NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:107
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7: KEDATANGAN MAUDY

Dua minggu berlalu dengan pola yang mulai familiar bagi Laura. Meeting koordinasi rutin dengan Julian setiap Kamis malam, email bolak-balik tentang progress proyek, dan sesekali telepon singkat untuk membahas hal-hal urgent.

Perlahan, Laura merasakan sesuatu berubah. Julian mulai sedikit lebih terbuka—tidak banyak, tapi cukup untuk Laura perhatikan. Sesekali Julian bertanya hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Tentang bagaimana hari Laura. Tentang apakah dia sudah makan. Hal-hal kecil yang mungkin tidak berarti bagi orang lain, tapi bagi Laura terasa seperti kemajuan besar.

Kamis malam ketiga, Laura tiba di kantor Sentinel seperti biasa. Tapi kali ini, suasana terasa berbeda. Resepsionis yang biasanya ramah terlihat sedikit gugup.

"Miss Laura, Mr. Julian ada tamu di ruang meeting-nya," ujar resepsionis. "Beliau minta Anda menunggu sebentar di lounge lantai dua belas."

"Oh, tidak masalah," jawab Laura. "Saya tunggu saja."

Laura naik ke lantai dua belas dan menuju lounge—ruangan nyaman dengan sofa empuk dan pemandangan kota. Dia duduk, membuka laptop, mencoba memanfaatkan waktu tunggu untuk mereview dokumen.

Tapi lima menit berlalu. Sepuluh menit. Lima belas menit.

Laura mulai resah. Ini tidak seperti Julian yang sangat punctual dan menghargai waktu.

Pintu lounge terbuka. Adrian—Kepala Operasional Sentinel yang pernah Laura temui saat survei—masuk dengan ekspresi tidak nyaman.

"Miss Laura, maaf atas keterlambatannya," ujarnya. "Mr. Julian sedang... ada situasi mendadak. Beliau minta maaf dan akan segera ke sini."

"Tidak apa-apa," jawab Laura. "Apa ada yang bisa saya bantu?"

Adrian ragu sejenak. "Tidak perlu, Miss Laura. Ini... urusan pribadi."

Urusan pribadi. Julian jarang sekali mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Sesuatu yang serius pasti terjadi.

Adrian pamit keluar, meninggalkan Laura sendirian lagi. Laura mencoba fokus pada laptopnya, tapi konsentrasinya pecah. Dia bisa mendengar suara-suara samar dari koridor—suara Julian yang terdengar tegang, dan suara wanita yang familiar namun tidak bisa Laura kenali.

Sepuluh menit kemudian, pintu lounge terbuka lagi.

Julian masuk. Tapi ini bukan Julian yang Laura kenal. Ekspresinya kacau—campuran antara shock, marah, dan sesuatu yang lebih dalam. Matanya terlihat lebih gelap, rahangnya menegang.

"Miss Laura," ujarnya, suaranya terdengar tidak stabil. "Maaf. Meeting malam ini... harus dibatalkan."

Laura langsung berdiri. "Pak Julian, apa Anda tidak apa-apa?"

"Saya baik-baik saja," jawabnya cepat—terlalu cepat. "Ada sesuatu yang harus saya urus. Kita reschedule meeting-nya. Saya akan hubungi Anda."

Dia berbalik akan pergi, tapi Laura tidak bisa menghentikan dirinya. "Pak Julian—"

Julian berhenti, tidak menoleh.

"Jika Anda butuh berbicara... maksud saya, jika ada yang bisa saya bantu—"

"Terima kasih, Miss Laura." Julian akhirnya menoleh, dan Laura melihat betapa lelahnya pria itu. Bukan lelah fisik, tapi lelah emosional. "Tapi ini... ini bukan sesuatu yang bisa dibantu."

Dia pergi, meninggalkan Laura berdiri sendirian di lounge dengan perasaan tidak enak di dadanya.

Laura mengemas laptopnya dengan perasaan bingung dan khawatir. Dia keluar dari lounge, berencana langsung ke parkiran. Tapi saat melewati koridor menuju lift, dia mendengar suara dari ruang meeting B—ruangan tempat mereka biasa berdiskusi.

Suara Julian. Dan suara wanita.

Laura tahu dia seharusnya tidak menguping. Tapi kakinya seolah membeku di tempat.

"Julian, please. Dengarkan aku dulu." Suara wanita itu—lembut, sedikit merengek, dengan aksen yang terdengar seperti campuran Indonesia dan Amerika.

"Tidak ada yang perlu didengar, Maudy." Suara Julian dingin, keras. "Kamu pergi lima tahun lalu tanpa sepatah kata pun. Dan sekarang tiba-tiba muncul, mengira semua bisa kembali seperti dulu?"

Maudy. Laura merasa dadanya sesak. Nama itu familiar—dia pernah membacanya di salah satu artikel lama tentang Julian. Maudy Angelica. Mantan kekasih Julian.

"Aku punya alasan, Julian. Aku tidak pergi begitu saja. Aku—"

"Aku tidak peduli alasanmu." Suara Julian memotong tajam. "Yang jelas kamu pergi saat aku paling membutuhkanmu. Saat aku terluka, saat aku hampir mati di rumah sakit. Kamu menghilang. Dan sekarang kamu kembali karena apa? Karena kamu merasa kesepian di New York? Karena karir-mu tidak selancar yang kamu bayangkan?"

Hening sejenak. Lalu suara Maudy terdengar lagi, kali ini lebih lembut. "Aku kembali karena aku sadar... aku masih mencintaimu, Julian. Selama lima tahun ini, aku tidak pernah bisa melupakanmu."

Laura merasa seperti ditikam. Dadanya sesak, napasnya tercekat. Tangannya mencengkeram tali tas laptop-nya begitu erat sampai buku-buku jarinya memutih.

"Cinta?" Suara Julian terdengar getir. "Kamu tidak tahu apa itu cinta, Maudy. Cinta bukan pergi saat orang yang kamu cintai sedang hancur. Cinta bukan memilih karirmu di atas segalanya."

"Aku muda dan bodoh saat itu, Julian! Aku takut! Aku tidak tahu bagaimana menghadapi semua trauma-mu, semua mimpi buruk-mu. Aku tidak cukup kuat!"

"Dan sekarang? Sekarang tiba-tiba kamu sudah cukup kuat?"

"Aku berubah, Julian. Lima tahun itu banyak mengajariku. Aku kembali karena aku ingin memperbaiki kesalahan-ku. Please, berikan aku satu kesempatan."

Lama tidak ada jawaban. Dan keheningan itu lebih menyakitkan daripada kata-kata apapun bagi Laura.

Akhirnya, Julian berbicara dengan suara yang jauh lebih pelan. "Aku butuh waktu, Maudy. Aku tidak bisa... aku tidak bisa langsung memaafkan semua yang terjadi."

"Aku mengerti. Aku akan tunggu selama apapun. Aku tidak akan pergi lagi, Julian. I promise."

Laura tidak bisa mendengar lagi. Dia berbalik dan hampir berlari menuju lift, air mata sudah mulai menggenang di matanya. Jari-jarinya gemetar saat menekan tombol lift.

Begitu pintu lift tertutup dan dia sendirian, Laura membiarkan air matanya jatuh. Selama dua minggu ini, dia mulai berharap. Mulai percaya bahwa mungkin—hanya mungkin—ada kesempatan. Bahwa perhatian kecil Julian, senyum-senyum tipis itu, berarti sesuatu.

Tapi dia bodoh. Sangat bodoh.

Julian punya masa lalu. Punya seseorang yang pernah berarti sangat banyak baginya. Dan orang itu baru saja kembali.

Laura tidak pernah punya kesempatan sejak awal.

Di parkiran basement, Laura duduk di mobilnya dan menangis—menangis untuk semua harapan yang baru mulai tumbuh, sekarang hancur sebelum sempat berkembang. Menangis untuk cinta sepuluh tahun yang tidak pernah punya kesempatan. Menangis untuk sakit yang terasa begitu nyata di dadanya.

Ponselnya berdering. Nia.

Laura menyeka air matanya, menarik napas dalam, dan mengangkat dengan suara yang dibuat-buat stabil. "Halo?"

"Lau, kamu sudah sampai rumah?" Nia terdengar ceria. "Aku ada berita bagus!"

"Belum. Masih di parkiran kantor Sentinel."

"Oh, meeting-nya masih lama? Okay, nanti aja deh ceritanya. Aku—tunggu, kamu kenapa? Suaramu aneh."

Tentu saja Nia bisa mendengarnya. Laura tidak pernah bisa menyembunyikan apapun dari sahabat sepuluh tahunnya itu.

"Nia..." suara Laura bergetar. "Mantan-nya kembali."

"Mantan siapa?"

"Julian. Mantan kekasihnya. Maudy. Dia kembali dari New York dan... dan dia bilang masih cinta sama Julian."

Hening di seberang.

"Aku akan ke tempatmu sekarang," ujar Nia dengan nada yang tidak bisa dibantah. "Jangan kemana-mana. Tunggu aku."

"Nia, tidak usah—"

"Laura Christina, ini bukan waktu untuk bersikap kuat. Tunggu aku. Fifteen minutes."

Sambungan terputus.

Laura duduk sendirian di mobilnya yang gelap, menatap kosong ke depan. Cahaya lampu parkiran membuat bayangan-bayangan di wajahnya—bayangan yang terlihat seperti retak, seperti kehancuran.

Lima belas menit kemudian, Nia tiba dengan mobilnya. Dia langsung masuk ke mobil Laura, memeluk sahabatnya yang langsung menangis di pelukannya.

"It's okay," bisik Nia, mengelus rambut Laura. "Let it out. Menangislah sepuasnya."

Dan Laura menangis. Menangis untuk semua tahun yang dia habiskan mencintai dalam diam. Menangis untuk harapan yang baru saja hancur. Menangis untuk sakit yang tidak akan pernah Julian ketahui.

"Aku bodoh, Ni," isak Laura di antara tangisnya. "Aku pikir ada kesempatan. Aku pikir mungkin dia mulai melihatku. Tapi ternyata... ternyata aku tidak pernah punya kesempatan sejak awal."

"Kamu tidak bodoh," ujar Nia tegas. "Kamu hanya manusia yang jatuh cinta. Dan cinta itu tidak pernah logis, tidak pernah adil."

"Apa yang harus aku lakukan?"

Nia diam sejenak. "Itu tergantung kamu, Lau. Apa kamu mau bertahan? Atau apa kamu mau mulai move on?"

Laura tidak tahu jawabannya. Yang dia tahu hanya satu hal: malam ini, hatinya hancur berkeping-keping. Dan dia tidak tahu apakah dia bisa mengumpulkan kepingan-kepingan itu kembali.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!