Cerita cinta Aira yang berujung balas dendam, menjadi saksi bisu untuk dirinya. Kematian sang ibunda, bukanlah hal yang mudah dilalui gadis desa itu.
Ia disered paksa diperjual belikan oleh sang ayah, untuk menikah dengan seorang CEO bernama Edric. Lelaki lumpuh yang hanya mengandalkan kursi roda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Arip, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Aira kesal.
"Tidak apa-apa Aira, kamu boleh menceritakan apa yang kamu inginkan kepada saya. Karena sebentar lagi. Kita akan menjadi suami istri. "
Deg ....
Perkataan Edric lelaki berhidung mancung keturunan Amerika itu, mengatakan hal-hal yang lembut. Tentu saja membuat Aira merasa aneh, biasanya seorang CEO edentik dengan Arogan dan juga ceuk. Tapi dengan Edric. Aira semakin penasaran.
"Apa ada yang di sembunyikan dari CEO Seperti kamu ini, Tuan Edric. " Gumam hati Aira, menatap kedua bola mata berwarna biru yang Indah dihadapnya.
"Kebetulan sudah menjelang sore, sebaiknya kita bergegas masuk ke rumah. "
"Baik, tuan eh salah. Sayang. "
Edric tersenyum dengan menampilkan lesung pipi, membuat Aira seakan iri hingga berucap dalam hati, " ckk, kenapa ada lelaki sempurna seperti Edric. "
"Aira, pelan pelan saja . Jika kamu tak biasa mengatakan kata sayang. "
Perkataan lembut dan menusuk pada jiwa raga Aira, membuat gadis desa itu tentu saja malu. Walau ia terlahir dari desa, tapi perkataan lembut dan adab berbicara kalah dengan Edric. Lelaki yang terlihat cuek ternyata begitu istimewa. Membuat siapapun wanita akan betah bersamanya.
Aira mulai pamit kepada Edric untuk masuk ke dalam kamar, akan tetapi saat sang pemilik bola mata hitam dengan rambut ikal ujungnya masuk ke dalam kamar, Edric dengan sepontan menarik pinggang Aira. Dimana gadis itu duduk pada kedua kaki Edric. Kedua wajah mereka berhadapan, membuat jatung Aira seakan tak karuan.
Aira yang mulai bangkit berdiri, untuk menyingkir pada Edric. Malah tak bisa, kedua tangan lelaki berbadan kekar itu malah melingkar pada pinggang Aira.
"Tuan, ini. "
******
Di situasi kedua insan yang saling menatap satu sama lain. Ada kedua pasang mata yang melihat kemesraan mereka berdua. Dwinda Julissa terlihat tak suka, ia berkacak pinggang dengan apa yang tak sengaja ia lihat, sosok gadis desa yang ia anggap sebagai penghalang malah duduk di pangkuan Edric.
"Gadis desa itu sudah mulai berani, ternyata pada wajah polosnya tersimpan rasa tak tahu diri, belum menikah sudah bergelayut manja. Dasar gadis murah*n."
Dwinda terbakar api cemburu melihat Aira ada dipangkuan Edric. Membuat ia menghampiri kedua insan itu, dengan berjalan cepat.
"Tuan, ini tidak seharusnya terjadi. Kita belum menikah. "
Terlihat gerakan tubuh Aira, tak merspon dekapan Edric. Gadis berambut ikal ujungnya berusaha berdiri. Akan tetapi tenanga Edric yang kuat membuat Aira taj mampu lepas dari pelukannya.
"Sial, kalau saja dia tak lumpuh. Sudahku injak kakinya." Gerutu Aira dalam hati.
Kedua bibir tipis itu terlihat mengkerut, membuat sang pemilik bermata biru tersenyum kecil, seakan ingin mengigit lembut bibir mungil Aira.
"Mm, kalau kamu mau lepas, coba cium pipi kiri saya. "
Ucapan Edric seakan sebuah perintah untuk Aira.
"Hah, sial. Pada sifat cuek dan sok baiknya itu, ternyata ada tingkah mesumnya. Dasar gila. " Aira berusaha. Menahan emosi, rasanya ia ingin memukul bibir seksi Edric dengan gigi rapinya agar rontok.
"Kita belum menikah, tuan. Jadi tidak baik. " Dengan lembutnya Aira memberi pengertian, tapi tidak dengan Edric yang masih nyaman dengan Aira berada dilahunanya.
"Besok kita menikah. "
Aira sudah tak tahan lagi, sampai akhirnya.
"Edric, Aira. "
Dwinda yang selalu di agap Aira nenek lampir, mengagetkan kedua insan yang terlihat seperti bermesraan. Edric dengan spontan melepaskan kedua tangan yang sengaja ia lingkarkan pada pinggang Aira. Membuat Aira kini bebas dari cekraman Edric lelaki yang dia anggap mesum.
Melihat kemarahan Dwinda, membuat Edric tak peduli. Ia mejalankan kursi rodanya menghindar dari wajah Dwinda.
"Edric, moms belum selesai ngomong. "
Edric terus menjalankan kursi rodanya hingga sampai di kamar.
Dwinda yang melihat tingkah Edric yang selalu cuek membuat ia geram, wanita yang menjadi istri Ellad menatap tajam ke arah Aira. Dimana gadis itu membuka pintu kamar .
"Heh, gadis mur*han."
Tangan yang sudah membuka pintu, membuat tubuh Aira tiba tiba berhenti.
"Heh, bod*h. Kenapa kamu diam saja. "
Hinaan dari Dwinda tak bisa di terima oleh Aira. Membuat Aira membalikkan badan dengan wajah memerah menahan amarah,
"Heh, kenapa kamu menatap saya seperti itu. "
Mengepal tangan, " ada apa anda memanggil saya. Dan bisa tidak anda tidak usah menyebut saya m*rahan."
Dengan amarah yang menggebu, Aira tetap saja bertingkah sopan, ia menjauhi perdebatan demi membuat dirinya tak mengenai masalah.
Dwinda melipatkan kedua tangan, dengan tersenyum sinis. " memang kamu m*rahan. Kenapa saya menyebut kata m"rahan. Karena saya melihat sendiri kamu duduk pangkuan Edric. Seharusnya sebagai seorang gadis kamu tahan diri lah. "
Kata kata hinaan terlontar kembali dari bibir tebal Dwinda, tatapan ketidak sukaan di perlihatkan kembali oleh sosok Dwinda.
"Heh, siapa yang m*rahan."
Aira tiba tiba saja mengeluarkan kata kata yang sedikit membuat Dwinda kesal.
"saya tidak ada niat menggoda Tuan Edric. Itu bukan saya yang sengaja duduk pada lahunannya. Tuan Edric menarik saya. "
"Waw, bisa berbohong juga kamu, Aira. Aku ingatkan kamu jangan terlalu kecentilan deh. Asal kamu tahu Edric menikahi kamu hanya menutupi rasa malunya yang tak laku, karena ia lumpuh. "
Mulut Dwinda benar benar jahat, bukan Aira saja yang di hina. Tapi anak tirinya, juga di hina olehnya.
"Wanita berpendidikan seperti anda, harusnya bisa berkata dengan benar. Jangan asal menghina. Sayang, keluar duit banyak banyak buat sekolah bisanya menghina orang. "
Begitulah ejekan yang keluar dari mulut Aira, untuk Dwinda. Seperti sebuah nasehat.
"Jaga bicara kamu bocah ingusan. Jangan sok nasehatin saya, karena saya yang lebih pintar dan lebih tahu segalanya dari pada kamu. "
Kesombongan yang begitu hakiki terlontar dari mulut pedas Dwinda.
"Hah, sudahlah. Percuma berbicara dengan wanita yang mementingkan ilmu dari pada adab dan etika. Akan selalu membela diri dan merasa dirinya paling benar. "
Balasan Aira membuat Dwinda semakin kepanasan. Bagaimana dia menyingkirkan Aira, jika gadis yang berhadapan dengannya begitu pintar dan suka melawan.
"Berani kamu mengatakan semua itu pada saya. Eh bocah ingusan, kampungan. Saya ini seorang dokter, jadi kamu jangan macam macam sama saya. "
Dwinda membicarakan gelar di depan Aira, agar gadis itu tak bisa melawan perkataannya.
"Seorang dokter, bangga. Kamu belum tahu saya, saya ini bergelar gadis desa paling cantik di desa. "
Mendengar ucapan Aira membuat Dwinda, tertawa terbahak bahak. Sembari memukul mukul tembok yang berada dihadapanya.
"Kenapa tertawa? " Aira dengan lancangnya melontarkan sebuah pertanyaan.
"Jelas saya tertawa dengan balasan bodoh kamu Aira, saya tak menyangka jika gelar di desa, kamu sebutkan pada saya. Jelas tak ada bandinganya. "
Aira gadis pemalu itu mulai mengeluarkan taringnya, mengepalkan kedua tangan.
crrita carlos ma welly terus