NovelToon NovelToon
Bencana Gaun Pengantin

Bencana Gaun Pengantin

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Nikahmuda / Nikah Kontrak / Pengantin Pengganti Konglomerat / Pelakor jahat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Eouny Jeje

Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.

Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.

Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.

Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hidup sekali lagi

Di sudut penjara lain, Harry duduk santai menatap tumpukan jaket rajutan yang memenuhi ruangannya.

Kevin, yang duduk di sebelahnya, hanya bisa menghela napas panjang.

"Harry, aku benar-benar tak mengerti. Kenapa kau terus membeli barang-barang rajutan Anna seperti ini?"

Harry tersenyum kecil, mengambil salah satu jaket dan membolak-baliknya di tangan.

"Apa salahnya? Ini investasi," ujarnya santai.

Kevin mengangkat alis. "Investasi? Untuk apa? Cuaca di sini bahkan tidak cukup dingin untuk butuh satu jaket, apalagi sepuluh!"

Harry tertawa kecil. "Ini bukan soal musim dingin, Kev. Ini soal menjaga mimpinya tetap hidup."

Kevin menatapnya dengan ragu. "Jadi kau lebih memilih membeli semua dagangannya diam-diam daripada langsung memberinya uang?"

Harry mengangkat bahu. "Dunia luar suka menghancurkan orang yang bermimpi terlalu tinggi. Setidaknya di sini, biarkan aku yang menjadi satu-satunya orang yang mendukungnya."

Kevin mengambil salah satu jaket merah muda dari tumpukan dan menatapnya penuh arti. "Serius? Bahkan warna ini pun kau beli? Kau yakin tak ingin mencoba memakainya?"

Harry terkekeh. "Kalau aku memakainya, mungkin aku akan kehilangan gelar Pangeran Kegelapan."

Kevin menggeleng pelan. "Kau ini bodoh atau romantis?"

Harry menyeringai. "Dua-duanya, mungkin."

Kevin tertawa kecil, lalu mengambil beberapa jaket lainnya. "Kalau begitu, aku akan membantu menyebarkannya ke beberapa orang, biar Anna tetap merasa barangnya benar-benar laku."

Harry menatap jaket di tangannya dan tersenyum sendiri.

Anna, dunia ini mungkin tidak pernah adil padamu. Tapi setidaknya, di balik semua kegelapan ini, ada seseorang yang masih ingin melihatmu tetap bercahaya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Keringat mengalir dari pelipis Harry, jatuh perlahan menyusuri rahangnya yang tegang. Tinju demi tinju ia hantamkan ke samsak tua di depannya, seolah berharap rasa sesak di dadanya ikut luruh bersama keringat.

Malam ini terlalu panjang.

Terlalu sepi.

Terlalu dipenuhi suara Anna di kepalanya.

"Model pria selalu berganti pakaian di hadapanku. Itu hal biasa."

Harry mengepalkan tangannya lebih erat. Rasa panas menjalar di dadanya, lebih menyakitkan dari semua pukulan yang pernah ia terima. Jadi, tubuh yang ia tempa setiap malam ini tak ada artinya di mata Anna? Keringat, otot, dan ketahanan yang ia bangun selama ini hanyalah bagian dari sesuatu yang sudah terlalu sering dilihatnya?

Samsak itu ia hantam sekali lagi, lebih keras.

Baiklah. Kalau memang begitu, ia akan pastikan bahwa tubuhnya adalah satu-satunya yang bersinar di mata Anna.

Tapi... apakah itu cukup?

Ia menarik napas panjang, lalu menunduk. Tangannya gemetar.

Jika hanya itu yang ia pikirkan, maka ia sama saja dengan pria-pria lain.

Ia tenggelam dalam sesuatu yang lebih dalam, lebih menyakitkan.

Ia mencemburui pria-pria yang bahkan mungkin tidak pernah dipedulikan Anna, tapi yang lebih menyakitkan dari itu adalah kenyataan bahwa ia sengaja menjaga jarak.

Ia bisa saja mendekat, mengejeknya seperti dulu, menertawakan ekspresi kesalnya, melihat matanya membulat penuh amarah.

Tapi setiap kali ia menatap Anna yang begitu serius di balik jarum dan benangnya, ada sesuatu yang membuatnya terpaku.

Anna bukan wanita kebanyakan.

Dia tidak menghabiskan malamnya untuk mencari kehangatan pria lain, tidak sibuk mengejar hal-hal fana seperti gairah sesaat. Dia terlalu sibuk mengejar sesuatu yang lebih besar—mimpinya yang telah lama hancur.

Dan itu membuat Harry sadar.

Cinta yang dibutuhkan Anna bukanlah genggaman tangan atau bisikan manis. Bukan seseorang yang menahannya dalam pelukan dan mengatakan segalanya akan baik-baik saja.

Cinta yang dibutuhkan Anna adalah seseorang yang diam-diam membangun kembali dunia yang telah dihancurkan untuknya.

Seseorang yang tidak memberinya janji kosong, tapi memberinya kesempatan untuk bermimpi lagi.

Mungkin itulah alasan Harry mulai mencari tahu tentang masa lalu Anna.

Namun, yang ia temukan hanyalah kehampaan.

Seolah-olah Anna tidak pernah ada sebelum ia masuk ke penjara ini.

Seluruh koneksi yang dulu Harry miliki telah mati. Sejak ia memilih untuk hidup dalam kegelapan bersama Kevin Liang, dunia luar menjadi sesuatu yang semakin jauh.

Tapi yang lebih menyakitkan dari semua itu…

Yang lebih menyakitkan dari kehilangan akses ke dunia luar…

Adalah kenyataan bahwa ia sendiri yang memilih untuk menghilang.

Bukan karena ia ingin.

Tapi karena ia tidak pantas untuk dunia itu lagi.

Semua ini terjadi karena sesuatu yang sepele.

Sebuah pertengkaran bodoh yang berubah menjadi tragedi.

Sebuah kesalahan kecil yang merenggut nyawa seseorang.

Rei Zhang.

Darah.

Suara tembakan.

Tubuh yang jatuh ke tanah, tidak bergerak.

Harry menutup matanya, tapi itu tidak membuatnya lupa. Tidak ada yang bisa menghapusnya.

Ia bisa merasakan lagi bagaimana tangannya berlumuran darah saat mencoba menghentikan pendarahan di dada Rei. Bisa mendengar suara napas terakhirnya yang semakin lemah, bisa melihat tatapan kosong yang perlahan menghilang.

Saat itu, mereka bertiga—Harry, Kevin, dan Rei—seharusnya pulang bersama.

Tapi hanya dua orang yang bertahan.

Rei tertinggal di tanah yang dingin, dengan darah mengalir dari dadanya, dan Harry hanya bisa menatapnya dalam keheningan.

Tidak ada kata-kata terakhir.

Tidak ada permintaan maaf.

Tidak ada kesempatan untuk mengulang semuanya.

Dan itu yang paling menyakitkan.

Sebab, selama ini, Harry berpikir bahwa ia bisa bertahan dalam dunia gelap itu bersama mereka.

"Kita tidak akan terkubur di dunia ini, kan?"

Rei pernah bertanya seperti itu.

Dan Harry, dengan penuh percaya diri, menjawab, "Tentu saja tidak. Jika salah satu kita terkubur. Maka, yang lain harus mengubur dirinya pula."

“Kau konyol. Tetap harus hidup. Ingat kataku tetap untuk hidup!”

Betapa bodohnya ia.

Ia tidak bisa menepati janjinya.

Kevin selalu berkata bahwa mereka tidak bersalah. Bahwa mereka tidak bisa disalahkan atas apa yang terjadi.

Tapi Harry tahu itu bohong.

Mereka bersalah.

Mereka bisa saja melakukan sesuatu. Mereka bisa saja mencegah semua itu terjadi.

Tapi mereka tidak melakukannya.

Dan sekarang, Rei telah pergi, sedangkan mereka berdua masih di sini—bersembunyi di tempat yang bahkan tidak menginginkan mereka.

Ayahnya pun tidak menginginkannya.

Pria itu, walikota yang dihormati, bahkan tidak pernah datang menemuinya.

Bukan karena ia malu.

Bukan karena ia kecewa.

Tapi karena ia benar-benar telah menghapus Harry dari hidupnya.

"Aku ingin mendidik putraku."

Itulah yang pria itu katakan.

Dan Harry pernah mencoba memahami maksudnya.

Ia berpikir, mungkin ayahnya ingin memberinya pelajaran hidup. Mungkin pria itu ingin Harry bangkit sendiri, menemukan jalannya keluar.

Tapi sekarang ia tahu.

Itu bukan pendidikan. Itu penghapusan.

Pria itu tidak mendidiknya.

Ia hanya ingin dunia melupakan bahwa ia pernah punya anak bernama Harry.

Harry tertawa kecil, getir.

Betapa mudahnya seseorang dibuang.

Betapa cepatnya dunia menghapus seseorang yang dianggap gagal.

Ia berpikir bahwa mungkin memang seperti inilah akhirnya.

Bahwa ia akan membusuk di tempat ini, seperti yang diinginkan dunia.

Tapi kemudian, Anna datang.

Tidak dengan kata-kata manis, tidak dengan janji kosong.

Hanya dengan sepasang tangan yang tidak pernah berhenti bekerja, dengan keteguhan yang tidak pernah luntur.

Dan itu cukup untuk membuat Harry ingin hidup sekali lagi.

Ia menatap samsak di depannya, mengepalkan tinjunya.

Satu pukulan untuk Rei Zhang, sahabatnya yang telah pergi.

Satu pukulan untuk dirinya yang dulu menyerah.

Satu pukulan untuk semua rasa sakit yang tak pernah bisa ia ungkapkan.

Dan satu pukulan terakhir—untuk Anna.

Untuk seseorang yang, tanpa sadar, telah menyelamatkannya.

Kevin Liang, yang sedari tadi diam, akhirnya berbicara. "Kau tahu, sejak kita masuk ke sini, aku selalu berpikir… mungkin ini memang hukuman yang pantas untuk kita."

Harry masih meninju samsak, tapi suaranya terdengar pelan saat menjawab, "Mungkin memang pantas."

"Tapi kau…" Kevin melanjutkan. "Kau tidak seharusnya di sini selamanya, Harry."

Harry tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan dalam suara itu. "Aku pikir kau sudah menerima kenyataan bahwa dunia tidak menginginkan kita lagi."

Kevin menghela napas. "Tapi Anna masih menginginkan dunia."

Harry terdiam.

Kevin tersenyum kecil, lalu menepuk bahunya sebelum beranjak pergi. "Kalau begitu, mungkin sudah saatnya kau berhenti meninju samsak itu dan mulai berpikir bagaimana kau akan keluar dari sini."

Harry menatap punggung Kevin yang menjauh, lalu kembali melihat jaket rajutan Anna di tangannya.

Ayahnya mungkin telah melupakannya.

Dunia mungkin telah menolaknya.

Tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa ada sesuatu yang masih layak diperjuangkan.

Dan kali ini, ia tidak akan gagal lagi.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

1
Taris
bagus
Taris
bacanya sambil deg2an, tarik nafas, tegang n ngos2an /Gosh/
Serenarara
Susan, yg kamu lakukan ke Ethan itu...jahattt! /Panic/
IamEsthe
jangan birahi dong. seolah seperti hewan. bisa diganti katanya /Sweat/.
IamEsthe
Saran, ini di font Bold aja.
IamEsthe
kata 'Fashion House' dan 'clover clothes' gunakan font italic sebagai bahasa asing/daerah.


Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!