Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Di Ambang Luka
Nata menggebrak meja. Pulpen terpental. Beberapa dokumen roboh. Untuk pertama kalinya malam itu, kontrolnya retak.
“Sebelum menikah dengan Papa,” katanya keras tapi tetap terukur, “ibu Raska memang sudah punya aset.”
Ia menatap Roy tanpa berkedip.
“Sedangkan ibumu datang tanpa membawa apa pun. Bahkan pakaiannya pun seadanya.”
Suasana membeku.
“Kau tidak punya hak iri pada kakakmu,” lanjut Nata dingin. “Tidak sekarang. Tidak pernah.”
Roy membuka mulut, hendak membalas.
“Cukup!”
Satu kata. Tegas. Nata menunjuk pintu.
“Keluar.”
Dengan wajah merah dan napas berat, Roy berbalik dan melangkah pergi.
BRAK!
Pintu ditutup keras.
Nata berdiri kaku di balik meja. Dadanya naik turun, napasnya berat. Emosi yang jarang sekali ia izinkan muncul.
“Anak durhaka,” gumamnya.
Ia menatap pintu tertutup itu lama, lalu mengalihkan pandangannya ke jendela.
“Raska tak pernah seperti ini,” katanya lirih. “Tak pernah membanting pintu. Tak pernah meninggikan suara.”
Ia menghela napas kasar. “Kalau bukan karena tes DNA…”
Kalimat itu terhenti.
Nata mengepalkan tangan. “Mana mungkin aku percaya dia anakku.”
Sunyi menelan ruangan.
***
Mobil Raska melambat, lalu berhenti tepat di depan gerbang besi hitam itu.
Rumah yang dulu pernah ia tinggali bersama kedua orang tuanya. Rumah tempat segalanya bermula.
Dan berakhir.
Jantungnya berdetak lebih cepat dari yang ia inginkan. Tujuh tahun. Sudah tujuh tahun ia tak berdiri di depan gerbang ini. Empat tahun ia tinggal bersama neneknya, lalu sendirian di apartemen. Menjauh dari tempat ini, seolah jarak bisa menenangkan luka.
Nyatanya, tidak.
Gerbang itu masih sama. Tinggi. Kokoh. Dingin.
Raska menurunkan kaca mobil.
Seorang satpam paruh baya menghampiri. Seragamnya rapi, langkahnya terukur. Ia menatap Raska. Wajah yang asing… tapi terasa familiar.
“Maaf, Nak,” ujar pria itu sopan. “Kami tidak menerima tamu.”
Raska menghela napas pelan. Ia membuka pintu mobil dan turun. Detak jantungnya makin terasa di telinga.
Ia mencoba tersenyum.
“Mang Udin,” ucapnya perlahan. “Ini saya. Raska.”
"Raska?" gumamnya tanpa sadar.
Pria itu mengernyit. Menatap wajah di depannya, mencoba mencocokkan dengan ingatan lama yang berdebu waktu. Tatapan itu turun-naik, dari mata Raska, rahangnya yang kini tegas, bahunya yang lebih lebar.
Lalu Raska menambahkan, suaranya sedikit bergetar oleh kenangan,
“Dulu… Mang Udin pernah jatuh ke kolam ikan gara-gara kepleset ambil bola saya. Terus pas naik, ikannya malah nyangkut di celana Mamang.”
Mata Udin melebar. Seperti ada pintu yang tiba-tiba terbuka di kepalanya.
“Astaga…” gumamnya. “Nak Raska?”
Raska mengangguk kecil. Senyumnya tipis, tapi tulus. “Iya, Mang. Saya.”
Udin terdiam beberapa detik, lalu wajahnya berubah. Bukan lagi wajah satpam yang berjaga, melainkan seorang pria tua yang sedang menatap masa lalu.
“Ya Allah…” katanya lirih. “Sekarang sudah jadi pemuda.” Ia tertawa kecil, haru. “Tampan. Gagah.”
Anak laki-laki yang dulu ia temani bermain bola di halaman. Yang berlari sambil tertawa, menerbangkan layangan sampai senja. Yang sering ia gendong ketika terjatuh dan menangis, kini berdiri di hadapannya sebagai pria dewasa.
Tanpa banyak pikir, Raska melangkah maju dan memeluknya. Pelukan itu spontan. Jujur. Hangat.
“Terima kasih,” ucap Raska pelan di bahu pria itu. “Masih setia menjaga rumah ini.”
Udin sempat kaku. Ragu. Lalu tangannya terangkat, membalas pelukan itu dengan erat. Pelukan seorang penjaga… kepada anak yang dulu sering ia jaga.
“Nak Raska…” gumamnya. Suaranya bergetar. “Rumah ini… tetap nunggu kamu pulang.”
Raska memejamkan mata sejenak.
Di balik dada yang berdebar itu, kenangan lama kembali hidup. Dan untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya berdiri di ambang luka, tanpa lari.
Mobil Raska memasuki pekarangan rumah yang sudah tujuh tahun ia tinggalkan.
Tak ada yang berubah.
Tata taman masih sama. Halaman itu masih luas. Pohon mangga dan pohon jambu yang dulu sering ia panjat, masih berdiri di tempatnya, seolah menunggu.
Laju mobil melambat.
Dan tanpa izin, ingatan menyerbu.
—
"Nak Raska!"
Suara Mang Udin bergaung di kepalanya.
"Astagaaa… jangan panjat lagi! Cepetan turun!
Mamang bisa kena marah kalau kamu jatuh!"
Di atas dahan, Raska kecil justru tertawa. Kakinya bergoyang, wajahnya cerah tanpa tahu apa-apa.
—
Senyum kecil tanpa sadar terbit di bibir Raska dewasa.
Lalu mobil berhenti tepat di depan rumah.
Senyum itu menghilang. Raska menatap bangunan itu lama. Rumah yang menyimpan dua hal sekaligus:
kenangan paling hangat… dan luka paling dalam.
Pintu jati yang tinggi dan lebar terbuka perlahan. Seorang wanita paruh baya muncul dari baliknya.
Bik Uci.
Dahinya berkerut, tatapannya waspada, jelas tak mengenali mobil yang berhenti di halaman itu.
Raska turun.
Langkahnya pelan saat mendekat.
“Bik…” suaranya rendah, hampir bergetar, “…saya pulang.”
Wanita itu membeku.
Panggilan itu, terlalu familiar. Terlalu hangat.
“Siapa kamu?” tanyanya akhirnya, mata tak lepas dari wajah Raska.
Raska tersenyum tipis. “Saya Raska, Bik.”
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan pelan, seolah takut kenangan itu pecah jika diucapkan terlalu keras.
“Bibi masih ingat sambal ikan kemangi, masakan favorit saya?
Masih ingat waktu bibi terpeleset karena ngejar ikannya yang jatuh ke lantai?
Dan setup roti… yang selalu bibi buat khusus buat saya.”
Mata Bik Uci melebar. Wajahnya memucat, lalu bergetar.
“Astaga…
Beneran… Nak Raska?”
Senyum kecil sempat terbit di wajah Bik Uci. Senyum yang sama seperti bertahun-tahun lalu. Hangat, refleks, tanpa sempat dipikirkan.
Tangannya terangkat, mengikuti kebiasaan lama. Hendak memeluk.
Namun gerakan itu terhenti di udara.
Senyumnya perlahan pudar, seolah ia baru ingat, waktu telah berjalan terlalu jauh.
Ragu. Takut. Tak yakin ia berhak.
Raska-lah yang melangkah lebih dulu. Ia memeluk wanita itu erat, tanpa kata.
“Terima kasih…” ucapnya lirih di bahu Bik Uci, “…masih setia menjaga rumah ini.”
Pertahanan Bik Uci runtuh. Tangannya akhirnya membalas pelukan itu, gemetar.
“Nak Raska…” gumamnya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan.
Ingatan lama berputar di kepalanya.
Raska kecil yang menangis di samping jenazah ibunya.
Anak itu yang duduk diam di dekat makam, menolak pulang.
Raska yang digandeng neneknya keluar dari rumah ini.
Tatapan kosong dari balik jendela mobil… saat kendaraan itu perlahan menjauh.
Pelukan itu terlepas. Raska menarik napas panjang. “Saya ingin ke kamar Mama.”
Kata-kata itu jatuh pelan, namun berat.
Bik Uci terdiam sesaat. Lalu mengangguk. Ia menyingkir ke samping, membuka jalan. Namun kecemasan tak bisa ia sembunyikan dari sorot matanya.
Karena ia tahu.
Beberapa kamar tidak pernah benar-benar ditinggalkan.
Dan beberapa luka… selalu menunggu untuk dibuka kembali.
...🔸🔸🔸...
...“Beberapa rumah tidak ditinggalkan. Mereka hanya menunggu pemiliknya berani kembali.”...
...“Ada tempat yang menyimpan kenangan paling hangat, sekaligus luka paling dalam, dan keduanya bernama rumah.”...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Kak, up lagi donk 🤭
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏
Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏
tapi wajahmu gak berubah kan Vara??