirmu dinodai oleh seseorang yang menolongmu. Itu sama saja, bibirmu sudah tidak suci lagi," balas Jayden tak mau kalah.
Skakmat, Soya terdiam mendengar balasan Jayden. Jika dipikir-pikir apa yang dikatakan Jayden ada benarnya juga.
“Argh!" Soya mengerang kesal.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Waktu terus berjalan, hingga matahari kembali ke peraduannya hingga tiba saatnya sang dewi malam menunjukkan eksistensinya. Dinginnya angin malam yang berhembus membuat roma berdiri dan terasa menusuk tulang. Namun demikian, hal itu tak membuat semangat Soya padam di tengah lautan manusia yang tengah mengerubungi dirinya.
Ada apa gerangan?
Ya, Soya pada akhirnya mengambil taruhan balap motor itu, tentu saja ia ditemani Jayden. Sebenarnya Bruzetta memaksa untuk ikut, tetapi Soya melarangnya.
Dengan menunggangi kuda besi dan mengenakan helm full face, serta jaket kulit yang berwarna hitam yang melekat di tubuhnya, Soya tampak yakin dan percaya diri bahwa ia bisa memenangkan taruhan ini.
Raungan kuda besi terdengar begitu nyaring menandakan kesiapan mereka untuk beradu. Jayden tengah memberikan nasehat untuk Soya supaya lebih berhati-hati. Karena ia memiliki firasat buruk pada rival sahabatnya ini.
Begitu kain dilempar ke atas, Soya langsung menginjak gas motornya dan melesat dengan cepat. Teriakan dan tepuk tangan semakin lama, semakin tak terdengar, seolah hilang ditelan angin malam.
Mata Soya masih terus terfokus pada jalanan di depannya. Dan benar saja apa yang dikatakan oleh Jayden tadi. Rivalnya yang tengah menyusulnya itu melihat ke arahnya.
Dengan tiba-tiba sang rival menyenggol motor Soya disaat Soya tengah melajukan motornya dalam kecepatan tinggi, mengakibatkan motor yang dikendarai Soya hilang kendali dan menabrak mobil yang kebetulan melintas dari arah berlawanan.
Soya sendiri terlempar ke depan dan jatuh di atas kap mobil yang ditabraknya.
Bruk!
“Bajingan, shhh! umpat Soya sembari meringis kesakitan. Pemilik mobil pun keluar untuk melihat siapa yang jatuh di kap mesin mobil miliknya.
“Ternyata ada balap liar di sini," Kai berdecak, merasa kesal dengan ulah para remaja yang mengganggu pengguna jalan lain. Maka dari itu, ia langsung menelepon polisi untuk menertibkan jalan dan menyapu bersih pelaku balap liar.
“Turun!" perintah Kai, kemarahan tampak jelas dari sorot matanya yang tajam dan suaranya yang terdengar ketus.
Soya berusaha bangun dari posisinya dan turun dari kap mesin mobil. Saat menapakkan kakinya ke tanah, suara sirine mobil polisi terdengar sangat nyaring, membuat gadis bermata serupa burung hantu itu kelabakan dan mengambil langkah seribu. Namun, gerakannya kalah cepat dengan tangan Kai yang langsung mencengkram erat pergelangan tangannya.
“Mau ke mana?"
“Lepas!" ucap Soya yang suaranya teredam sambil menyentak genggaman Kai.
“Tidak akan. Anak bengal sepertimu harus ditertibkan!"
“Lepas bajingan. Aku harus lari saat ini juga!"
Namun, Kai tidak mengindahkan kemarahan remaja tersebut dan memaksa membuka helm pengendara yang menabraknya. Meskipun mendapatkan perlawanan, tetapi akhirnya Kai berhasil membuka helm tersebut, alangkah terkejutnya ia setelah mengetahui siapa pengendara motor itu.
“Viola?"
“Siapa kau, maaf sepertinya, Paman salah orang!" ucap Soya cepat, dalam hati ia juga sama terkejutnya karena bertemu dengan pria berkulit tan itu. Sekali lagi ia menyentak genggaman Kai dan berhasil. Lantas ia mencoba kabur lagi. Akan tetapi, dengan cepat pula Kai memeluk dari belakang dan menahannya.
“Mau kabur hmm ...?"
“Lepas brengsek! Ada polisi." Soya masih berusaha memberontak.
“Tidak akan. Ayo ikut aku!" Dibawanya Soya masuk ke dalam mobilnya, untuk ikut diperiksa di kantor polisi.
“Hei, kau lepaskan aku. Kau ingin membawaku ikut bersama mereka?!"
“Tentu saja. Kau juga harus ikut diperiksa, Sayang."
“Sa ... sayang? Heh, bajingan gila, masih melindur? Bangun, Paman. Sejak kapan kita sedekat itu, main panggil sayang saja. Kalau masih jomlo jangan terlalu diperlihatkan statusnya. Kelihatan ngenesnya tahu, tidak?!"
Kai menggeram kesal, mulut gadis yang berada di sebelahnya itu harus diberi hukuman.
“Mulutmu benar-benar tajam ya, ternyata?" tanya Kai sambil memandang Soya dalam keremangan cahaya mobil.
“Masalah untuk Anda? Mulut juga milik saya ini, bukan milik Anda," Soya melepas safety belt-nya. Akan tetapi, tangan Kai dengan cepat membuat pintu mobil terkunci otomatis.
“Apa yang kau lakukan, Paman?!" bentak Soya pada lelaki itu. Namun, tak ada jawaban. Kai melajukan mobilnya menuju kantor polisi. Mengikuti mobil polisi yang mulai melaju.
“Kau akan membawaku ke kantor polisi juga, apa kau sudah gila?!" Soya mulai cemas, bagaimanapun caranya, ia harus bisa keluar dari mobil ini. Ia tidak boleh berada di kantor polisi. Bisa-bisa namanya masuk headline news esok pagi dan seketika itu juga ia dipecat dari anggota keluarga Dexter. Tidak, Soya tidak mau. Ia belum siap menjadi anak yatim-piatu.
“Paman!" panggilnya hingga Kai menoleh. Detik itu juga Kai harus rela menjadikan wajahnya sebagai samsak tinju Soya. Mobil pun sempat oleng. Namun, dengan cepat Kai menghentikan mobilnya.
“Kau ...!"
“Apa ... apa?" tantang Soya menatap mata elang itu dengan penuh amarah.
Tanpa aba-aba Kai menarik tubuh gadis itu dan membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman yang membuat Soya terperanjat. Tubuhnya kaku seperti terkena sengatan listrik bertegangan tinggi.
Merasa tidak ada perlawanan, Kai berani melakukan hal lebih pada bibir manis itu, gigit, hisap lumat, hingga lenguhan nista yang terdengar lirih namun merdu itu berhasil menyulut gairah pria berusia 28 tahun tersebut.
Ciuman ini terasa seperti narkotika, memabukkan dan membuatnya melayang, seperti ada rasa lain yang baru ia temukan namun tidak dapat ia definisikan seakan menjadi candu baru untuknya.
Soya tidak ingin munafik, harus ia akui lelaki di depannya ini begitu ahli dalam persoalan ciuman. Mungkin?
Tubuhnya yang sempat menegang menjadi rileks perlahan saat punggungnya menerima elusan lembut dari tangan pria dewasa itu.
Tepukan di bahunya mulai dirasa seiring menipisnya pasokan oksigen, membuat sang pria terpaksa melepaskan tautan bibir mereka. Cukup bangga saat melihat bibir gadis itu membengkak karena ulahnya.
Jemarinya mengusap—menghapus sisa-sisa saliva yang menempel—di dagu.
“Kau tahu? Bibirmu terasa sangat manis, bahkan lebih manis dari gula-gula mana pun, terasa sangat lembut, dan terasa sangat kenyal," Kai berbisik dengan suara yang berat dan dalam.
Soya tersenyum manis, satu tangannya mengepal kuat dan meninju rahang Kai dengan keras.
“Dasar predator. Seenaknya saja kau melecehkan bibirku?!"
“Bukankah kau juga menikmatinya? Shhh ... argh!" Kai mendesis, pukulan gadis di sampingnya pun tidak bisa dianggap remeh. Mengingat gadis bertubuh mungil itu sangat menguasai beberapa ilmu beladiri.
Tak ingin memperpanjang perdebatan, Kai melajukan mobilnya menuju kantor polisi. Soya, gadis itu tampak memejamkan mata, berusaha meredam emosi.
Setibanya di sana diperiksa pihak kepolisian dan melakukan tes urine. Tentu saja ia langsung bersedia karena ia merasa tak pernah menggunakan barang terlarang.
Dan benar saja, hasil tes urine menunjukkan negatif. Akan tetapi, rasa takut tetap menyelimuti Soya. Ia paham, pasti kedua orang tuanya akan sangat murka melihat anak kesayangannya digiring ke kantor polisi karena ikut balap liar.
Kai, pria itu tersenyum manis kala netranya mendapati Soya yang tengah tertunduk lesu, jemarinya saling bertaut, tanda ia merasa cemas.
Kai bicara sebentar pada petugas, ia mengaku sebagai wali Soya sekaligus kekasih dari gadis itu. Tidak hanya Soya, tapi dia juga mengaku wali dari Jayden.
“Lain kali kekasihnya dijaga ya, Pak. Beritahu temannya juga agar tidak menjerumuskan kekasih Bapak mengikuti balap liar lagi dan menganggu kenyamanan warga," ujar Pak Polisi itu.
“Pasti Pak. Saya akan lebih memperhatikan dan menjaga kekasih saya," balas Kai saat sampai di depan Soya, Soya yang mendengar ucapan Kai hanya memelototi Kai dan ingin menyangkal bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
“Apa katanya? Maaf ya, Pak. Saya itu bukan kekas ... aduh!" pekik Soya kesakitan karena pergelangan tangannya dicengkeram erat oleh Kai.
“Ah, biasa, Pak. Kami sedang terlibat pertengkaran kecil. Namanya juga anak remaja, ha-ha ...," ujar Kai memulai aktingnya.
“Ah, ha-ha-ha ...."
“Baiklah kalau begitu, kami permisi, Pak," pamit Kai lalu meninggalkan kantor polisi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Eh, mau ke mana kau?" tangan Kai dengan cepat meraih tangan milik Soya.
“Pulanglah, dengan Jayden," jawab Soya cuek.
“Mengapa harus dengannya?" Kai menatap tak suka.
“Dan mengapa kau sangat ingin tahu alasanku pulang dengannya?" Soya balas menatap bengis.
“Halo, masih ada orang di sini. Wah, aku benar-benar makhluk halus ternyata," Jayden menyela.
“Kau ini kekasihku, sudah seharusnya kau pulang bersamaku, Viola!"
“Kekasih kepalamu 4! Paman, daripada Paman halusinasi, lebih baik Paman ikut biro jodoh, agar hidup Paman tidak terlalu merana," ucap Soya sedikit menyindir, “sudah, ah. Aku akan pulang dengan Jayden. Karena rumah kami satu komplek."
Kemudian Soya menyentak tangannya dan pulang bersama Jayden.