Akay, pemuda yang kadang bermulut pedas, terjebak dalam pernikahan dengan Aylin, gadis badung yang keras kepala, setelah menabrak neneknya. Itu adalah permintaan terakhir sang nenek—dan mereka harus menandatangani perjanjian gila. Jika Akay menceraikan Aylin, ia harus membayar denda seratus miliar. Tapi jika Aylin yang meminta cerai, seluruh harta warisan neneknya akan jatuh ke tangan Akay!
Trauma dengan pengkhianatan ayahnya, Aylin menolak mengakui Akay sebagai suaminya. Setelah neneknya tiada, ia kabur. Tapi takdir mempertemukan mereka kembali di kota. Aylin menawarkan kesepakatan: hidup masing-masing meski tetap menikah.
Tapi apakah Akay akan setuju begitu saja? Atau justru ia punya cara lain untuk mengendalikan istri bandelnya yang suka tawuran dan balapan liar ini?
Apa yang akan terjadi saat perasaan yang dulu tak dianggap mulai tumbuh? Apakah pernikahan mereka hanya sekadar perjanjian, atau akan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Balapan Lagi
Akay melirik Aylin yang masih tertidur lelap, sesekali menggeliat kecil. Napasnya teratur, seakan tak ada beban. Gadis ini benar-benar tidak sadar betapa mudahnya menarik perhatian orang.
Dengan gerakan ringan, Akay mengambil selimut dan menyampirkannya ke tubuh Aylin. Namun, saat melihat gadis itu menggeliat kecil dan tampak tidur dengan posisi tidak nyaman, ia menghela napas panjang.
“Kalau sampai besok pegal-pegal, pasti ngeluh lagi,” gumamnya.
Tanpa pikir panjang, Akay membungkuk dan mengangkat tubuh Aylin ke dalam gendongannya. Gadis itu menggumam tak jelas, kepalanya bersandar di dada Akay, tapi tetap terlelap.
Sesampainya di kamar, Akay menyingkap selimut dan membaringkan Aylin dengan hati-hati. Gadis itu menggeliat lagi, lalu secara refleks menarik bantal dan mendekapnya erat.
Akay duduk di tepi ranjang, menatap wajah lelap Aylin dalam diam. Gadis itu tampak begitu damai dalam tidurnya, kontras dengan sikapnya yang selalu penuh perlawanan saat terjaga.
Setelah beberapa saat, Akay bangkit dan berjalan keluar kamar menuju ruang tamu. Ia mengambil ponsel Aylin yang masih menyala di sofa, lalu kembali ke kamar sambil membaca ulang chat yang tadi sempat menarik perhatiannya.
"Lo udah punya calon suami, mending Jordi buat gue aja, Lin."
Akay mendengus pelan. Tatapannya sedikit meredup saat matanya kembali menyapu layar ponsel.
Duduk kembali di tepi ranjang, ia berpikir sejenak sebelum jari-jarinya mulai mengetik.
Aylin: Sorry, Jordi bukan tandingan gue. Udah gak tertarik balapan sama dia.
Setelah mengirim pesan itu, Akay tersenyum tipis, puas. Ia menatap ponsel sejenak sebelum meletakkannya di meja nakas.
"Jordi, huh?" gumamnya pelan. Ia kembali menatap istrinya, tangannya terulur menyingkirkan anak rambut yang jatuh ke wajah gadis itu. "Jangan harap."
Setelah memastikan Aylin tidur dengan nyaman, Akay akhirnya bangkit dan menuju kamar mandi. Tapi satu hal yang pasti—ia harus bertemu dengan Jordi secepatnya.
Beberapa menit kemudian, Akay akhirnya merebahkan tubuhnya di samping Aylin, menghela napas panjang setelah hari yang melelahkan. Ia melirik gadis itu yang masih terlelap, satu tangannya memeluk bantal erat.
Namun, pikirannya kembali ke isi chat grup Aylin yang sempat ia baca.
"Lo udah punya calon suami…"
Akay mengerutkan kening. Jadi, Aylin bilang ke teman-temannya kalau dia sudah punya calon suami?
Mata Akay beralih ke wajah Aylin, ekspresinya sulit ditebak. Gadis itu begitu keras kepala, selalu membantah setiap perkataannya, selalu berusaha menolak setiap aturan yang ia buat. Tapi, kenapa dia justru mengakuinya sebagai calon suami?
Akay tersenyum tipis, sudut bibirnya terangkat dengan ekspresi penuh arti.
"Jadi, akhirnya kamu ngaku juga, hm?" gumamnya pelan.
Ia menggeser tubuhnya lebih dekat, menatap Aylin yang masih terlelap tanpa sadar bahwa pria di sampingnya sedang menikmati momen langka ini.
"Tapi, sayang…" Akay berbisik di telinga Aylin, suaranya terdengar penuh kepemilikan. "Sekarang aku gak cuma punya calon suami. Kamu udah resmi jadi istriku."
Setelah itu, Akay menyampirkan selimut ke tubuh mereka berdua, lalu memejamkan matanya memeluk Aylin dengan senyum tipis yang masih bertengger di wajahnya.
Malam ini, ia tidur dengan perasaan jauh lebih baik dari sebelumnya, dengan satu kepastian—Aylin sudah mengakuinya sebagai calon suaminya, dan ia tak akan membiarkan gadis itu menarik kembali ucapannya.
Dini hari, Akay terbangun saat merasakan Aylin bergerak gelisah di sampingnya. Gadis itu beringsut mendekat, mencari kehangatan dalam tidurnya.
Senyum tipis terbit di bibir Akay saat ia membiarkan Aylin menggunakan lengannya sebagai bantal. Saat tubuh mungil istrinya semakin menempel padanya, Akay pun tanpa ragu menjadikan dirinya sebagai guling bagi Aylin.
Tadinya ia hanya berniat membiarkan, tapi ketika Aylin tanpa sadar melingkarkan lengannya di pinggangnya, Akay pun akhirnya membalas pelukan itu—membiarkan tangannya bertengger nyaman di punggung gadis itu.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Akay merasa tenang. Mengetahui Aylin telah mengakuinya sebagai calon suami membuat sesuatu dalam dirinya terasa hangat.
Ia menatap wajah damai istrinya dan berbisik pelan, “Jangan harap bisa lepas sekarang.”
Dengan perasaan puas, Akay memejamkan mata, menikmati momen langka ini—karena besok pagi, kemungkinan besar Aylin akan mengomel lagi.
***
Mata Aylin berkedut saat cahaya pagi mulai menyelinap melalui celah tirai. Ia menggerakkan tubuhnya sedikit, hendak bangun, tetapi sesuatu yang hangat dan berat menahannya.
Begitu kesadarannya pulih sepenuhnya, ia baru menyadari satu hal—lagi-lagi ia terbangun dalam posisi yang sama. Kepalanya bertumpu pada lengan Akay, sementara tangannya sendiri melingkar di pinggang pria itu dan kakinya nangkring di atas tubuhnya.
Lebih parahnya lagi, Akay juga memeluknya erat, seolah tak mau melepaskannya.
Aylin membelalakkan mata, napasnya tercekat.
"Sial! Kenapa ini terjadi lagi?!" geramnya pelan.
Ia berusaha mengingat apakah semalam ia kembali tertidur tanpa sadar mencari kehangatan Akay. Dan yang lebih parah—kenapa hatinya terasa nyaman?! Seperti… menikmati pelukan ini?!
Tidak! Ini nggak boleh terjadi!
Pelan-pelan, Aylin mencoba menarik diri, tapi justru mendengar suara geraman malas dari Akay. Lengan pria itu malah mengerat, mendekapnya lebih dalam.
"Apa yang kamu lakukan?!" bisik Aylin panik.
Alih-alih menjawab, Akay malah mendekatkan wajahnya ke rambut Aylin, menghirup aromanya sejenak sebelum bergumam pelan, "Masih pagi, jangan berisik..."
Wajah Aylin memanas seketika.
Ini gawat! Kalau ia tidak segera melepaskan diri, bisa-bisa jantungnya benar-benar berkhianat!
Aylin menahan napas, matanya membelalak panik. Ia harus segera keluar dari situasi ini!
Perlahan, ia mencoba menggeser tubuhnya, tetapi lengan Akay seperti rantai besi yang mengunci pinggangnya. Setiap kali ia bergerak, pria itu malah semakin mengeratkan pelukannya.
"Astaga! Ini manusia atau gurita sih?!" gerutunya.
Aylin mendongakkan kepala, menatap wajah Akay yang masih terpejam. Napas pria itu terdengar tenang, sesekali terdengar gumaman samar di antara tidurnya.
"Akay, bangun!" bisiknya pelan, berusaha mendorong dada pria itu dengan tangan bebasnya.
Alih-alih bangun, Akay justru menggeliat sedikit, lalu dengan gerakan refleks, ia mengusap punggung Aylin pelan.
Aylin langsung membeku.
Oh, tidak. Ini makin gawat!
Jantungnya berdebar kencang, bukan karena marah—tapi lebih karena sesuatu yang tidak ingin ia akui.
Tidak, ini salah! Dia harus keluar dari sini!
Dengan tekad bulat, Aylin mengangkat kakinya dan menginjak tulang kering Akay dengan cukup kuat.
"ARGH!"
Akay langsung terlonjak, melepaskan pelukannya dan meringis kesakitan sambil menatap Aylin yang sudah duduk di tepi ranjang dengan wajah merah padam.
"Apa-apaan sih?!" gerutu Akay, mengusap kakinya yang baru saja diinjak brutal.
Aylin mendelik tajam. "Harusnya aku yang nanya! Kenapa kamu meluk aku, hah?!"
Akay mengerjapkan mata, lalu menyeringai. "Kamu yang duluan meluk aku, kali."
Aylin makin kesal. "Kamu sadar nggak kalau tiap pagi aku selalu bangun dalam posisi kayak gini?! Kamu pikir kenapa?!"
Akay mengangkat bahu santai. "Mungkin karena kamu suka."
"Brengsek!"
Aylin hampir saja melempar bantal ke wajah Akay kalau saja ponselnya tidak berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Dengan sebal, ia meraih ponsel itu. Namun, saat melihat isi pesan dari grup chatnya, ekspresinya berubah.
Matanya menyipit tajam, bibirnya sedikit bergetar.
Akay, yang menyadari perubahan ekspresi Aylin, segera duduk tegak. "Kenapa?"
Aylin menggigit bibirnya. "Jordi. Dia ngajak gue balapan lagi."
Sekilas, Akay bisa melihat pesan yang terpampang di layar.
Jordi: Gimana, Lin? Malam ini, balapan lagi? Gue tunggu di tempat biasa. Jangan bilang lo udah takut kalah.
Mata Akay langsung meredup, sorotannya tajam.
"Brengsek! Bocah ini benar-benar cari mati." geram Akay dalam hati.
...🌟...
...Hatimu dan tubuhmu tahu di mana tempat yang nyaman,...
...Meski logikamu berpegang pada angan-angan....
...Jiwa resah mencari kedamaian,...
...Namun pikiran masih terjebak keraguan....
...Langkahmu ragu menuju arah yang dituju, sementara naluri berbisik tentang yang semu....
...Antara keinginan dan kenyataan bertarung,, mencari keseimbangan yang belum terhubung....
...Tapi ingatlah, wahai jiwa yang gundah, bahwa kebenaran sejati tak selalu mudah....
...Dengarkan bisikan hati yang terdalam, karena ia tahu tempat ternyaman, meski logikamu berpegang pada angan-angan....
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Akay merasa dijebak nenek ros menikahi cucunya...
Darah Akay sudah mendidih si Jordi ngajak balapan lagi sama Aylin...benar² cari mati kamu Jordi..ayo Akay bilang saja ke semua teman² Aylin kalo kalian sudah menikah
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍