"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Belati di balik bayangan
Tentara tanpa kulit itu berdiri dan menusukkan pedangnya ke arah bayangan Baskara yang terpantul di atas permukaan genangan air. Baskara terpekik saat merasakan dadanya dihujam oleh rasa nyeri yang luar biasa meskipun bilah pedang itu sama sekali tidak menyentuh tubuh fisiknya.
Ia jatuh berlutut sambil memegangi dadanya yang mulai mengeluarkan darah segar tepat di titik yang sama dengan serangan pada bayangannya tadi. Rasa sakit itu terasa sangat panas seolah-olah jantungnya sedang diperas oleh tangan raksasa yang tidak terlihat secara terus-menerus.
Tentara itu kembali mengangkat pedangnya dengan gerakan yang sangat kaku dan mengeluarkan suara geraman dari kerongkongannya yang penuh dengan urat merah. Ia melangkah mendekati bayangan Baskara dengan niat untuk menebas bagian leher agar nyawa pemuda itu benar-benar berakhir di tempat ini.
"Kenapa kamu menyerang bayanganku dan bukan tubuhku secara langsung, wahai iblis tanpa rupa?" tanya Baskara dengan napas yang mulai tersenggal-senggal.
Mahluk itu berhenti sejenak dan menunjukkan barisan giginya yang kuning tanpa ada bibir yang menutupinya sehingga wajahnya terlihat sangat mengerikan. Ia kemudian menunjuk ke arah genangan air yang mulai berubah warna menjadi hitam pekat dan bergejolak hebat secara berulang-ulang.
"Di dunia ini, bayanganmu adalah cermin dari jiwamu yang sudah lama digadaikan oleh silsilah keluargamu sendiri," ucap tentara itu dengan suara yang parau.
Baskara mencoba bangkit dan menyeret tubuhnya menjauh dari genangan air agar bayangannya tidak lagi bisa dijangkau oleh pedang karat mahluk tersebut. Namun, setiap kali ia bergerak, genangan air itu justru meluas dan terus mengikuti ke mana pun langkah kakinya pergi dengan sangat cepat.
Suara dentang logam yang beradu mulai terdengar dari dalam kamp pengungsian tua yang kini dipenuhi oleh kabut tipis berwarna putih kelabu. Ribuan orang yang tadi duduk diam mulai berdiri secara serentak dan menatap Baskara dengan tatapan mata yang sudah kehilangan cahaya kehidupan sama sekali.
"Jangan biarkan mereka menyentuh bayanganmu atau kamu akan menjadi bagian dari barisan mayat pengabdi ini!" teriak sebuah suara yang sangat ia kenali.
Baskara menoleh ke arah barisan tenda yang sudah lapuk dan melihat sosok pimpinan tim penyelamat yang selama ini ia anggap sudah tewas dalam tugas. Pria itu berdiri dengan memegang sebuah obor yang apinya berwarna kuning terang dan mengeluarkan aroma kayu gaharu yang sangat harum menenangkan.
"Komandan? Bagaimana mungkin Anda masih hidup di tengah neraka yang sangat tidak masuk akal ini?" tanya Baskara dengan perasaan yang campur aduk.
Pimpinan tim itu tidak menjawab dan segera melemparkan sebuah bubuk putih ke arah genangan air yang sedang mengepung posisi berdiri Baskara sekarang. Seketika itu juga, air hitam tersebut membeku menjadi es dan pecah berkeping-keping hingga mahluk tanpa kulit itu mundur dengan rasa marah.
Komandan segera menarik lengan Baskara dan membawanya masuk ke dalam sebuah tenda yang dindingnya dilapisi oleh potongan-potongan kain kafan bertuliskan mantra. Di dalam tenda itu, terdapat sebuah meja kayu yang di atasnya diletakkan sebuah peta tua dan beberapa botol berisi cairan berwarna-warni.
"Tempat ini adalah zona Sunyi, di mana mahluk-mahluk itu hanya bisa menyentuh kita melalui pantulan bayangan di air atau cermin," jelas Komandan sambil memeriksa luka di dada Baskara.
Baskara memperhatikan wajah komandannya yang tampak jauh lebih tua dan memiliki bekas luka jahitan yang melingkari seluruh bagian lehernya secara melingkar. Ia merasa ada yang aneh dengan suhu tubuh pria itu yang terasa sangat dingin seolah-olah ia sedang bersentuhan dengan sebongkah es.
"Lalu di mana anggota tim yang lain? Apa hanya kita berdua yang berhasil selamat sampai ke titik koordinat ini?" tanya Baskara dengan nada suara penuh harap.
Komandan hanya menggelengkan kepala pelan sambil menunjuk ke arah barisan mayat yang sedang berjalan berputar-putar di luar tenda mereka secara terus-menerus. Ia mengambil sebilah belati kecil yang terbuat dari perak murni dan memberikan benda tajam itu kepada Baskara dengan tangan yang sedikit bergetar.
"Mereka semua sudah kehilangan bayangan mereka dan kini menjadi budak bagi penguasa lembah tengkorak putih yang sangat kejam," jawab Komandan dengan suara lirih.
Baskara menerima belati itu dan merasakan adanya kekuatan hangat yang mulai mengalir dari gagang senjata tersebut menuju ke seluruh pembuluh darahnya. Ia melihat luka di dadanya mulai mengering namun bekas lubang hitam tetap membekas di kulitnya sebagai tanda peringatan akan serangan mahluk tadi.
Suara cakaran kuku yang sangat panjang terdengar dari balik dinding kain tenda seolah ada ribuan mahluk yang mencoba untuk masuk ke dalam. Lampu obor yang dipegang oleh Komandan mulai berkedip-kedip tidak beraturan dan mengeluarkan asap hitam yang sangat menyesakkan lubang hidung Baskara.
"Kita harus segera berpindah tempat karena mantra pelindung di tenda ini tidak akan bertahan lama menghadapi serbuan mereka," ucap Komandan sambil menyiapkan tas punggungnya.
Baru saja mereka hendak keluar, sesosok wanita dengan pakaian pengantin yang sudah robek-robek muncul di depan pintu tenda sambil membawa sebuah cermin besar. Wanita itu tersenyum lebar hingga memperlihatkan lidahnya yang bercabang dua seperti lidah ular dan terus bergerak-gerak mencari mangsa baru.
Ia mengarahkan cermin itu tepat ke wajah Baskara hingga Baskara melihat bayangan dirinya sendiri yang sedang membusuk dan dipenuhi oleh ulat-ulat tanah. Baskara merasa matanya mulai terasa sangat perih dan pandangannya perlahan-lahan mulai berubah menjadi gelap total secara tidak alami.
"Jangan menatap ke arah cermin itu atau jiwamu akan tersedot masuk ke dalam dimensi cermin yang tak berujung!" perintah Komandan sambil menghantam cermin tersebut.
Cermin itu pecah berkeping-keping namun setiap pecahannya justru memancarkan bayangan Baskara yang berbeda-beda dalam posisi yang sedang mengalami siksaan hebat. Baskara berteriak karena ia merasakan sakit yang dialami oleh bayangannya pada pecahan kaca tersebut juga dirasakan oleh tubuh aslinya.
Komandan segera menarik Baskara keluar dari tenda dan berlari menembus kabut tebal yang kini sudah berubah menjadi merah darah yang sangat pekat. Mereka sampai di sebuah gerbang besar yang terbuat dari tumpukan tulang rusuk manusia yang masih mengeluarkan bau amis yang sangat menyengat.
Di atas gerbang itu, terdapat sebuah jam pasir raksasa yang berisi debu-debu berwarna perak yang bergerak jatuh ke bawah dengan kecepatan yang sangat lambat. Baskara menyadari bahwa setiap debu yang jatuh mewakili detik-detik terakhir dari sisa umur yang ia miliki di dunia fana ini.
Baskara melihat sosok ayahnya berdiri di puncak gerbang tulang sambil memegang sebuah kepala manusia yang masih meneteskan darah.