NovelToon NovelToon
Takhta Terakhir Endalast Ganfera

Takhta Terakhir Endalast Ganfera

Status: tamat
Genre:Action / Tamat / Balas Dendam / Mengubah Takdir
Popularitas:11.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nabilla Apriditha

— END 30 BAB —

Endalast Ganfera duduk di depan cermin besar di kamarnya, memandangi bayangannya sendiri. Usianya baru menginjak 15 tahun, tetapi di balik mata dan rambut merahnya, ada kedewasaan yang tumbuh terlalu cepat. Malam ini adalah ulang tahunnya, dan istana penuh dengan sorak-sorai perayaan.

Endalast tersenyum, tetapi matanya masih mengamati kerumunan. Di sudut ruangan, dia melihat pamannya, Lurian. Ada sesuatu dalam sikap dan tatapan Lurian yang membuat Endalast tidak nyaman. Lurian selalu tampak ambisius, dan ada desas-desus tentang ketidakpuasannya terhadap kepemimpinan Thalion.

Lurian berpaling dan berbicara dengan bangsawan lain, meninggalkan Endalast dengan perasaan tidak enak. Dia mencoba menikmati perayaan, tetapi kecemasan terus mengganggunya. Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras dari luar, oh tidak apa yang akan terjadi??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nabilla Apriditha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8: Pengkhianatan Lainnya

.......

.......

.......

...——————————...

Pagi itu, suasana di perkemahan tampak berbeda. Sir Cedric, yang biasanya ceria dan penuh semangat, tampak murung. Dia berjalan perlahan, matanya kosong, seolah-olah ada beban berat yang menekan pundaknya.

Para prajurit yang lain memperhatikannya dengan khawatir, tetapi tidak ada yang berani bertanya. Mereka tahu bahwa setiap orang memiliki caranya sendiri dalam menghadapi tekanan dan kehilangan.

Endalast, yang sibuk mengatur strategi dengan para komandan lainnya, sesekali melirik ke arah Sir Cedric. Dia merasa ada yang tidak beres, tetapi memilih untuk tidak mengganggu terlebih dahulu. Dia percaya bahwa Sir Cedric akan datang kepadanya jika membutuhkan bantuan atau ingin berbicara.

Namun, hari itu Sir Cedric memilih untuk menyendiri. Dia menghabiskan waktu di sudut perkemahan, merenung dan berjuang dengan pikirannya sendiri. Berita tentang kematian orang tuanya telah menghancurkannya.

Pihak Lurian telah berhasil menemukan dan membunuh mereka, meninggalkan Cedric dalam kepedihan yang mendalam. Dia merasa gagal melindungi mereka, dan kemarahan serta kesedihan bercampur aduk dalam dirinya.

Malam itu, rencana kelam mulai terbentuk di benak Cedric. Dia merasa bahwa Endalast adalah penyebab dari semua penderitaannya.

Jika bukan karena dia bergabung dengan kelompok Endalast, orang tuanya mungkin masih hidup. Cedric merasa tidak ada pilihan lain selain membunuh Endalast untuk membalas dendam dan menghentikan penderitaan ini.

Endalast berbaring di tenda kecilnya, matanya tertutup tetapi pikirannya waspada. Dia merasakan ada sesuatu yang salah, firasat yang kuat bahwa bahaya sedang mendekat.

Dia tetap tenang, menunggu apa yang akan terjadi. Dia tahu bahwa salah satu prajuritnya, mungkin seseorang yang dia percaya, sedang merencanakan sesuatu yang buruk.

Ketika malam semakin larut, Cedric dengan hati-hati mendekati tenda Endalast. Langkahnya pelan dan hampir tak terdengar.

Tangannya gemetar saat menggenggam belati, tetapi tekadnya tetap kuat. Dia harus melakukannya. Demi orang tuanya. Demi semua rasa sakit yang dia rasakan.

Di dalam tenda, Endalast mendengar langkah-langkah pelan mendekat. Dia tetap diam, berpura-pura tertidur. Pintu tenda terbuka perlahan, dan Cedric masuk dengan hati-hati.

Dia melihat Endalast yang terbaring tenang dan merasa sejenak ragu. Namun, bayangan wajah orang tuanya yang terbunuh menguatkan tekadnya. Cedric mengangkat belati, siap menusukkannya ke Endalast.

Tepat saat itu, Endalast membuka matanya dan berkata dengan suara tenang, "Cedric, aku tahu kau ada di sana."

Cedric terkejut dan mundur selangkah, belatinya masih terangkat. "Bagaimana kau tahu?" suaranya gemetar.

Endalast duduk perlahan, menatap Cedric dengan mata penuh pengertian. "Aku bisa merasakannya. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Ceritakan padaku, Cedric. Apa yang terjadi?"

Cedric berjuang dengan dirinya sendiri, hatinya berdebar kencang. Dia ingin menusukkan belati itu, tapi kata-kata Endalast menghentikannya. Air mata mulai mengalir di wajahnya.

"Orang tuaku... mereka dibunuh oleh Lurian. Mereka tahu bahwa aku melindungi mereka, tapi karena aku berada di pihakmu, mereka membunuh orang tuaku. Semua ini salahmu, Endalast!"

Endalast menghela napas panjang. "Aku sangat menyesal, Cedric. Kehilangan orang tua adalah hal yang paling menyakitkan. Aku tahu itu. Tapi membunuhku tidak akan mengembalikan mereka."

Cedric terisak, belati di tangannya jatuh ke tanah. "Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Semua ini terlalu berat untukku."

Endalast bangkit dan berjalan mendekati Cedric, kemudian menepuk bahunya dengan lembut. "Aku mengerti rasa sakitmu, Cedric. Tapi kita harus kuat. Orang tuamu tidak ingin melihatmu hancur seperti ini. Mereka pasti ingin kau terus berjuang dan menjadi prajurit yang mereka banggakan."

Cedric jatuh berlutut di depan Endalast, menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku, Pangeran. Aku hampir melakukan hal yang tidak termaafkan."

Endalast menarik Cedric dalam pelukannya, membiarkan prajuritnya menangis di pundaknya. "Aku memaafkanmu, Cedric. Kita semua bisa tersesat dalam rasa sakit kita sendiri. Yang penting adalah kita kembali ke jalan yang benar."

Cedric merasa hatinya mulai lega. Dia masih merasakan sakit yang mendalam, tetapi ada secercah harapan. Dia melihat Endalast, seorang pemimpin yang benar-benar peduli dan mengerti.

"Terima kasih, Pangeran. Kau benar-benar baik hati. Aku berjanji akan terus berjuang untukmu dan untuk orang tuaku."

Endalast tersenyum lembut. "Kita akan melalui ini bersama, Cedric. Kau adalah bagian penting dari pasukan kita. Mari kita lanjutkan perjuangan ini dengan tekad yang lebih kuat."

Keesokan harinya, suasana perkemahan mulai normal kembali. Cedric terlihat lebih tenang meskipun masih berduka.

Para prajurit lain yang memperhatikan perubahan sikap Cedric merasa lega. Mereka tidak tahu apa yang terjadi semalam, tetapi mereka bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang telah berubah.

Endalast mengumpulkan para komandan untuk melanjutkan diskusi strategi. "Kita harus tetap fokus dan bersatu. Musuh kita tidak akan berhenti begitu saja. Mereka akan terus mencoba menjatuhkan kita. Oleh karena itu, kita harus lebih kuat dan lebih waspada."

Sir Alven, yang selalu setia dan bijaksana, menambahkan, "Dengan persatuan dan kepercayaan, kita bisa mengatasi segala rintangan. Aku tahu bahwa setiap dari kita di sini bertekad untuk melindungi yang kita cintai dan memperjuangkan keadilan."

Eron, yang duduk di sebelah Endalast, menyimak dengan seksama. "Aku setuju. Kita telah melalui banyak hal bersama. Setiap dari kita memiliki alasan untuk berjuang. Kita tidak akan membiarkan musuh merusak apa yang telah kita bangun."

Endalast mengangguk setuju. "Baiklah, mari kita lanjutkan persiapan kita. Pertahanan kita harus diperkuat dan jebakan-jebakan harus dipasang dengan lebih cermat. Kita harus selalu siap menghadapi serangan kapan pun."

Cedric, yang duduk agak jauh, mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia merasa semangatnya kembali pulih. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan memberikan yang terbaik untuk Endalast dan pasukan mereka. Dia tidak akan membiarkan kemarahan dan rasa sakit menguasainya lagi.

Setelah pertemuan selesai, Endalast menghampiri Cedric. "Cedric, bisakah kau membantuku dengan beberapa tugas hari ini? Aku membutuhkan keahlianmu."

Cedric mengangguk dengan tekad. "Tentu, Pangeran. Aku akan melakukan apa saja yang kau butuhkan."

Endalast tersenyum. "Terima kasih, Cedric. Mari kita mulai."

Hari itu, Cedric bekerja lebih keras dari sebelumnya. Dia membantu memasang jebakan, melatih prajurit, dan memastikan bahwa semua persiapan berjalan lancar.

Setiap kali dia merasa lelah atau putus asa, dia mengingat kata-kata Endalast dan bayangan orang tuanya yang tersenyum padanya. Itu memberikan kekuatan baru untuk terus maju.

Malam tiba, dan Cedric duduk di dekat api unggun, merenung. Eron datang dan duduk di sebelahnya. "Bagaimana perasaanmu, Cedric?"

Cedric tersenyum tipis. "Lebih baik, Eron. Terima kasih."

Eron mengangguk. "Kita semua pernah mengalami masa-masa sulit. Yang penting adalah bagaimana kita bangkit dari itu. Kau telah menunjukkan kekuatan yang luar biasa hari ini."

Cedric merasa haru. "Aku beruntung memiliki teman-teman seperti kalian. Terima kasih telah mendukungku."

Eron tersenyum hangat. "Kita adalah keluarga di sini, Cedric. Kita selalu mendukung satu sama lain."

Malam itu, Cedric tidur dengan perasaan yang lebih damai. Dia tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangan ini. Dia memiliki keluarga baru yang akan selalu bersamanya, mendukung dan melindunginya.

Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan persiapan intensif. Endalast terus memimpin dengan ketegasan dan kebijaksanaan. Dia memastikan bahwa semua prajurit merasa dihargai dan didukung. Dia tahu bahwa kekuatan pasukan terletak pada persatuan dan kepercayaan.

...——————————...

Pagi ini, Endalast memimpin pelatihan pasukan di sebuah gunung dekat markas mereka. Udara dingin menyelimuti, dan kabut tebal menutupi pemandangan, namun semangat para prajurit tetap tinggi. Mereka berlatih dengan giat, mengikuti instruksi Endalast dengan penuh perhatian.

Di tengah pelatihan, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah hutan. Para prajurit berhenti sejenak, waspada. Endalast memberi isyarat kepada mereka untuk tetap tenang dan bersiap-siap.

Dari balik pepohonan, muncul pasukan besar yang dipimpin oleh seorang panglima yang tidak asing lagi bagi Endalast. Mereka adalah pasukan dari kerajaan musuh lama, kerajaan Thaloria.

"Prajurit Ganfera, bersiap!" seru Endalast, memimpin pasukannya untuk membentuk barisan pertahanan.

Pasukan Thaloria mendekat dengan cepat, membuat pasukan Endalast terpojok di tepi tebing. Pertempuran pun tak terelakkan. Suara benturan senjata memenuhi udara, sementara teriakan pertempuran menggema di seluruh lembah.

Di tengah kekacauan, Endalast berusaha tetap tenang. Dia memberi perintah dengan suara lantang dan jelas, memastikan semua prajuritnya tahu apa yang harus dilakukan. Namun, meskipun mereka berjuang dengan gigih, pasukan Endalast mulai terdesak.

Tiba-tiba, terdengar suara terompet dari kejauhan. Pasukan tambahan dari markas Endalast datang untuk membantu. Mereka menyerbu ke medan pertempuran dengan penuh semangat, memberikan dorongan moral bagi prajurit yang sudah kelelahan. Dengan kekuatan baru ini, mereka mulai membalikkan keadaan.

Pasukan musuh tertegun melihat betapa kuat dan terkoordinasinya pasukan Endalast. Mereka melihat bagaimana setiap prajurit melindungi satu sama lain, bertarung dengan keberanian yang luar biasa tanpa mementingkan nyawanya sendiri. Hal ini membuat mereka gentar, dan perlahan-lahan semangat mereka mulai surut.

Melihat situasi yang semakin tidak menguntungkan bagi pasukannya, panglima Thaloria, Jenderal Draven, memberi tanda untuk menghentikan serangan. Para prajurit Thaloria menurunkan senjata mereka, menatap bingung ke arah panglimanya.

Endalast maju ke depan, mendekati Jenderal Draven dengan hati-hati. "Apa maksud dari semua ini, Jenderal Draven?" tanyanya dengan suara tegas.

Draven membungkuk hormat di hadapan Endalast, sesuatu yang membuat semua orang terkejut. "Pangeran Endalast, saya mohon maaf atas serangan ini. Saya datang bukan untuk bertempur, tetapi untuk mengakhiri perselisihan di antara kita."

Endalast menatap Draven dengan curiga. "Apa maksudmu? Mengapa tiba-tiba ingin mengakhiri perselisihan ini?"

Draven menghela napas panjang. "Raja kami telah tiada. Dia dibunuh oleh pasukan Raja Nereval. Saya sekarang ditugaskan untuk memimpin kerajaan sementara waktu."

"Saya menyadari bahwa perselisihan antara kerajaan kita dan kerajaanmu sudah terlalu lama dan tidak membawa kebaikan bagi siapa pun. Saya ingin kita berdamai dan bekerja sama untuk melawan ancaman yang lebih besar, yaitu Nereval."

Endalast tetap waspada. "Mengapa aku harus percaya padamu, Draven? Bagaimana jika ini hanya tipu muslihat?"

Draven menatap Endalast dengan penuh kesungguhan. "Aku bersedia menjadi tawananmu sebagai jaminan. Jika aku berkhianat, kau bebas untuk menghukumku. Tapi aku percaya, dengan bersatu, kita bisa mengalahkan Nereval dan membawa perdamaian bagi kedua kerajaan kita."

Endalast terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran Draven. Dia melihat kesungguhan di mata Draven dan merasakan bahwa ini adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. "Baiklah, Jenderal Draven. Aku akan menerima tawaranmu. Tapi ingat, jika ini jebakan, kau akan menyesalinya."

Draven mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Aku mengerti Pangeran Endalast. Terima kasih atas kepercayaanmu."

Endalast memberi isyarat kepada pasukannya untuk tetap waspada tetapi menurunkan senjata mereka. Dia kemudian memberi perintah agar Draven dibawa ke markas sebagai tawanan sementara mereka menyusun rencana lebih lanjut.

Kembali ke markas, suasana tegang namun penuh harapan. Para prajurit masih berjaga-jaga, tetapi ada rasa lega melihat adanya kemungkinan perdamaian. Endalast mengumpulkan para komandan dan menjelaskan situasi baru ini.

"Kita sekarang memiliki kesempatan untuk mengakhiri perselisihan dengan Thaloria dan bersatu melawan Nereval," kata Endalast. "Ini adalah kesempatan yang harus kita manfaatkan sebaik mungkin."

Sir Alven, yang selalu bijaksana, mengangguk setuju. "Dengan kekuatan Thaloria di pihak kita, kita memiliki peluang lebih besar untuk mengalahkan Nereval. Kita harus mempersiapkan diri sebaik mungkin."

Eron, yang selalu penuh semangat, menambahkan, "Ini adalah langkah besar menuju perdamaian. Aku yakin kita bisa melakukannya jika kita tetap bersatu."

Endalast kemudian menemui Draven di tenda tawanan. "Draven, aku ingin mendengar lebih banyak tentang rencanamu. Bagaimana kita bisa bekerja sama untuk mengalahkan Nereval?"

Draven menjelaskan dengan rinci tentang situasi di Thaloria dan bagaimana mereka bisa membantu. "Pasukan kami kuat, tetapi kami membutuhkan strategi dan kepemimpinan yang solid. Aku yakin dengan pengalamanmu, kita bisa merencanakan serangan yang efektif."

Endalast mengangguk. "Baiklah, kita akan bekerja sama. Aku akan mengatur pertemuan antara komandan kita dan komandanmu untuk membahas strategi lebih lanjut."

Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan perencanaan intensif. Pasukan Thaloria dan Ganfera bekerja sama dengan baik, berbagi informasi dan menyusun strategi untuk menyerang Nereval. Kepercayaan mulai tumbuh di antara mereka, dan harapan akan perdamaian semakin nyata.

Pada suatu malam, Endalast dan Draven duduk bersama di dekat api unggun, berbicara tentang masa depan. "Aku senang kita bisa mencapai kesepakatan ini, Draven," kata Endalast. "Aku yakin ini adalah langkah yang benar."

Draven tersenyum. "Aku juga, Endalast. Aku melihat bahwa meskipun kita berasal dari kerajaan yang berbeda, kita memiliki tujuan yang sama. Kita ingin membawa perdamaian dan keadilan bagi rakyat kita."

Endalast mengangguk setuju. "Betul sekali. Kita harus terus bekerja sama dan menjaga kepercayaan ini. Hanya dengan bersatu kita bisa mengalahkan Nereval dan membawa masa depan yang lebih baik."

Draven menatap api unggun dengan mata penuh harapan. "Aku percaya kita bisa melakukannya. Kita akan menunjukkan kepada dunia bahwa persatuan dan kepercayaan bisa mengalahkan kebencian dan perpecahan."

Keesokan harinya, pertempuran besar melawan Nereval dimulai. Pasukan gabungan Ganfera dan Thaloria bergerak dengan cepat dan terkoordinasi. Endalast dan Draven memimpin pasukan mereka dengan penuh semangat dan strategi yang matang.

Pertempuran itu sengit, tetapi kekuatan dan persatuan pasukan gabungan membuat mereka mampu mengatasi serangan Nereval.

Mereka bertarung dengan keberanian yang luar biasa, saling melindungi satu sama lain dan menunjukkan bahwa persatuan mereka adalah kekuatan yang tidak bisa dipecahkan.

Pada akhirnya, pasukan Nereval terpaksa mundur, mengalami kekalahan telak. Kemenangan ini adalah bukti nyata bahwa persatuan dan kepercayaan bisa mengatasi segala rintangan.

Endalast berdiri di tengah medan pertempuran, mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. "Hari ini, kita telah menunjukkan bahwa persatuan dan kepercayaan adalah kekuatan sejati. Kita akan terus berjuang untuk masa depan yang lebih baik bagi semua orang!"

Para prajurit bersorak, merayakan kemenangan mereka. Draven mendekati Endalast dan menjabat tangannya. "Kita telah melakukannya, Endalast. Ini adalah awal dari masa depan yang lebih baik."

Endalast tersenyum. "Betul, Draven. Ini baru permulaan. Kita akan terus bekerja sama dan membangun dunia yang lebih baik untuk semua orang."

Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan merayakan kemenangan dan memperkuat aliansi antara Ganfera dan Thaloria.

Pasukan mereka berlatih bersama, saling berbagi pengetahuan dan keterampilan. Endalast dan Draven bekerja keras untuk memastikan bahwa perdamaian ini bertahan lama dan membawa kebaikan bagi kedua kerajaan.

Di tengah segala kesibukan, Endalast memandangi liontin keluarga peninggalan orang tuanya. Dia berdiri menatap liontin dengan menghela nafas berat bersirat kesedihan mendalam, mengingat semua ajaran dan nasihat yang telah mereka berikan.

"Ayah, Ibu, kita telah mencapai sesuatu yang luar biasa. Aku akan terus berjuang untuk mewujudkan impian kalian akan perdamaian dan keadilan. Aku pasti akan merebut tahkta kalian. Kalian sudah berjuang malam itu dan menyelamatkan ku, serahkan sisanya pada putramu. Aku akan menyelesaikan ini dengan baik."

1
Carletta
keren
RenJana
lagi lagi
Lyon
next episode
Candramawa
up
NymEnjurA
lagi lagi
Ewanasa
up up
Alde.naro
next update
Sta v ros
keren bener
! Nykemoe
cakep up up
Kaelanero
bagus banget
AnGeorge
cakep
Nykelius
bagus top
Milesandre``
lagi thor
Thea Swesia
up kakak
Zho Wenxio
kece up
Shane Argantara
bagus
☕️ . . Maureen
bagus banget ceritanya
Kiara Serena
bagus pol
Veverly
cakep
Nezzy Meisya
waw keren
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!