NovelToon NovelToon
Kognisi Pembunuh Tersembunyi

Kognisi Pembunuh Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Teen School/College / Gangster
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Caca adalah seorang gadis pemalu dan penakut. Sehari-hari, ia hidup dalam ketakutan yang tak beralasan, seakan-akan bayang-bayang gelap selalu mengintai di sudut-sudut pikirannya. Di balik sikapnya yang lemah lembut dan tersenyum sopan, Caca menyembunyikan rahasia kelam yang bahkan tak berani ia akui pada dirinya sendiri. Ia sering kali merangkai skenario pembunuhan di dalam otaknya, seperti sebuah film horor yang diputar terus-menerus. Namun, tak ada yang menyangka bahwa skenario-skenario ini tidak hanya sekadar bayangan menakutkan di dalam pikirannya.

Marica adalah sisi gelap Caca. Ia bukan hanya sekadar alter ego, tetapi sebuah entitas yang terbangun dari kegelapan terdalam jiwa Caca. Marica muncul begitu saja, mengambil alih tubuh Caca tanpa peringatan, seakan-akan jiwa asli Caca hanya boneka tak berdaya yang ditarik ke pinggir panggung. Saat Marica muncul, kepribadian Caca yang pemalu dan penakut lenyap, digantikan oleh seseorang yang sama sekali berbeda: seorang pembunuh tanpa p

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 8

Devano dan Rendra duduk di meja yang sama dengan Yura, Ririn, dan Zerea, karena Rendra berpacaran dengan Zerea. Ririn sengaja berpindah tempat duduk untuk memberi kesempatan Yura duduk bersebelahan dengan Devano, yang menjadi objek perhatian Yura.

Rendra memperhatikan kaca di dekat mereka yang sebelumnya rusak, dan sekarang sudah diperbaiki.

"Tuh, kaca kapan dibenerinnya?" tanya Rendra, menarik perhatian pada perubahan di sekitar mereka.

"Enggak tahu. Katanya sih itu si Emil yang urus," jawab Zerea sambil mengambil gelasnya, mencoba menjawab pertanyaan Rendra dengan santai.

Yura, yang duduk bersebelahan dengan Devano, merasa sedikit canggung namun juga senang dengan kesempatan ini. Dia berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya berdebar-debar di dekat Devano. Matanya menyelidiki setiap gerakan dan ekspresi wajahnya, mencoba untuk memahami lebih dalam tentang orang yang sudah lama dia kagumi.

Devano, di sisi lain, terlihat agak kaku di awal, tetapi kemudian berusaha untuk terlibat dalam percakapan dengan Yura. Meskipun dia juga merasa canggung, dia berusaha untuk tetap santai dan ramah di sepanjang obrolan.

\~\~\~

Kelvin mensejajarkan tinggi badannya dengan Marica, kemudian tersenyum sinis.

"Mau sekeras apapun lo usaha, lo tetap enggak akan bisa ngalahin Caca," bisik Kelvin dengan nada meremehkan.

Marica, yang tidak takut, malah membalas senyum sinis Kelvin dengan tatapan penuh percaya diri.

"Gue yang lebih dominan dan dia lemah," ejek Marica dengan nada tegas.

Marica berusaha merebut kertas formulir beasiswa yang ada di tangan Kelvin, namun Kelvin makin mempermainkannya dengan mengangkat kertas itu tinggi-tinggi dan menggerakkannya ke segala arah.

Ketegangan meningkat ketika Marica memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih drastis. Dengan cepat dan cekatan, dia mengunci leher Kelvin dengan satu lengan dan mendorongnya ke tembok, menciptakan suara benturan yang cukup keras.

"Mulai lagi," batin Emil.

Emil, yang menjadi saksi bisu adegan ini, hanya bisa terdiam sembari terus memperhatikan. Sementara itu, beberapa siswa yang melihat kejadian ini malah menganggapnya sebagai pertunjukan yang menggemaskan, tidak menyadari intensitas sebenarnya di balik tindakan tersebut.

Marica mendekatkan wajahnya ke telinga Kelvin dan berbisik, "Sayang banget, gue masih pengen ambil jantung lo." Nada suaranya dingin dan penuh tekad, menunjukkan bahwa dia tidak main-main dengan ancamannya.

Kelvin dengan cepat berusaha membalikkan keadaan, menggunakan momentum tubuhnya untuk melawan cengkraman Marica. Dalam hitungan detik, Kelvin mencoba menggunakan pusat gravitasinya untuk mendorong balik dan melepaskan diri dari kuncian Marica. Namun, Marica lebih cepat. Sebelum Kelvin berhasil menguasai situasi, Marica sudah berhasil merebut kertas formulir dari tangannya.

"Lo masih lemah," dengan senyum kemenangan, Marica berlari menjauh, meninggalkan Kelvin yang terkejut dan marah.

Kelvin, dengan reflek yang cepat, langsung mengejarnya. Gerakan keduanya dipenuhi dengan dinamika fisika yang kompleks.

Saat Marica berlari, dia mengubah energi potensial dari posisi diam menjadi energi kinetik, mempercepat tubuhnya menjauh dari Kelvin. Kelvin, yang segera mengejar, melakukan hal yang sama, menciptakan sebuah pengejaran yang penuh dengan perpindahan energi kinetik di koridor sekolah yang ramai.

Emil, masih berdiri di tempatnya, hanya bisa menghela napas panjang, menyadari betapa intens dan rumitnya hubungan antara Marica dan Kelvin. Di tengah hiruk-pikuk siswa yang beraktivitas, kedua sosok itu bergerak cepat, memanfaatkan setiap aspek fisika untuk mencoba mengalahkan satu sama lain, dengan tujuan dan tekad yang kuat di hati masing-masing.

\~\~\~

Yura, Ririn, dan Zerea berjalan menuju kelas sambil bercakap-cakap dengan santai. Di sisi lain, Devano dan Rendra berjalan menuju ruang guru untuk menyelesaikan urusan mereka.

Di tengah perjalanan, Ririn tiba-tiba memperhatikan sesuatu di lapangan. "Itu bukannya Caca ya?" ujarnya, sambil menunjuk ke arah lapangan di mana terlihat dua sosok yang sedang berkejaran.

Dari lantai dua, mereka bisa melihat dengan jelas bahwa sosok-sosok itu adalah Marica dan Kelvin. Keduanya tampak berlari-lari mengitari pohon besar di tengah lapangan.

"Mereka kayak main film India aja, kalau ketemu selalu lari-lari," komentar Zerea sambil tertawa kecil, menonton adegan yang terasa seperti dari film dengan intensitas tinggi.

Yura, yang diam-diam memendam rasa iri dan tidak suka terhadap Marica, memperhatikan dengan seksama. Matanya tak lepas dari Marica yang berusaha menghindari kejaran Kelvin. Dia melihat bagaimana Marica bergerak dengan cepat dan lincah, memanfaatkan setiap pohon dan rintangan di lapangan untuk menghalangi Kelvin.

\~\~\~

Di bawah sana, Marica dan Kelvin terus berlari. Marica menggunakan kecepatan dan kelincahannya untuk menghindari Kelvin. Setiap langkah dan gerakan mereka memanfaatkan prinsip-prinsip fisika, seperti momentum dan percepatan. Marica, dengan kertas formulir beasiswa di tangan, berusaha untuk menjaga jarak dari Kelvin, yang terus mengejar dengan tekad yang tidak kalah kuat.

Kelvin, dengan tinggi badannya dan langkah-langkah panjangnya, mencoba untuk mengejar Marica. Namun, Marica, dengan tubuh yang lebih kecil dan gesit, mampu bermanuver dengan lebih baik, menghindari setiap usaha Kelvin untuk menangkapnya. Gerakan mereka terlihat seperti koreografi yang rumit, dengan setiap putaran dan lompatan direncanakan dengan cermat.

\~\~\~

Tian yang berada di parkiran fakultasnya memasang wajah masam ketika Reno datang bersama rombongannya. Luka dan nyeri bekas perkelahian tadi malam masih terasa di tubuhnya.

"Mau apa?" tanyanya dengan nada yang tidak bersahabat, matanya menatap tajam pada Reno dan teman-temannya.

Reno, dengan sikap yang penuh arogansi, berdiri di depan Tian.

"Lo enggak usah ngejar-ngejar Liana lagi deh," ucap Bina dengan nada mengejek, membuat suasana semakin tegang.

"Kalau mantan ya udah mantan aja," tambah Rena dengan nada sinis, sambil melirik Tian dengan tatapan merendahkan.

Liana sendiri hanya berdiri diam, merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Dia tahu bahwa ada begitu banyak kesalahpahaman yang terjadi, tetapi keadaannya sudah terlalu rumit untuk dijelaskan. Dia hanya bisa berharap situasi ini tidak berakhir dengan kekerasan lagi.

Tian mendengus dengan jijik. "Gue ngejar dia? Buat apaan? Enggak guna," komentarnya dengan nada meremehkan, menatap Reno dan rombongannya dengan tatapan penuh kebencian.

"Jaga tuh mulut!" ucap Harun dengan nada keras, maju selangkah seolah siap untuk bertindak lebih jauh.

Reno sendiri memancarkan aura permusuhan yang sangat kental, tatapannya tidak lepas dari Tian.

Tian, meskipun merasa nyeri dan lelah, tidak mau menunjukkan kelemahannya.

"Minggir, gue sibuk!" ucapnya tegas.

Dia tahu dia harus masuk kelas segera, tetapi mereka tetap saja menghalangi langkahnya. Dengan sedikit dorongan pada bahu Harun, Tian mencoba memaksa jalannya, tetapi Reno dengan cepat menarik lengannya, mencegahnya untuk pergi.

Ketegangan di udara semakin pekat. Para mahasiswa di sekitar mereka mulai memperhatikan, beberapa bahkan berhenti untuk melihat apa yang terjadi. Suasana ini mengingatkan pada pertempuran yang bisa meledak kapan saja.

"Lu pikir lo siapa, Tian? Sok jagoan di sini?" tanya Reno dengan nada mengejek, mendekatkan wajahnya ke wajah Tian.

Tian menatap Reno tanpa gentar. "Gue cuma mau masuk kelas. Kalau lo punya masalah, selesaikan nanti, bukan sekarang," ucapnya dingin, mencoba menahan diri dari konflik lebih lanjut.

Namun, Reno tampaknya tidak berniat untuk mundur. "Lo denger ya, Tian. Jauhin Liana. Ini peringatan terakhir," ancamnya dengan suara rendah namun penuh makna.

Liana akhirnya memberanikan diri untuk bicara. "Reno, sudahlah. Ini kampus, bukan tempat untuk berkelahi," ucapnya dengan nada memohon, berharap bisa meredakan ketegangan.

Tian memanfaatkan momen ini untuk melepaskan diri dari cengkeraman Reno. "Lo dengar Liana. Ini bukan tempatnya. Kalau lo mau cari masalah, cari di luar kampus," ucap Tian sambil berjalan menjauh, meskipun rasa nyeri di tubuhnya semakin terasa.

Reno hanya bisa menatap Tian yang berjalan pergi, matanya masih dipenuhi dengan kebencian.

"Ini belum selesai, Tian," gumamnya pelan, cukup keras untuk didengar oleh teman-temannya, tetapi Tian sudah tidak peduli lagi.

Yang ada di pikirannya sekarang adalah bagaimana bisa sampai ke kelas dan melupakan masalah ini, setidaknya untuk sementara waktu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!