Dialah Azzura. Wanita yang gagal dalam pernikahannya. Dia ditalak setelah kata sah yang diucapkan oleh para saksi. Wanita yang menyandang status istri belum genap satu menit saja. Bahkan, harus kehilangan nyawa sang ayah karena tuduhan kejam yang suaminya lontarkan.
Namun, dia tidak pernah bersedia untuk menyerah. Kegagalan itu ia jadikan sebagai senjata terbesar untuk bangkit agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada orang-orang yang sudah menyakiti dia.
Bagaimana kisah Azzura selanjutnya? Akankah mantan suami akan menyesali kata talak yang telah ia ucap? Mungkinkah Azzura mampu membalas rasa sakitnya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Bab 08
"Desainer misterius Yura maksudnya, Mas?" Si manajer rumah makan yang Adya tanyai malah balik bertanya dengan raut yang sangat serius.
"Iya. Dia ada di restoran ini beberapa waktu yang lalu. Apakah saya bisa melihat cctv untuk melihat semua pengunjung yang datang?"
"Jangan bercanda, Mas. Jika nona Yura ada di sini, saya sudah pasti akan minta tanda tangannya dulu. Dan, saya rela menghabiskan satu bulan gaji saya hanya untuk mentraktir nona Yura makan apa saja. Karena saya sangat ingin bertemu dengan nona Yura yang terkenal itu."
Si manajer malah curhat pada Adya sekarang. Adya yang mendengar curhatan itu hanya bisa nyengir kuda saja.
"Mbak maaf. Bisa saya melihat cctv nya sekarang."
"Oh, bisa. Tapi ... apakah mas nya tahu gimana wajah desainer Yura? Kalau tahu, katakan pada saya, Mas. Desainer Yura itu, nona atau ibuk-ibuk?"
Adya malah garuk-garuk kepala karena pertanyaan tersebut. "Maaf, mbak. Saya juga tidak tahu gimana wajahnya desainer Yura. Tapi, saya ingin lihat sekarang. Saya punya laporan kartu ATM yang ia gunakan. Dan saya yakin, nona Yura ada di rumah makan ini."
Adya pun dipersilahkan untuk melihat rekaman cctv. Namun, usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil. Restoran terlalu sibuk. Tidak bisa pastikan siapa pemilik kartu yang membayar dengan nama desainer Yura tersebut.
"Maafkan saya, tuan muda. Kita masih belum menemukan hasil apa-apa."
"Tidak perlu minta maaf, Adya. Kamu sudah berusaha. Sekarang, ayo berangkat ke kota yang ingin desainer itu tuju. Kita harus bisa bertemu dengannya di sana bagaimanapun caranya."
"Baik, tuan muda."
"Oh ya, tuan muda. Adik tiri anda juga sepertinya sedang memburu desainer itu sekarang."
Wajah tenang Angga langsung berubah seketika. Dia yang awalnya melihat ke depan, kini langsung menoleh.
"Apa? Iyan juga sedang berusaha menemui desainer Yura? Untuk apa?"
"Saya tidak tahu untuk apa. Tapi sepertinya, tuan muda Iyan juga sedang berusaha mencari keberadaan desainer Yura. Menurut laporan yang saya dapatkan, dia juga sedang dalam perjalanan menuju kota S sekarang."
"Sialan." Angga berucap sambil menggenggam erat tangannya.
Iyan Andika. Dia adalah adik tiri yang lebih muda empat tahun dari Anggra. Anak mama Angga dengan suami barunya. Beberapa bulan setelah papanya meninggal, sang mama malah menikah lagi secara sembunyi-sembunyi. Tidak butuh waktu lama pula, dari pernikahan itu sang mama langsung punya anak laki-laki yang diberi nama Iyan Adika.
Setelahnya, sang mama hanya sibuk dengan kehidupan barunya saja. Angga malah terabaikan begitu saja. Setelah ia dewasa, hanya Tania yang ia pikir selalu ada untuknya selain kakek yang sudah membesarkannya.
Karena itu, dia sangat menyayangi Tania yang selalu membuatnya merasa tidak kesepian.
....
Dengan bahagia, Hani menyambut kedatangan anak angkatnya itu. Sungguh, tiga tahun berlalu, ada begitu banyak perubahan.
"Sayangku. Kamu terlihat semakin cantik saja," ucap Hani sambil memeluk tubuh langsing Zura.
"Mama. Aku rindu padamu. Bagaimana keadaan pamanku sekarang, Ma?"
Wajah bahagia yang sebelumnya Hani perlihatkan langsung memudar seketika.
"Paman kamu ... dia ... dia ada di rumah sakit sekarang, Ra."
Sontak saja, wajah panik Zura terlihat dengan sangat jelas. Bagaimana tidak? Kabar itu cukup mengejutkan buatnya. Orang yang paling ingin ia temui, sekarang malah sedang tidak baik-baik saja.
"Apa? Bagaimana bisa, Ma? Kapan paman masuk rumah sakit? Kenapa mama tidak memberitahukan padaku?"
"Satu bulan yang lalu. Paman mu melarang mama bicara, Ra. Katanya, jika kamu tahu dia sakit, maka kamu tidak akan pulang sesuai jadwal yang kamu buat."
"Ya Allah. Kenapa paman seperti itu padaku?" Mata Zura berkaca-kaca sekarang.
Namun, Hani yang selalu terlihat tenang itu langsung menguatkan hati Zura. Dia meminta Zura untuk tenang. Karena pamannya sekarang sudah baik-baik saja.
"Maaf, Ma. Aku ingin bertemu paman secepatnya. Aku ingin melihat paman dengan mata kepalaku sendiri sekarang."
"Tunggu, Sayang. Sabar dulu untuk hari ini. Besok kita pergi bersama. Bagaimana?"
"Ma. Hatiku tidak akan tenang jika belum. bertemu."
Tatapan lekat Hani berikan. Dia juga bisa memaklumi, tiga tahun mereka berjauhan tanpa kabar sedikitpun. Zura hanya bisa mendengar kabar sang paman dari Hani yang menjadi penyambung hubungan. Tidak mendengar secara langsung karena pamannya tidak ingin berhubungan secara langsung dengannya.
"Baiklah. Kamu bisa pergi ke kota asal mu, Ra. Tapi dengan syarat, mama ikut serta. Dan, izinkan mama membawa dua pengawal ikut bersama kita. Bagaimana, Ra?"
Agak membingungkan memang permintaan Hani barusan. Bukan soal dia yang ingin ikut, melainkan, soal dua pengawal yang ingin ia bawa. Buat apa coba membawa pengawal segala? Tapi Zura tetap mengikuti apa yang mama angkatnya itu katakan. Mereka pun berangkat satu jam setelah beristirahat di rumah Hani.
....
Penerbangan itu akhirnya tiba ke kota yang ingin mereka tuju. Mata Zura menyapu seluruh bandara. Sudah lebih dari tiga tahun tempat kelahirannya itu ia tinggalkan. Luka hati saat peristiwa hari yang ia anggap paling bahagia dalam hidupnya masih terasa dengan sangat jelas meski tiga tahun sudah berlalu.
Diceraikan sebelum genap menjadi istri satu menit. Sungguh luar biasa rasa malu yang ia dapatkan. Dituduh melakukan hal yang tidak ia lakukan. Dipermalukan dengan sangat dahsyat oleh orang yang ia anggap akan menjadi imam dalam hidupnya.
Dia yang salah. Zura mengakui akan kesalahan itu. Karena dia berharap pada manusia. Nyatanya, manusia itu dengan leluasa menyakiti hatinya sesakit-sakitnya sampai tidak tertolong lagi.
"Ayah. Aku kembali. Maafkan anakmu yang sudah meninggalkan ayah selama bertahun-tahun. Nanti, aku akan menjenguk ayah. Aku janji," ucap Zura lirih.
Hani langsung mengelus punggung tangan Zura setelah tangan itu dia raih.
"Yura. Sekarang, kamu sudah berhasil. Kamu bisa bertindak sesuka hatimu di sini. Jangan beri ampun orang yang sudah menyakitimu sebelumnya. Ingatlah! Mama akan selalu mendukung setiap langkah mu."
Senyum langsung terkembang.
"Makasih banyak, Ma."
"Hm. Nanti kita ziarah sama-sama yah, Ra. Mama juga ingin ziarah ke makam mama kamu."
"Iya, Mah."
"Ayok! Temui paman kamu dulu."
"Ya."
Keduanya pun memasuki mobil yang sudah Hani pesan sebelumnya. Dua pengawal yang ia bawa berpakaian seperti orang biasa. Hal itu agar tidak membuat mereka jadi pusat perhatian nantinya.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Hening sepanjang perjalanan. Hingga akhirnya, mobil tersebut sampai di rumah sakit yang ingin mereka tuju. Rumah sakit yang sama dengan rumah sakit tiga tahun yang lalu. Di mana Zura kehilangan ayahnya di sana.
Bergetar hati Zura saat melangkah masuk ke dalam. Kenangan pahit itu membuat ia sangat takut masuk ke rumah sakit sebenarnya. Tapi demi bertemu paman yang sudah sangat berjasa, dia akan berusaha melawan rasa itu sekuat tenaga.