NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SIAPA BAIKNYA?

MOTOR besar berwarna putih mengkilat itu sampai didepan sebuah rumah minimalis bergerbang tinggi yang berdiri diantara deretan rumah lain ditengah komplek. Yesha menoleh kebelakang, memastikan Nara turun dengan selamat dari motor besarnya. Pukul enam sore lewat sepuluh menit. Langit sudah gelap. Sisa sisa hujan membuat jalanan basah. Udara mulai terasa dingin.

Nara menyeka anak rambut di dahi, membetulkan roknya yang terlipat. “Thanks ya buat hari ini.” Kata Nara tulus. Untuk sejenak, hari ini Nara melupakan rasa tidak sukanya pada Yesha. Lelaki itu banyak membantunya.

Yesha mengangguk, “Sama sama. Thanks juga udah ngajak gue makan nasi padang.”

Nara tertawa kecil, “Sama sama.” Angguknya. “Kalau gitu gue masuk dulu. Lo hati hati pulangnya.”

“Iya.” Sahut Yesha singkat.

“Bye, Yesha.”

“Bye, Ra.”

Suara gerung motor besar Yesha yang dinyalakan terdengar. Nara berbalik, bersiap membuka gerbang.

“Ra.”

Nara menoleh, “Ya?”

“Semangat ya!” Yesha mengepalkan tangan, memberi dukungan penuh.

Nara tertawa, mengangguk. “Iya. Lo juga!”

Yesha tersenyum tulus. “Siap!”

“Gue masuk dulu.”

Yesha mengangguk.

Bersamaan dengan Nara yang melangkah melewati gerbang, motor Yesha mulai melaju, membelah jalanan komplek untuk lima menit kemudian sudah melesat dijalanan ibu kota yang ramai.

Agatha menyambut Nara dengan kacak pinggang setibanya Nara di ruang tengah. Wajah kakaknya itu terlihat galak, menatap Nara meminta penjelasan kenapa jam segini adiknya baru pulang.

Nara nyengir, mengubah posisi berdiri menjadi siaga satu.

“Motor siapa?” Tanya Agatha seram. Introgasi nomor pertama.

“Yesha. Kan, tadi aku bilang mau kerja kelompok.” Nara membela diri.

“Janji pulang jam berapa?”

“E-empat.” Jawab Nara takut takut, masih dengan cengiran melas.

“Sekarang jam berapa?”

Nara mengangkat tangan kirinya, melihat jam tangan yang melingkar disana. “Jam enam lewat sepuluh.”

“Kenapa gak ngabarin kalau mau pulang telat? Ditelponin juga nggak diangkat. Beruntung mama nggak ada dirumah, coba kalau ada, mungkin mama udah siap manggil polisi buat nyariin kamu. Kata kakak juga jangan pergi pergi sendiri gitu coba, bikin orang rumah nyariin tahu. Dasar.” Agatha mulai mengomel.

Nara menghela napas, “Nggak sendiri, Kak. Sama Yesha.”

“Tetep aja. Dia cowok, kan? Kamu pikir pergi pergian sama cowok gitu jamin kamu aman?”

“Aman kok, buktinya aku pulang selamat. Yesha juga bukan orang jahat.” Entahlah, Nara tidak tahu juga. Ia tidak seratus persen yakin dengan simpulan spontannya itu.

Nara melirik ke kanan dan ke kiri. Agatha benar. Mamanya tidak ada. “Mama kemana?”

“Di butik lagi banyak kerjaan, paling pulangnya agak malem.” Agatha menjawab, berbalik menuju meja makan yang terletak tak jauh dari ruang tengah. Disana sudah ada beberapa jenis makanan yang tersaji.

Nara ber-oh pendek, lalu mulai menjelaskan alasan keterlambatannya, tidak mau ditanya dua kali. “Tadi, kan, hujan, aku kejebak hujan di halte, terus hapenya mati. Nih, baru mau di charge.” Ia segera berjalan menuju charger ponselnya yang sudah terpasang pada colokan listrik dekat televisi.

“Katanya kerja kelompoknya di perpus?” Tanya Agatha bingung.

“Eh, iya, kan, pas mau pulang nunggu taksi di halte.” Dalih Nara. Setidaknya ia tidak berbohong soal menunggu di halte.

“Udah makan?”

“Udah tadi sama Yesha.”

“Bener?”

“Iya, Kak.” Jawab Nara setengah gemas. Agatha dan mamanya jadi sedikit lebih protektif pada Nara semenjak ia ada dirumah ini. Harus pulang tepat waktu, makan tepat waktu, tidak boleh pergi keluar sendirian. Dan peraturan sejenis itu. Katanya Nara tidak cukup mengenal kota ini, takut nyasar atau ada yang menculik atau apalah. Padahal Nara hanya meninggalkan kota ini empat tahun. Dan itu tidak berarti Nara lupa semuanya.

“Padahal Tasya sengaja datang kesini biar makan malam bareng.”

EH? Nara menoleh spontan. Matanya membelalak sempurna. Tasya?

Tak lama orang yang disebut Agatha itu tampak keluar dari arah dapur, membawa dua gelas jus jeruk. Menatap Nara dengan ekspresi yang sulit diartikan.

“Lo dari kapan ada disini?” Tanya Nara kaget, suaranya terdengar sedikit meninggi.

“Dari tadi sore. Kenapa? Lo kayak nggak seneng gue ada disini.”

Aduh, berarti sejak tadi Tasya mendengar nama Yesha disebut sebut? Mendengar bahwa Nara kerja kelompok dengan Yesha, terjebak hujan bersama Yesha, makan dengan Yesha, dan diantar pulang oleh Yesha.

“Eh, lo nggak ngasih tahu gue kalau ngerjain tugas lukisan itu bareng Yesha. Tadinya gue sempet ngira sama Ryan atau siapalah gitu. Ternyata Yesha.” Tasya berjalan ke meja makan, menaruh gelas disana.

Nara menyalakan ponselnya yang masih mati, mengalihkan perhatian. “Y-ya, gue kira lo udah dikasih tahu Rania.”

“Rania ngasih tahunya lo cuma dibantu ngerjain lukisan. Gak ngasih tahu sama siapanya.”

Agatha menatap Nara dan Tasya bergantian. Mencium suasana tidak enak.

“Sorry gue gak ngasih tahu lo.” Ucap Nara pada akhirnya. Toh ia memang tidak niat memberitahu Tasya tadinya.

Tasya diam sesaat, lalu mengangguk. “Nggak apa apa, lagian cuma ngerjain tugas bareng, kan?”

Nara menoleh pada Tasya, mengangguk. Dan terjebak hujan, dan fakta fakta baru tentang Yesha, dan makan bersama, dan diantar pulang. Pikiran Nara bicara, jelas itu bukan hanya sekedar mengerjakan tugas bersama. Nara takut Tasya cemburu padanya, lebih parahnya iri. Kan, Nara tidak ada niat apa apa dengan Yesha pujaannya itu.

Layar ponsel Nara menunjukkan sembilan panggilan tak terjawab dari Reno. Dan puluhan chat yang belum dibaca. Aduh, Nara jadi merasa bersalah pada banyak orang hari ini. Reno, kan, sedang marah padanya, bagaimana kalau lelaki itu semakin marah?

Ibu jari Nara bergerak hendak menekan panggilan, bermaksud menelepon balik Reno. Setidaknya ia harus minta maaf atau apalah.

Suara bel rumah Nara terdengar, membuat gerakan Nara terhenti, refleks menoleh ke sumber suara.

“Bukain dulu, Ra.” Suruh Agatha yang baru saja mau mulai makan malam bersama Tasya.

Nara mengangguk, menyimpan ponselnya lalu berlari kecil menuju pintu utama.

Satu menit Nara sudah tiba didepan gerbang. Tangannya bergerak membuka kunci, menarik gerbang agar terbuka.

“Hai, sorry gue balik lagi.”

Ekspresi Nara berubah kaget, “Yesha?”

“Iya, ini gue—”

Buru buru Nara keluar dari gerbang, menutupnya secepat kilat, menarik Yesha ke sisi lain gerbang rumahnya. Kalimat Yesha terputus.

“Kenapa, Ra?” Tanya Yesha bingung.

Nara menatap waspada kebelakang, takut tiba tiba Tasya muncul. “Ng-nggak apa apa.” Ia kembali menatap Yesha, “Kenapa? Kok balik lagi?” Tanyanya cepat.

Yesha menyodorkan kantong putih kehadapan Nara. “Nih. Ngegantiin tadi lo traktir gue nasi padang.”

Tadi, saat di rumah makan padang.

Mereka selesai makan dan menghampiri seorang pria paruh baya yang duduk dibelakang meja kasir. Si pria menyebutkan total pesanan mereka, dan Yesha dengan percaya dirinya menyodorkan kartu.

“Maaf, mas, nggak bisa bayar pakai kartu.”

Eh? Yesha termangu, menatap Nara bingung. “Kok nggak bisa?”

Nara tertawa. Jelas tidak bisa. Ini bukan restoran besar dimana Yesha bisa bebas membayar dengan kartu yang isinya entah berapa juta itu. Sebagai gantinya, Nara mengambil dompet, menyerahkan uang selembar lima puluh ribu.

“Ini aja.”

Ragu Yesha kembali memasukkan kartunya kedalam dompet. “Gue nggak bawa uang lembaran.”

“Nggak apa apa gue yang traktir hari ini.”

“Nanti gue ganti.”

“Iyalah harus.” Kata Nara, menatap Yesha. “Lain kali traktir gue makan ya.”

Mendengar itu Yesha tersenyum, mengangguk cepat. “Oke kalau gitu.”

Nara menerima sejumlah uang kembalian. Lalu setelah itu mereka pergi. Hujan sudah reda. Yesha memaksa mengantar Nara pulang, hari sudah sore sekali.

Didepan rumah Nara.

Nara menerima dengan ragu kantong plastik putih itu, melongok isinya. Melihat didalam sana ada lima buah eskrim, coklat besar, dan snack manis seketika menghilangkan semua keraguannya. Gadis itu menatap Yesha dengan mata berbinar, “Kok tahu gue suka eskrim?”

Yesha mengedik ringan, “Sepanjang jalan pulang tadi lo ngeliatin toko eskrim, jadi gue nebak aja sebenernya.”

Yesha memperhatikannya sampai sedetail itu? Nara sempat tertegun sesaat. “Kan, gue bilang nanti gantinya traktir gue makan aja.”

“Itu juga bisa nanti nanti.”

“Jadi dua kali lipat dong?”

“Yaudah terus emang kenapa?” Ucap Yesha ringan. “Gue mau traktir lo makan juga nanti. Mau, kan?”

Nara menatap Yesha. Lelaki ini, astaga. Entah apa yang ada dibenaknya. Mereka baru akrab hari ini. Diluar ‘rahasia’-nya yang membuat Nara tidak suka, Yesha sebenarnya baik sekali. Apa dia sebaik ini juga pada semua gadis?

“Ra?”

“Iya, boleh.”

“Oke kalau gitu.”

Nara mengeluarkan sebuah eskrim dari dalam kantong, menyodorkannya pada Yesha. “Nih.”

Yesha menatap eskrim itu. “Apa?”

“Buat lo.”

“Kan, eskrim lo.”

“Gue mau ngasih aja buat lo. Masa nggak mau nerima sih?” Nara memasang ekspresi sedih, membuat Yesha mau tidak mau menerima eskrim itu.

“Thanks.”

Nara mengangguk, “Udah. Sana pulang.”

“Iya ini mau.” Yesha ‘diusir’. Lelaki itu segera mendekat pada motornya yang tak jauh dari tempatnya berdiri, naik keatasnya. “Bye, Ra.”

“Bye.”

Tiga menit kemudian motor itu hilang dari pandangan Nara. Gadis itu kembali masuk kedalam rumah, menutup gerbang.

“Siapa, Ra?” Tanya Agatha saat Nara baru menginjak ruang tengah. Suara sendok dan piring yang beradu terdengar.

Nara menoleh ke meja makan, Agatha duduk sendirian disana. “Ehm…tadi aku pesen eskrim, delivery.” Dustanya. Bagaimana Nara akan bilang eskrim ini dari Yesha sedangkan Tasya berkeliaran bebas dirumahnya?

Agatha ber-oh pendek. Tidak heran dengan Nara yang memang sangat menyukai eskrim sejak kecil.

“Pacar lo nelpon nih.” Suara Tasya terdengar dari arah lain. Tepatnya dari arah dekat televisi tempat dimana Nara men-charge ponselnya. Gadis itu entah tidak sengaja melintas atau memang sengaja ingin kepo dengan ponsel Nara.

Yang pasti membuat Nara segera menyambar ponselnya. Tasya kembali ke meja makan tanpa ekspresi.

Tapi, yang Nara temukan bukanlah panggilan telepon dari Reno. Melainkan sebuah chat, yang membuat Nara menelan ludah kasar, menoleh pada Tasya yang justru tidak berekspresi apapun ketika melihat chat itu lewat lockscreen ponsel Nara.

 

Sejenak Nara menyimpan ponselnya, berjalan ke dapur bermaksud menyimpan eskrim eskrimnya di freezer. Bahkan makan satu saja Nara tidak selera sekarang. Gadis itu menyimpan sisa makanan lainnya, memotong sedikit coklat, melahapnya. Nara menghela napas. Bingung. Apa yang harus Nara katakan pada Tasya? Yesha memang baik? Atau Yesha hanya bermaksud menghibur Nara yang sedih? Tapi Nara juga harus menjelaskan kenapa ia sedih kalau begitu.

Aduh, entahlah.

Nara memutuskan keluar dari dapur, melewati meja makan, berhenti disamping kursi Tasya, menatapnya sambil berpikir harus bicara apa.

“Sya.”

Tasya menoleh, kegiatannya menyuapkan makanan terhenti. “Apa?”

Nara diam, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Gue…” lidah Nara tercekat. Aduh, memangnya ia harus menjelaskan apa sih? Yesha, kan, bukan pacar Tasya. Kenapa Nara yang pusing memikirkan penjelasan?

“Kenapa? Lo mau ikut makan?” Tanya Tasya. Terdengar dengan intonasi normal.

Nara menggeleng, “Nggak jadi.”

Tasya mendengus, “Aneh lo.” Setelahnya ia kembali melanjutkan makan. Membuat Nara sedikit melongo. Tasya masih suka Yesha tidak sih?

Ah sudahlah. Nara melanjutkan langkah, mengambil ponsel—dengan charger-nya, naik tangga, memilih masuk ke kamar. Sebaiknya saat ini Nara membersihkan diri, lalu istirahat saja.

 

...***...

 

Tidak. Sesampainya didalam kamar Nara baru ingat kalau ia belum menghubungi balik Reno. Nara menepuk dahi. Lupa. Gadis itu duduk diujung kasur, menekan kontak Reno dan mulai meneleponnya dengan jantung berdebar. Takut Reno semakin marah.

“Halo?” Sapa Nara lebih dulu, setelah tidak terdengar suara apapun diseberang. “Ren?”

“Baru inget pacarnya? Kemana aja tadi? Kamu nggak peduli aku hubungin kamu berapa kali saking khawatirnya?”

Nara menghela napas. “Iya, maaf, aku tadi ngerjain tugas bareng temen, kan, aku udah bilang, terus handphone aku mati, baru nyala barusan.” Jelasnya.

“Kamu bisa ngomong setenang itu setelah aku khawatir sama kamu setengah mati disini?” Nada suara Reno terdengar marah.

Kening Nara terlipat, “Ya terus aku harus gimana?”

“Menurut kamu aja.”

“Iya aku minta maaf, Ren, aku salah. Seharusnya aku hubungin kamu balik secepatnya, seharusnya aku lebih sering ngabarin kamu. Tadi aku ngerjain tugas sama temen aku—”

“Cewek atau cowok?”

Hal yang baru Nara sadari setelah menjalani LDR selama dua minggu ini dengan Reno adalah lelaki itu berubah menjadi lebih posesif, lebih sering marah, lebih tempramental, membuat Nara bingung sendiri.

“Cowok.” Nara berusaha jujur, daripada harus mengarang alasan lain nantinya.

“Tuh, kan,” Seperti Reno sudah bisa menebak saja apa yang terjadi, “Bener ngerjain tugas aja? Atau ngerjain yang lain? Hm? Aku tuh udah curiga sama kamu dari awal, kamu nggak usah segala alibi ngerjain tugas. Emang ada ngerjain tugas bareng cuma berdua cewek sama cowok?”

Wajah Nara terlipat, tuduhan macam apa itu?

“Kamu ngomong apa sih?”

“Aku ngomong fakta!”

“Fakta apa? Emang kamu tahu apa hah?” Emosi Nara mulai terpancing. Nara tahu Reno mudah marah. Tapi ia tidak menyangka lelaki itu bisa menuduh Nara seenaknya begini. “Kamu nuduh aku selingkuh?”

“Bukan aku ya. Kamu sendiri yang bilang.” Sanggah Reno.

Nara membuang napas kasar, mencengkram ujung spray kasurnya. “Aku cuma ngerjain tugas! Nggak lebih dari itu! Kamu nggak usah nuduh aku yang nggak nggak deh, Ren! Emang kamu tahu apa yang aku jalanin disini??” Nara mulai marah, nada suaranya meninggi.

“Firasat aku semenjak kita LDR itu emang udah nggak enak! Udah aku bilang aku nggak bisa LDR!”

“Ya emang itu kemauan aku? Hubungan kita LDR aku yang salah gitu?”

“Kamu tuh nggak ngerti maksud aku, Ra! Aku tuh sayang sama kamu makanya aku bisa sekhawatir ini sama kamu—”

“Nggak gini caranya! Kamu sayang aku? Dengan kamu nuduh nuduh aku gak jelas kayak gitu juga udah nyakitin aku banget tahu nggak! Yang mana rasa sayangnya? Selama ini aku terus yang salah! Kamu terus yang marah sama aku! Seharusnya kamu sadar kalau kamu tuh nyebelin!” Tangan Nara gemetar menahan emosi. Entah suaranya terdengar atau tidak kebawah sana, Nara tidak peduli.

Hari ini Nara sudah membuat Agatha khawatir. Mungkin membuat Tasya cemburu gara gara Yesha. Ditambah tuduhan tuduhan murahan dari Reno. Perdebatan menyebalkan ini. Bisa dibayangkan betapa frustasinya Nara sekarang. Ia sudah cukup merasa bersalah pada banyak orang hari ini. Kenapa Reno harus menambah bebannya?

“Kita LDR baru dua minggu Reno! Dua minggu lho!”

“Iya, kan? Baru dua minggu kamu udah dapet cowok baru lagi disana. Makanya jangan jadi cewek murah coba.”

Deg.

Nara termangu. Sesuatu yang tajam seperti baru menikam dadanya berkali kali. Ia terdiam lama. Kedua matanya mulai berkaca kaca. Emosinya memuncak hingga kepala Nara rasanya bisa meledak saat ini juga.

“Gak usah pacaran sama CEWEK MURAH kayak gue makanya! Brengsek!”

“Ra, nggak gitu—”

Nara menutup telepon. Menyimpannya asal entah dimana. Gadis itu naik keatas kasur, memeluk guling. Suara isakan terdengar.

Diluar hujan kembali turun. Seiring air mata Nara yang semakin menderas.

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!