Sikap anak dan suami yang begitu tak acuh padanya membuat Aliyah menelan pahit getir segalanya seorang diri. Anak pertamanya seorang yang keras kepala dan pembangkang. Sedangkan suaminya, masa bodoh dan selalu protes dengan Aliyah yang tak pernah sempat mengurus dirinya sendiri karena terlalu fokus pada rumah tangga dan ketiga anaknya. Hingga suatu hari, kenyataan menampar mereka di detik-detik terakhir.
Akankah penyesalan anak dan suami itu dapat mengembalikan segalanya yang telah terlewatkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pas 8
Perempuan itu merupakan makhluk paling lemah, tapi di saat bersamaan ia bisa menjadi sosok yang begitu kuat dan tangguh. Apalagi bila berhubungan dengan anak-anak.
...***...
Jerit tangis dari luar kamar membuat Aliyah tersentak. Tiba-tiba ia meringis sambil memegang kepala saat tubuhnya dipaksa bangun.
Matanya mengerjap. Kamar yang tadinya terang kini berganti gelap. Aliyah terkejut saat sadar langit telah berubah menghitam. Aliyah baru sadar, ternyata ia tadi sempat pingsan setelah kepergian Amar.
"Astaghfirullah, Gaffi, Amri," pekik Aliyah panik saat mendengar suara jerit tangis kedua anaknya.
Sambil menahan sakit, Aliyah gegas keluar dari dalam kamar. Ternyata lampu ruang tengah telah menyala. Lalu ia pun segera menuju sumber suara dimana tangisan itu berasal.
Aliyah tertegun saat melihat Nana yang sudah menggendong Amri. Tapi anak itu ternyata masih menangis kencang mungkin karena tak kunjung menemukan dirinya membuat Amri terus menangis.
Nana merengut masam saat melihat Aliyah, "ibu kemana aja sih? Ini Amri dari tadi nangis, tapi ibu nggak keluar-keluar juga," sungut Nana. Aliyah pun segera meraih Amri ke dalam gendongannya.
"Ini ada apa sih? Kenapa Gaffi sama Amri nangis keras banget sampai suaranya keluar?" tanya Amar yang ternyata baru pulang.
Baru saja Amar berdiri di ambang pintu, matanya seketika terbelalak saat melihat rumah yang begitu berantakan.
"Astaghfirullah Aliyah, kamu ini kerjaannya apa sih? Rumah udah kayak kapal pecah gini? Ini ni yang buat aku tak betah berada di rumah. Lebih baik aku menghabiskan waktuku di luar, daripada di rumah cuma buat suntuk aja," omel Amar sebab mainan Amar dan Gaffi berserakan dimana-mana. Belum lagi ceceran air yang entah berasal dari mana. Mata Amar kian terbelalak saat melihat pakaian Aliyah, Amri, dan Gaffi sama seperti yang mereka kenakan siang tadi. "Kalian belum pada mandi?" Amar seketika memijit pelipisnya. Kepalanya mendadak nyeri melihat semuanya yang tampak kacau di matanya.
"Iya nih, Yah. Masa' dari tadi Amri nangis tapi ibu nggak bangun-bangun. Aku tadi udah ketok-ketok pintu kamar, tapi ibu nggak juga buka pintu dan keluar. Mana Amri dan Gaffi nangisnya kenceng banget lagi," adu Nana membuat Amar makin kesal.
Amar pun makin mengomel, tapi tidak seperti biasanya, Aliyah akan mencoba membela diri dan menjelaskan duduk perkara atas apa yang terjadi, maka kali ini ia diam seribu bahasa. Bahkan ia langsung membawa pergi Amri begitu saja sambil menggandeng tangan Gaffi menuju kamarnya. Tak butuh waktu lama, akhirnya tangis keduanya pun mereda. Di dalam kamar Gaffi, Aliyah pun segera memandikan Gaffi dan Amri secara bergantian. Setelahnya, ia mendudukkan Amri di sofa dan mulai beberes tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Suaranya hanya terdengar saat berbicara dengan Gaffi dan Amri.
"Bu, mamam," ujar Gaffi. Sang adik yang mendengar sang kakak minta makan pun ikutan. Amri memang gemar mengikuti apa saja yang Gaffi lakukan.
"Mbu, mamam, Mbu, mamam," ujar Amri membuat Aliyah tersenyum simpul.
Amar yang sejak tadi masih duduk di ruang tamu hanya memandang heran pada sikap Aliyah. Aliyah seolah tak memedulikan keberadaannya sama sekali, tidak seperti biasanya yang meskipun ia bersikap ketus, maka Aliyah akan tetap memperlakukannya dengan baik.
Namun kini, saat mata mereka saling bersirobok pun, tatapan Aliyah tampak beda. Tak ada cahaya. Terlihat kosong dan hampa. Seperti kehilangan gairah hidup. Entah mengapa, Amar tak suka itu. Ia tak suka tatapan itu. Tapi ingin protes Amar merasa enggan.
Makan malam tiba, seperti biasa Aliyah akan melayani anggota keluarganya dengan baik. Hanya saja, Aliyah tetap pada kebungkamannya. Ia tak mengeluarkan sepatah katapun. Bahkan saat Nana bertanya pun Aliyah hanya menjawab seadanya dan setelahnya kembali diam.
Akhir-akhir ini lauk di meja makan tampak bervariasi dan lebih lezat dari biasanya. Hal itu membuat Amar dan Nana jadi begitu lahap makan. Bila biasanya mereka kerap protes dengan lauk yang itu-itu lagi dan itu-itu saja, maka kali ini tidak. Mereka menyantap semua makanan tanpa merasa heran sama sekali.
"Nah gini baru disebut masak. Lain kali masak kayak gini jadi kami betah makan di rumah. Udah dikasi duit belanja kok masih aja masak itu-itu aja. Kalo gini kan enak, aku nggak akan ngomel kemana duit yang aku kasi," ujar Amar setelah selesai makan.
Lauk malam ini memang cukup bervariasi. Dari sambal udang, ayam goreng, lalu cah kangkung, dan tak lupa lalapannya. Tanpa mereka tahu, Aliyah bisa belanja menu itu sebab ia memiliki uang tambahan dari upah mencuci pakaian tetangganya. Bukan satu rumah, tapi tiga. Kebayang kan bagaimana capeknya Aliyah sebenarnya. Tapi ia diam. Ia bungkam. Ia tak mau bicara. Apalagi mengeluh sebab baginya semuanya percuma. Yang mereka mau cuma ada dan cukup. Urusan kurangnya dari mana, mana tahu dan mana peduli.
Huh, sungguh nasib Aliyah yang malang.
Hari kian larut, tapi Amar tak kunjung bisa memejamkan matanya. Diliriknya sisi tempat tidurnya yang masih kosong. Padahal sudah jam 10 malam, tapi Aliyah tak kunjung masuk ke dalam kamar. Detik waktu terus berganti. Bahkan kini sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam, tapi Aliyah tak belum juga masuk ke dalam kamar.
Amar heran. Ingin menyusul dan bertanya, tapi gengsi. Namun tak ada Aliyah, matanya tak mau terpejam. Kesal. Ia sampai menendang selimut di atas ranjang hingga terjatuh ke bawah ranjang.
Amar mencoba memejamkan mata, tapi kenapa ia tak kunjung terlelap juga.
"Sial. Kenapa nggak bisa tidur juga sih?" umpatnya kesal.
Amar berguling ke kanan dan ke kiri, mencari posisi nyaman, berharap matanya segera terlelap, tapi ternyata hingga jam menunjukkan hampir dini hari, ia tak kunjung bisa tertidur. Amar menghela nafas kasar. Lalu ia melirik ke sisi kanannya, biasanya sudah ada Aliyah yang terlelap di sana, tapi mungkin Aliyah ketiduran di kamar Gaffi saat menidurkan Amri, pikirnya. Lalu Amar meraih bantal Aliyah dan memeluknya erat sambil memejamkan mata. Entah karena sudah terlalu mengantuk atau ada hal lainnya yang membuat Amar akhirnya bisa tertidur dengan pulas.
Pagi menjelang, seperti biasa setelah Amar mandi, maka pakaian kerjanya telah tergeletak rapi di atas ranjang. Tapi karena ia tak kunjung melihat Aliyah sejak setelah makan hingga pagi ini, ia lantas berteriak sekencang mungkin.
"Aliyaaah," teriaknya. Dengan tergopoh-gopoh, Aliyah masuk ke dalam kamar. Dengan berkacak pinggang, Amar pun meminta Aliyah mencarikan kemejanya yang lain.
"Kemeja merah marun ku, mana?" tanya Amar. Aliyah pun dengan segera menuju lemari dan mengambil apa yang Amar mau lalu meletakkannya di atas ranjang. Setelah itu, ia kembali memutar badan untuk kembali ke dapur. Amar yang melihat perubahan Aliyah sampai tertegun di tempatnya. Sikap Aliyah yang diam membisu ternyata mampu mengusik ketenangannya.
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
𝐭𝐨𝐢𝐥𝐞𝐭 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐫𝐚𝐡𝐢𝐦 𝐢𝐛𝐮
𝐝𝐨𝐚 𝐩𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐝𝐨𝐚 𝐢𝐛𝐮
𝐠𝐞𝐧𝐝𝐨𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐩𝐫𝐭𝐦 𝐚𝐧𝐤 𝐠𝐞𝐧𝐝𝐨𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐢𝐛𝐮
𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐢𝐛𝐮 𝐥𝐚𝐡 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐠 𝐩𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠𝐢 𝐚𝐧𝐚𝐤𝟐𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐬𝐤𝐢𝐩𝐮𝐧 𝐛𝐥𝐦 𝐭𝐚𝐮 𝐛𝐞𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐫𝐮𝐩𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐧𝐲𝐚 😭😭😭😭😭
𝐜𝐢𝐫𝐢𝟐 𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚 𝐭𝐮𝐫𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐣𝐣𝐚𝐥
𝐝𝐫𝐩𝐝 𝐡𝐝𝐮𝐩 𝐦𝐚 𝐬𝐮𝐚𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐚𝐧𝐤 𝐬𝐢𝐟𝐚𝐭 𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐤 𝐝𝐚𝐣𝐣𝐚𝐥
𝐦𝐞𝐧𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐭𝐩 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚
𝐝𝐫𝐩𝐝 𝐩𝐧𝐲 𝐬𝐮𝐚𝐦𝐢 𝐭𝐩 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚
𝐦𝐚𝐦𝐚𝐦 𝐭𝐮 𝐚𝐦𝐚𝐫 𝐬𝐮𝐤𝐮𝐫𝐢𝐧