Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Infiltrasi Gudang
Bau belerang yang kuning dan tajam menyengat indra penciuman Kaelan, jauh lebih menusuk dibandingkan debu tambang biasa yang biasa ia hirup. Di dalam lorong menuju gudang logistik utama Sektor 4, udara tampak bergetar karena konsentrasi gas beracun yang mulai bocor dari katup yang sengaja dirusak. Kaelan berdiri di balik pilar batu, kain kusam yang ia gunakan sebagai masker darurat sudah mulai basah oleh keringat dan uap kimia.
"Kaelan, konsentrasi gas di dalam sana sudah melewati batas aman manusia. Kau tidak bisa masuk tanpa masker filter mana," bisik Bara dengan nada cemas yang tertahan. Ia merangkak di samping Kaelan, matanya perih karena uap kuning yang merayap di lantai.
Kaelan mengatur napasnya, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang mulai tak beraturan. "Jika aku menunggu masker itu dikirim dari Benua Langit, budak-budak di barak medis akan mati besok pagi. Inti kristal hijau di dalam sana adalah satu-satunya sumber energi yang bisa menetralkan infeksi paru-paru mereka."
"Tapi kau juga manusia, Kaelan! Kau baru saja pulih dari luka longsor kemarin," protes Bara sembari mencengkeram lengan sahabatnya.
Kaelan menepis tangan Bara perlahan, matanya yang abu-abu berkilat tajam di balik kegelapan. "Sumsum tulangku telah bermutasi. Aku akan menggunakan oksigen yang tersimpan di dalam struktur Iron Bone untuk bertahan. Jaga pintu ini. Jika dalam lima belas menit aku tidak keluar, bawa budak-budak itu lari ke arah Celah Void."
Di saat yang sama, di ketinggian Benua Langit yang murni, suasana kamar Lyra Elviana jauh dari kata damai. Suara langkah kaki zirah perak terdengar berdentum di koridor luar. Pangeran Alaric telah mengirim pengawal pribadinya untuk melakukan penggeledahan mendadak dengan dalih mencari intelijen yang bocor ke daratan bawah.
"Putri Lyra, buka pintunya! Ini adalah perintah langsung dari High Council untuk memastikan keamanan istana!" teriak seorang komandan penjaga dari balik pintu kayu mahoni yang kokoh.
Lyra berdiri di tengah kamarnya, wajahnya pucat namun matanya memancarkan api perlawanan. Di tangannya, ia memegang sebuah gunting perak kecil. Di depannya, tergantung sebuah gaun biru Azure yang indah—gaun yang ia kenakan saat pertama kali bertemu Kaelan di Akademi Aetheria, benda yang selama ini menjadi jangkar memorinya tentang kehangatan yang telah hilang.
"Kau ingin bukti, Alaric?" bisik Lyra lirih, suaranya bergetar karena emosi yang meluap. "Akan kuberikan distraksi yang tidak akan pernah kau lupakan."
Srek! Srek!
Dengan tangan gemetar, Lyra mulai merobek gaun Azure itu. Kain sutra yang halus itu terbelah, menciptakan suara sobekan yang terasa seperti jeritan di telinganya sendiri. Setiap inci kain yang rusak adalah bagian dari martabatnya yang ia korbankan demi mengulur waktu bagi Kaelan di bawah sana.
Di dalam gudang yang dipenuhi gas belerang, Kaelan mendadak tersungkur. Ia mencengkeram dadanya, tepat di tempat ia menyimpan sapu tangan Azure milik Lyra. Sensasi perih yang luar biasa menjalar di kulitnya, seolah-olah jiwanya sedang disayat oleh belati perak.
"Lyra... apa yang kau lakukan?" rintih Kaelan pelan. Ia bisa merasakan kepedihan mental Lyra yang begitu hebat melalui resonansi batin mereka. Rasa sakit itu bukan berasal dari luka fisik, melainkan dari hancurnya sesuatu yang sangat berharga.
"Kaelan! Ada apa?" Bara mencoba menahan tubuh Kaelan yang hampir jatuh ke area konsentrasi gas tertinggi.
Kaelan menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mencoba menjernihkan pikirannya. "Dia... dia sedang bertaruh nyawa untukku di atas sana. Aku tidak punya waktu lagi untuk ragu."
Kaelan menarik napas dalam-dalam untuk terakhir kalinya, lalu menahan napasnya sepenuhnya. Ia mengaktifkan sirkulasi energi Spark Tahap 2 ke seluruh tubuhnya, memaksa pori-pori kulitnya menutup agar gas beracun tidak masuk melalui epidermis. Dengan gerakan yang cepat dan sunyi, ia melesat masuk ke dalam kabut kuning belerang yang mematikan.
Di dalam gudang, jarak pandang nyaris nol. Cahaya hanya berasal dari pendaran redup kristal-kristal energi yang tersimpan di dalam peti baja. Kaelan bergerak berdasarkan insting dan memori tata letak gudang yang telah ia pelajari. Ia menghindari sensor deteksi mana yang berputar di langit-langit, bergerak seperti bayangan yang menyatu dengan asap.
Tap. Tap.
Langkah kakinya nyaris tak terdengar. Ia mencapai bagian tengah gudang, tempat "Inti Kristal Hijau" disimpan dalam wadah kaca vakum. Benda itu berkilau dengan warna zamrud yang menenangkan, kontras dengan lingkungan sekitarnya yang beracun.
Namun, saat tangannya hendak menyentuh wadah tersebut, sebuah suara tawa dingin terdengar dari sudut ruangan yang gelap.
"Aku tidak menyangka seekor tikus tambang memiliki nyali untuk masuk ke sini tanpa perlindungan."
Seorang pria dengan masker gas kristal yang elegan melangkah keluar dari balik bayangan. Ia mengenakan seragam elit pengawal Alaric. Di tangannya, sebuah belati yang dialiri energi Blaze berkilat mengancam.
"Kaelis," batin Kaelan, mengenali letnan kepercayaan Alaric yang pernah ikut menyiksanya saat sidang fitnah di Benua Langit.
Kaelan tidak bisa berbicara karena ia masih menahan napas. Tekanan di paru-parunya mulai memuncak, dan rasa perih di dadanya akibat resonansi dengan Lyra semakin menjadi-jadi. Ia harus menyelesaikan ini dalam hitungan detik atau ia akan mati lemas di tempat ini.
Kaelis menerjang dengan kecepatan luar biasa, belatinya mengincar tenggorokan Kaelan. "Matilah bersama sampah-sampah Terra lainnya!"
Kaelan tidak menghindar. Ia justru maju menyambut serangan itu. Saat belati Kaelis hampir menyentuh kulitnya, Kaelan melepaskan sedikit energi Iron Bone ke telapak tangannya.
Ting!
Belati energi itu tertahan oleh tangan kosong Kaelan yang kini sekeras baja. Mata Kaelis membelalak di balik maskernya. Ia tidak percaya bahwa seorang budak tanpa aura mampu menahan serangan tingkat Blaze miliknya.
"Kau... siapa kau sebenarnya?" tanya Kaelis dengan suara tercekik.
Kaelan tidak menjawab. Ia menggunakan momentum keterkejutan lawan untuk menghantamkan sikunya tepat ke arah masker gas Kaelis.
Prang!
Masker itu pecah. Kaelis langsung menghirup gas belerang murni yang mematikan. Ia terbatuk hebat, tangannya mencengkeram lehernya sendiri saat paru-parunya mulai terbakar oleh kimia. Dalam hitungan detik, Letnan sombong itu jatuh berlutut, wajahnya membiru saat ia menatap Kaelan dengan penuh kengerian.
Kaelan segera meraih Inti Kristal Hijau dari wadahnya. Ia merasakannya—energi murni yang bisa menyelamatkan kawan-kawannya. Namun, saat ia berbalik untuk lari, sebuah ledakan energi dari Benua Langit menghantam batinnya.
Lyra telah merobek gaun birunya sepenuhnya. Di kamarnya, ia berdiri di depan para pengawal yang akhirnya berhasil mendobrak pintu, dengan potongan kain Azure yang berserakan di lantai.
"Kalian mencari bukti?" Lyra berkata dengan suara yang sangat dingin dan penuh wibawa. "Bukti satu-satunya yang ada di sini adalah ketidakmampuan kalian menjaga kesopanan di depan putri seorang High Lord. Pergi dari sini, atau aku akan memastikan Mata Void-ku menelan jiwa kalian sebelum matahari terbit!"
Para pengawal itu terpaku, ketakutan oleh aura gelap yang mendadak meluap dari tubuh Lyra.
Di bawah tanah, Kaelan merasakan amarah dan keberanian Lyra menyatu dengan sirkulasi energinya. Ia melompat melewati tumpukan peti, menuju pintu keluar tempat Bara menunggu. Oksigen di dalam tulangnya sudah habis. Penglihatannya mulai mengabur, namun ia terus berlari.
"Bara... tangkap!" Kaelan terhuyung keluar dari kabut gas, melemparkan inti kristal hijau itu ke arah Bara sebelum ia jatuh tersungkur di tanah, paru-parunya akhirnya dipaksa menghirup udara luar yang bersih.
Udara bersih yang masuk ke paru-paru Kaelan terasa seperti ribuan jarum yang menusuk, namun itu adalah rasa sakit yang paling melegakan. Ia terbatuk hebat, memuntahkan sisa-sisa lendir kuning yang terkontaminasi belerang ke tanah yang gersang. Di sampingnya, Bara segera menyambar tubuh Kaelan, menyeretnya menjauh dari pintu gudang sebelum alarm internal benar-benar melengkingkan suara kematian.
"Kau gila, Kaelan! Kau hampir mati!" Bara berbisik kasar sembari mendekap Inti Kristal Hijau di balik bajunya. Cahaya zamrud dari kristal itu merembes melalui sela-sela jarinya yang kasar.
Kaelan mencoba berdiri, namun kakinya masih terasa seperti jeli. Ia menekan dadanya, merasakan sapu tangan Azure di sana. Rasa perih akibat resonansi dengan Lyra kini berubah menjadi denyut hampa—sebuah kesedihan yang mendalam karena kehancuran gaun masa lalu mereka.
"Kristalnya... bawa ke barak medis," Kaelan terengah-engah. "Gunakan energinya untuk memurnikan air minum mereka. Aku akan... aku akan tetap di sini sebentar untuk menutupi jejak."
"Menutupi jejak apa lagi? Letnan itu sudah mampus di dalam!" Bara menoleh ke arah gudang yang kini mulai dipenuhi kepulan asap hitam.
"Justru itu. Kaelis tidak boleh ditemukan sebagai korban pembunuhan. Dia harus terlihat seperti korban kecelakaan gas akibat kecerobohannya sendiri," Kaelan mengatur napasnya. Dengan sisa tenaga Spark Tahap 2, ia memanipulasi auranya, menciptakan distorsi energi di sekitar pintu gudang untuk menyamarkan jejak kakinya.
Di Benua Langit, Lyra berdiri di tengah kekacauan kamarnya. Potongan sutra biru Azure yang ia robek berserakan di atas karpet beludru seperti sayap kupu-kupu yang patah. Para pengawal Alaric mundur dengan wajah pucat, terintimidasi oleh pendaran ungu di matanya yang kini tidak lagi ia sembunyikan sepenuhnya.
"Keluar!" suara Lyra bergetar oleh amarah yang dingin.
"T-tapi Putri... Pangeran Alaric memerintahkan—"
"Katakan pada Pangeranmu," Lyra melangkah maju, kakinya menginjak sisa kain gaun itu dengan martabat yang tak tergoyahkan. "Jika dia ingin memeriksa kamarku, biarkan dia datang sendiri dan menghadapi apa yang telah dia hancurkan. Jangan kirim anjing-anjing kecil yang bahkan tidak tahu cara mengetuk pintu."
Setelah para pengawal itu lari terbirit-birit, Lyra jatuh berlutut. Ia memungut potongan kain biru itu, menekannya ke wajahnya yang basah oleh air mata. Bau parfum lili yang tajam di kamarnya terasa menyesakkan, mengingatkannya pada bau belerang yang tadi ia rasakan melalui Kaelan.
"Maafkan aku, Kaelan... hanya ini yang bisa kulakukan untuk mengalihkan perhatian mereka darimu," isaknya pelan.
Di bawah tanah, Kaelan merasakan gelombang kesedihan Lyra menghantam batinnya. Ia menutup matanya sesaat, membayangkan wajah Lyra yang sedang menangis. Di tengah kegelapan dan aroma kematian, ia memaksakan sebuah senyum tipis.
"Jangan minta maaf, Lyra," batin Kaelan sembari mulai merangkak menjauh dari area gudang. "Kau baru saja memberiku waktu yang paling berharga."
Kaelan berhasil kembali ke barak tepat sebelum patroli besar-besaran dimulai. Ia melihat Bara sedang sibuk memasukkan Inti Kristal Hijau ke dalam tong air besar di sudut barak medis yang gelap. Budak-budak tua yang tadi pagi tampak seperti mayat hidup, kini mulai bernapas lebih teratur saat uap hijau dari kristal itu menetralkan racun di paru-paru mereka.
"Lihat mereka, Kaelan," Bara menunjuk ke arah seorang penambang tua yang mulai bisa duduk. "Kau baru saja menebus nyawa mereka."
Kaelan bersandar pada dinding kayu yang rapuh. Tubuhnya kini mencapai titik Overheat. Suhu tubuhnya naik drastis karena sumsum tulangnya bekerja terlalu keras memproses sisa-isa gas belerang menjadi energi. Di telinganya, sebuah bisikan mulai terdengar—suara serak yang berasal dari kedalaman Void, memanggil namanya dengan nada yang akrab namun mengerikan.
"Takdir tidak bisa ditebus dengan batu hijau, Kaelan..." bisikan itu bergema di kepalanya.
Kaelan menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir suara itu. Ia tahu, ini adalah efek samping dari resonansi Mata Void yang mulai aktif akibat emosi Lyra yang meledak di istana.
"Kaelan? Kau baik-baik saja? Wajahmu merah sekali!" Bara mendekat, meletakkan tangannya di dahi Kaelan dan segera menariknya kembali karena panas yang menyengat.
"Aku hanya perlu tidur, Bara," ucap Kaelan dengan suara yang nyaris hilang. "Pastikan kristal itu tetap tersembunyi. Besok... besok akan menjadi hari yang lebih berat."
Saat Kaelan memejamkan mata, ia merasakan sapu tangan di dadanya bergetar. Melalui sisa-sisa resonansi malam itu, ia melihat sebuah visi singkat: Lyra yang sedang menjahit kembali potongan kain biru itu dengan benang emas, sebuah simbol bahwa meskipun martabat mereka robek, mereka akan selalu menemukan cara untuk menyatukannya kembali.
"Tidurlah, Kaelan," suara batin Lyra terdengar lembut di sela-sela bisikan Void. "Aku akan menjagamu dari sini."
Kaelan akhirnya jatuh ke dalam ketidaksadaran yang gelap, membiarkan tubuhnya berevolusi menuju tahap yang lebih tinggi di tengah kepungan musuh dan racun dunia.